» » Harapan Di Tengah Keprihatinan

Harapan Di Tengah Keprihatinan

Penulis By on 18 March 2010 | No comments

Disebuah warung kopi, terjadi obrolan menarik mencermati sebuah tayangan TV swasta nasional. Mereka menggeleng-geleng kepala menyaksikan ’adu mulut’ politisi Senayan dengan kata-kata tak senonoh. Mereka menggelengkan kepala ketika melihat ada yang lantang berteriak maling bagi seorang Wapres..mereka menggeleng kepala ketika menyaksikan tayangan aksi demonstrasi yang anarkis. Mereka menggeleng kepala ketika seorang berpangkat Jenderal saling menyiku...mereka menggeleng kepala ketika kasus Century tiada berujung..Mereka menggeleng kepala kita beberapa wilayah di negeri ini menuntut lepas dari NKRI.
       ”Kalau zaman dulu, tidak ada seperti ini”
       ”Dulu kita tidak bisa banyak bersuara seperti itu..”
       ”Dulu tidak ada media se vulgar sekarang..”
       ”Dulu Indonesia sangat dihormati bangsa lain..”
       “Dulu kita nyaman dan aman...”
       ”Dulu, repotnya tidak seperti sekarang ini..”
       Obrolan warung kopi ini bernostalgia mengenang kejayaan silamnya, saat zaman kepemimpinan Pak Harto sebagai Presiden.. Presiden yang kini dicap sebagai Presiden Koruptor, presiden yang otoriter..dan tak layak menjadi Pahlawan Nasional. Tetapi kalangan akar rumput tidak mau tau banyak soal itu. Kalaupun mereka bicara seperti itu, karena telah tersuguhi informasi yang mengubur ’kejayaan’ itu. Suharto dinilainya sebagai sebuah keemasan...
       Cerita diatas seolah menggambarkan kejujuran dari jutaan rakyat Indonesia menjadi gelisah dan prihatin dengan kondisi Bangsa Indonesia di era kekinian. Pergumulan besar para elit negeri ini seolah menjadi pemicu keprihatinan itu. Rakyat tidak banyak mengerti seluk beluk negeri ini. Mereka hanya menjadi penikmat tontonan vulgar tanpa filter dengan kedok demokrasi. Rakyat Indonesia seolah ingin bicara, Indonesia bukan Amerika, Indonesia bukan Barat yang mendewakan liberalisme dan kebebasan berekspresi tanpa batas.
    Rakyat Indonesia yang mayoritas berada dipelosok daerah-daerah pun seolah tergerus jiwanya, terbawa ke alam liberal, hingga terjangkit virus-virus perlawanan menentang kekuasaan. Bahkan, muncul sebuah kebanggaan jika dikenal publik sebagai ’pemberani’ dalam melawan kekuasaan. Dan, inilah fenomena yang banyak terjadi, dimana elit menjadi lokomotif percontohan.
       Sebagai contoh, tidak sedikit anggota legislatif negeri ini begitu bangganya tampil di acara reality show berbicara lantang ’menguliti’ kewibawaan negara. Para cendekiawan juga begitu sumringahnya ketika berhasil ’memborbardir’ sebuah sistem yang dinilainya keliru. Presenter media pun dinilai sukses jika mampu menjebak lawan bicaranya. Tidaklah mengherankan, jika rakyat kini berani bersuara lantang melawan kekuasaan, karena telah menjadi sebuah kebanggaan yang menjelma menjadi status sosial publik.
       Orang kini tak lagi peduli dengan sebuah tatanan berbangsa dan bernegara. Wakil Presiden diteriaki maling, mantan Wapres pun disepelekan dengan penempatan gelar kebangsawanan yang tidak pada tempatnya. Bahkan Presiden pun bukan lagi ’benda keramat’ yang dijaga tuah-nya. Makanya wajar jika ’acara bakar-bakar foto’ menjadi sesuatu yang tak lagi terpedulikan. Akibatnya, suara-suara ingin lepas dari NKRI bertebaran dimana-mana. Indonesia benar-benar telah menjelma menjadi negara yang super dalam berpendapat, namun lemah dalam menjaga idiologinya.
       Kita semua memang membenci korupsi, membenci kolusi dan membenci nepotisme. Namun, kita masih yakin jika bangsa ini adalah bangsa yang berdaulat, bangsa yang menghormati nilai-nilai Pancasila, yang didalamnya terdapat banyak nilai-nilai yang menjunjung tinggi nilai keagaamaan, menghormati derajat kemanusian, semangat bersatu sebagai bangsa Indonesia, bangga dengan azas kekeluargaan dan musyawarahnya serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
       Kenyataannya, Bangsa Indonesia yang pertama kali (nama Indinesia) didengungkan namanya oleh seorang Jerman, Adolf Bastian karena kemolekan negeri dan keramahan penduduknya, seolah sirna tiada bertepi. Bangsa ini seolah menjelma (semoga tidak terjadi) menjadi negeri yang tak nyaman dan penuh dengan ketegangan.
       Negara dan negeri ini seperti hanya menunggu waktu kapan waktunya bubar. Bubar sebagai bangsa yang besar, bubar sebagai bangsa yang punya identitas keramah-tamahan, bubar sebagai bangsa yang bergotong royong, bubar sebagai bangsa yang takzim dengan spritual penduduknya. Yang ada hanya kebanggaan semu, saling merongrong, saling mencela dan saling memfitnah. Wajar saja, jika kemudian bangsa lain di dunia melihat Indonesia sebagai bangsa latah yang tak lagi punya martabat. Wajar saja jika ada negara tetangga yang begitu berani ingin mencaplok harga diri bangsa ini.
    Mungkin tidak ada salahnya, kalau elit negeri ini rujuk nasional..rakyat menginginkan Indonesia tetap utuh sutuh-utuhnya, rakyat Indonesia menginginkan para pemimpinnya benar-benar bisa membangkitkan semangat nasionalisme sebagaimana diwarsikan kusuma bangsa dahulu. Rakyat Indonesia menginginkan sebuah tatanan, dimana pemimpin benar-benar menjadi pemimpin. Bisa mengatur, bisa mensejahterakan, dan tidak terjebak praktek KKN.
    Rakyat Indonesia butuh wakil rakyat yang santun dalam berpendapat, rakyat Indonesia butuh media yang mencerahkan dan menyehatkan pikiran..rakyat Indonesia butuh agamawan yang diteladani, rakyat Indonesia butuh kehormatan sebagai bangsa berdaulat yang dihormati negara lain..rakyat Indonesia butuh hakim yang adil, butuh jaksa dan polisi yang bersih..rakyat Indonesia butuh tentara yang kuat, rakyat Indonesia buuh segenap komponen bangsa yang bermoral, dan rakyat Indonesia butuh makan dan pekerjaan yang layak. Kalau tidak ingin bangsa ini bubar. Pak SBY mulailah dari sekarang!.

                            Baubau, 8 Maret 2010

Penulis : pemerhati sosial kemasyarakatan yang berdomisili di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Pernah aktif sebagai jurnalis di beberapa media massa lokal.

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments