» » » Pengingkaran Gelar ‘KH’ Ulama Bugis-Makassar

Pengingkaran Gelar ‘KH’ Ulama Bugis-Makassar

Penulis By on 30 May 2010 | No comments


-->
 Yang pasti persamaan antara ulama Jawa dan Ulama Bugis Makassar adalah sama-sama Ulama, seorang tokoh agama yang kemudian menjadi pemimpin informal ditengah-tengah masyarakat.

Ada yang menarik bila membedah keberadaan kedua ulama ini. Di Jawa, Ulama lebih sreg menggunakan gelar Kyai Haji (KH), sementara di kalangan Bugis Makassar, gelar KH ini dikesampingkan dan lebih suka menggunakan gelar ‘Anre Gurutta Haji’ atau disingkat AGH. Meski di Sulsel, sendiri beberapa tokoh Bugis-Makassar pernah menggunakan gelar KH, diantaranya KH. Ali  Yafie, mantan Ketua MUI. Namun seiring perkembangannya, gelar KH di Sulsel menghilang dan menggantinya dengan gelar AGH bukan KH? Seperti ulama-ulama pesohor lainnya di nusantara. Apakah terjadi pergeseran nilai dikalangan KH?, ataukah AGH hanya cermin identitas orang-orang Bugis Makassar?

Memang tidak semua ulama di Jawa menggunakan gelar Kyai Haji ini. Biasanya hanya digunakan oleh kalangan Nahdliyin. Sebut saja KH. Wakhid Hasyiem, KH. Hasyiem As’arie, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Mustofa Bisri, dan lain sebagainya. Muhammadiyah jarang sekali. Nama KH bagi seorang Muhammadiyah hanya melekat pada pendirinya ‘KH Ahmad Dahlan’. Tapi seorang ulama se modern Din Syamsuddin (berasal dari Lombok), tidak pernah menggunakan gelar tersebut, dan lebih melekat pada gelar akademiknya. Prof Dr Din Syamsuddin.

A, Haedar Ruslan, seorang guru di Pondok Pesantren Daarul Ma’arif Bandung dalam tulisannya berjudul ‘Dinamika Kepemimpinan Kyai Di Pesantren’ menulis tentang seluk beluk dan arti Kyai. Menurutya, Kyai berasal dari Bahasa Jawa Kuno ‘Kiya-Kiya’ yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk; pertama, pada benda atau hewan yang dikeramatkan seperti Kyai Plered (tombak), Kyai Rebo dan Kyai Wage (Gajah di kebun binatang Gembira Loka Yokyakarta). Kedua, pada orang tua pada umumnya, ketiga, pada orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam yang mengajar santri di Pesantren.

Secara terminologi, menurut Manfred Ziemnek, pengertian Kyai adalah Pendiri atau pemimpin sebuah pesantren,  sebagai muslim "terpelajar" yang telah membaktikan hidupnya "demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata "kyai" disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. ( Moch. Eksan, 2000 ).

Abdurrahman Mas’ud (2004, 236-237) memasukkan Kyai kedalam lima tipologi, yakni
1.      Kyai (ulama) encyclopedi dan multidispliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar,  mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab seperti Nawai Al-Bantani.
2.    Kyai yang ahli dalam salah satu spesialisai bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian meraka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan pesantren, mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mreka, misalnya pesantren Al-quran.
3.      Kyai Kharismatik, yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagaamaan, khususnya sufisme, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
4.      Kyai Dai Keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi Sunnisme atau Aswaja dengan bahasa retorika efektif.
5.      Kyai Pergerakan, yakni karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, sehingga menjadi pemimpin yang menonjol. Seperti KH. Hasyiem Asyarie.

Lima kriteria Kyai versi Abdurrahman Mas’ud inilah, sepertinya masuk dalam kategori ‘Ulama Bugis Makassar. Mungkin subjektif, sebab ulama-ulama Bugis Makassar dengan gelar ‘Anre Gurutta Haji’ adalah sosok yang kharismatik, dipercaya masyarakat, fatwah-nya di ‘takuti’, seorang sufi dan umumnya berusia 60 tahun keatas. Seperti AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, AGH. Assa’ad, AGH Daud Ismail (Gurutta Daude), AGH. Pabbaja, AGH Yunus Martang, hingga ulama modern Bugis Makassar saat ini, AGH. Sanusi Baco.

Jarang skali terdengar ada seorang Bugis Makassar, yang ahli dan cendekia dalam bidang Agama Islam dan ke-sufi-annya, dengan umur 50 tahun ke bawah menggunakan gelar AGH atau KH. Biasanya, mereka lebih sreg dipanggil ‘uztads’ saja. Entah kenapa, tetapi di panggil pak Kyai Haji, bagi mereka ‘terlalu berlebihan’, bahkan merasa tak lazim.

