» » Pak Beye ’Kegatelan’ Monarki Yogya

Pak Beye ’Kegatelan’ Monarki Yogya

Penulis By on 08 March 2011 | No comments

Kebanggaan memiliki seorang Presiden sekelas Jenderal TNI (pur) Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono (Pak Beye) sepertinya makin meredup. Seredup kasus-kasus korupsi besar yang kini menghilang entah kemana. Century misalnya, kemana kasus itu? Gayus, kok tidak bisa dibongkar? Ini pekerjaan besar Pak Beye, dan membutuhkan campur tangan Bapak. Lho, yang justru di krtitik habis adalah eksistensi Kesultanan Yogya, yang tidak memberi kerugian besar pada negeri ini.

Sebagai Presiden, Pak Beye bisa bertitah, kalau demokrasi di Indonesia memang perlu ditumbuh-suburkan, kami salut. Tapi perhatian serius Pak Beye, soal RUU Keistimewaan Yogyakarta yang menohok jantung kesejarahan negeri ini, juga patut di kritisi. Pak Beye, telah melukai hati sebagian besar ‘orang Jawa’ dan Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun sistem Monarki dalam pemerintahan Yogyakarta, adalah khazanah budaya besar di negeri ini. Sepanjang Yogya tidak merugikan bangsa ini, kenapa harus di ‘obok-obook’?

"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi," inilah pernyataan Pak Beye yang patut kita kritisi.

Benar Keraton Yogjakarta dan Paku Alaman, adalah ’wilayah monarki’ dimana Sang Raja adalah segalanya bagi rakyat yang diayominya. Tapi kami menyakini kalau Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam menyadari benar ’warisan’ sejarah yang pernah dilakukan Sri Sultan kembali Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tanggal 5 September 1945 melalui amanahnya, adalah sebuah demokratisasi dan pernyataan pengakuan kedaulatan atas NKRI saat itu.

Apa bunyinya?? pertama Yogyakarta dan Paku Alam yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari NKRI. Kedua, Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam selaku kepala daerah memegang seluruh kekuasaan di Yogyakarta dan Paku Alaman dan ketiga,  Hubungan antara Yogyakarta dan Paku Alaman dengan pemerintah pusat bersifat langsung dan Sultan serta Paku Alam bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Lalu apa lagi?

Menyoal sisi ini, nampaknya Pak Beye sebenarnya punya niatan hanya ingin menghilangkan ’monarkisme’ jabatan Sultan sekaligus Gubernur, yang menjadikan seorang Sultan bisa menjadi Gubernur sepanjang hayat. Tapi apapun konsekwensinya, Yogya, adalah sebuah wilayah khusus, yang kita hormati bersama, kita junjung bersama.

Andai saja RUU Keistimewaan Yogya ini terakomodir, maka Sultan hanyalah simbol. Sultan maupun Paku Alaman, hanyalah jabatan non formal, sebagaimana layaknya ’kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan’ yang ada saat ini. (bisa kita liat di Festival Keraton Nusantara, di Palembang yang saat ini masih berjalan). Jabatan Gubernur dan wakil gubernur akan dipilih dengan masa jabatan tertentu. Disinilah letak ’kegatelan’ itu. Tidak Wajar, tapi menjadi wajar, ketika kita kembali menilik sejarah pergerakan kemerdekaan. Dimana Soekarno, bahkan Ratu Belanda pun mengakui eksistensi Yogyakarta.

Ancaman Disintegrasi
Pak Beye ada baiknya menilik kembali ’kegatelannya’ terhadap monarkisme yang ada di DI Yogyakarta. Sebab nama DI bukan sekedar nama, punya sejarah panjang, punya proses, kenapa Yokya bergabung ke NKRI. Saya membayang  