Terminologi AGH
            Menurut penulis, dari kata perkata, AGH atau Anre Gurutta Haji berasal dari tiga suku kata yakni; ‘Anre’ yang berarti  ‘tempat belajar’ (bukan Manre = makan), Gurutta  yang berarti Guru Kita (Guru semua lapisan masyarakat), dan Haji atau orang yang pernah melaksanakan ritual ibadah haji, sebagai penyempurna dari Rukun Islam.
            Wajar saja kemudian, bila pengguna AGH bagi kalangan ulama Bugis Makassar, hanya diberikan oleh publik bagi seorang yang sufistik, berusia lanjut karena dianggap matang, serta punya ‘karomah’ tersendiri yang kemudian diposisikan sebagai orang yang paling dihormati, jauh dihormati ketimbang pejabat tinggi, atau bahkan yang bergelar proffessor sekalipun. Bahkan seorang pemuda, yang telah menghafal Al-quran 30 Juz, menguasai seluk beluk agama Islam dari A hingga Z, menimba ilmu di Timur Tengah, begitu kembali ke Sulawesi Selatan, biasanya hanya senang digelari ‘uztadz’ saja. Layaknya di Jakarta kepiawaian seorang ulama muda hanya suka menggunakan gelar Uztads saja, seperti;  Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Jefri Al-Buchori hingga Ustazd Arifin Ilham.

Banyak ‘Kyai Haji’ Muda.

Jumat malam lalu, 28 Mei 2010, di Masjid Raya Kota Baubau Sulawesi Tenggara digelar zikir akbar dengan menghadirkan dua orang ulama asal Jakarta, lengkap dengan gelar akademik dan gelar keagamaannya. Namanya ditulisan masing-masing Drs. KH...............................,MA (maaf tidak menuliskan nama). Ketika Walikota Baubau memberi sambutan dan menyebut nama kedua ulama tersebut, sang walikota menyebut nama beliau dengan ‘Yang Terhormat, Ustadz Drs, Kyai Haji...........................................MA. Penyebutan nama ini pula diikuti oleh sang protokl acara.

Sengaja atau tidak, pemberian kata Ustadz didepan kata KH adalah protes ‘alam bawah sadar’ seorang Walikota. Maklum, di Sulawesi pada umumnya, gelar KH tidak lazim bagi seorang ulama yang masih berusia muda.
Di Baubau sendiri, gelar KH baru kesohor pada seorang ulama saja, namanya KH Syukur, seorang ulama besar yang kini telah meninggal dunia, dan sangat berjasa dalam siar Islam di beberapa wilayah di Pulau Buton.

Belakangan, ada dua orang lagi bergelar Kyai Haji, yang masing-masing memimpin pondok pesantren di kota ini. Meski secara formal, gelar KH diberikan pada keduanya saat ada kegiatan yang bersifat formal, namun dalam penyebutan sehari-hari, masyarakat lebih sreg memanggilnya ‘ustads’ saja. Entah kenapa, yang pasti keduanya berusia terbilang muda.

Sepakat Dengan Gus Mus

Sebagai perenungan, mungkin baiknya kita banyak membaca tulisan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (baca di  www.gusmus.net ) dalam tulisannya yang berjudul, Ulama, Kyai, Muballig dan Artis..berikut ulasan Gus Mus;

Konon istilah mula-mula muncul sebagai kesepakatan sesuatu kelompok atau kalangan tertentu. Istilah-istilah hadis, misalnya, muncul dari kesepakatan kalangan muhadditsin; istilah-istilah kesenian dari kalangan seniman; dan. seterusnya. Namun kemudian istilah-istilah yang beredar di masyarakat itu sering mengalami  kerancuan pengertian. Antara lain, karena orang seenaknya saja menggunakan istilah itu, dan tidak mau —atau tak sempat— merujuk ke sumber asalnya. Kerancuan itu ternyata membawa dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang terjadi dengan istilah “ulama”, “kiai” dan “mubalig”. Celakanya, yang bersangkutan -yang dengan tidak tepat disebut ulama, kiai, atau mubalig— biasanya malah mcrasa bangga dan tidak membantah. Kalaupun membantah, biasanya dengan gaya basa-basi, sehingga semakin mendukung penyebutan itu, atau setidaknya makin mengaburkan maknanya.

Sebab, meskipun sebutan ulama, kiai, atau mubalig itu mengundang kehormatan dan tanggung
jawab, yang segera tampak menggiurkan justru kehormatannya. Baru setelah yang bersangkutan terbukti melakukan hal yang tak sesuai dengan maqam, atau kedudukan terhormat itu, orang menjadi bingung sendiri. Yang lebih merepotkan, istilah "ulama" yang beredar dalam masyarakat kita -seperti berbagai istilah lain- mempunyai "kelamin ganda" dan berasal tidak hanya  dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti "orang yang ahli dalam  hal atau dalam pengetahuan agama Islam" (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.  985). Sedangkan di Arab sendiri, 'ulama (bentuk jamak dari ‘alim) hanya mempunyai  arti "orang yang berilmu".

'Ulama dalam peristilahan itulah yang sering disebut-sebut ulama sebagai waratsatul anbiyaa (pewaris para Nabi). Merekalah yang disebut sebagai hamba Allah yang paling takwa, pelita ummat dan sebagainya. Banyak definisi mengenainya, tetapi semuanya mengacu kepada satu pokok pengertian: ilmu dan amal.  Karena itu, disamping menguasai kandungan Al-Qur'an dan Sunnah, mereka juga -sebagaimana Nabi- mesti yang pertama mengamalkannya. Sebagai pewaris Nabi,  setidaknya ulama mewarisi -di atas rata-rata ummat mereka- ilmu, ketakwaan, kekuatan iman, akhlak mulia, rasa tidak tahan melihat penderitaan ummat,  pengayoman, keberanian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dan keikhlasan  serta keuletan dalam mengajak kepada kebaikan.
Dengan kelebihan-kelebihan itu, ulama tentulah merupakan hamba-hamba yang paling takwa kepada Allah.  Dari sini saja, kita -atau setidaknya saya- merasa pesimistis: apakah kini masih  ada ulama? Ada saatnya ulama dengan pengertian itu menjadi sinonim dari istilah Kiai yang lebih bersifat budaya dalam masyarakat kita.

Bila orang menyebut kiai, segera teringat pengertian ulama pewaris Nabi itu. Kenapa? Karena, meski dari segi ilmu dan lain sebagainya, kiai -betapapun hebatnya- tidak bisa mendekati ulama seperti yang dicontohkan dalam kitab-kitab kuning. Setidaknya masyarakat  masih melihat mereka mewarisi sifat-sifat keteladanan mulia dan pengayoman yang teduh. Mereka membangun surau dan pesantren untuk kepentingan masyarakat.  Mendarmakan hidupnya untuk Allah melalui khidmah (pelayanan)-nya kepada ummat.
Karena itu, bahkan tidak hanya kiainya secara pribadi, tapi juga keluarga dan putra-putranya dihormati. Putranya yang laki-laki diberi julukan terhormat: (ba)gus, dengan harapan kelak akan menjadi kiai sebagaimana ayahnya.

Penghormatan yang terlalu dini kepada gus inilah yang mungkin sering justru mencelakakan yang bersangkutan. Apalagi bila ternyata kemudian -setelah sampai saatnya menggantikan orang tuanya- kapasitas ilmu maupun keteladanan; budi pekertinya tidak mampu mengatrolnya, minimal mendekati kapasitas orang tuanya.

Di pesantren, disamping pengajaran, sebenarnya yang lebih penting lagi adalah pendidikan kiainya. Sulitnya, menyerap pendidikan tidak semudah menyerap  pelajaran. Maka janganlah heran apabila kemudian lebih banyak santri yang menjadi  pintar ketimbang yang berakhlak.

Dari segi penampilan, boleh jadi orang yang pintar lebih tampak wah dan cepat  ngepop. Dengan menggelar ilmunya, orang akan segera terpesona dan teringat kepada  kiai sepuh yang juga berilmu. Apalagi jika pandai bicara, dijamin cepat kondang. Orang pun lalu menyebutnya sebagai kiai mubalig.

Istilah kiai mubalig ini pun agak rancu. Apalagi akhir-akhir ini di mana-mana muncul mubalig yang tak jarang dengan sendirinya disebut kiai. Mungkin karena keterbatasan memahami hadis "Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat," maka meskipun hanya punya satu ayat-dua ayat, ditambah ghirah ber-amar ma'ruf nahi munkar, plus modal pintar ngomong jadilah seseorang sebagai mubalig. Karena sebelumnya ada kiai yang bertablig, maka siapa pun yang bertablig disebut juga kiai.

Lalu, seiring dengan maraknya kebidupan keagamaan, artis yang memang luwes dan pelawak yang memang pintar bicara, yang beragama Islam, pun tak mau hanya mendapatkan 'fid-dunya hasanah'. Mengapa tidakjuga mencari ‘fid-akhirati khasanah’ Bukankah gerak-kegiatannya tidak begitu berbeda dan bahan tersedia di mana-mana? Dan kiprah mereka di mimbar taklim tak kalah dengan di pentas show, bahkan tak jarang mengalahkan mubalig betulan.

Begitulah, lalu menjadi campur-aduk -barangkali sesuai zaman globalisasi! Yang ulama, yang kiai, yang mubalig kiai (kiai yang bertablig), yang kiai mubalig disebut kiai karena tablig), yang artis mubalig, dan yang mubalig artis, semuanya menjadi sulit dibedakan. Apalagi bila gaya ulama dan kiai -termasuk berfatwa- juga dengan baik telah ditiru mubalig dan artis; gaya mubalig dan artis -termasuk "keluwesan" pergaulan dan glamour- juga sudah menulari ulama dan kiai.
Masya Allah! Tuhan, apalagi yang hendak Engkau pertunjukkan kepada kami? Ampunilah kami semua!  (**)

                                                                                                Baubau, 29 Mei 2010

foto-foto dari atas ke bawah adalah ulama-ulama bugis-makassar masing-masing;
1. AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (Gurutta Ambo Dalle)
2. AGH. Daud Yunus (Gurutta Daude)
3. AGH. Pabbaja (Gurutta Pabbaja)
4. AGH. Muh. As'ad (Gurutta Saade')
5. AGH. Yunus Martan (Gurutta Yunusu')

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments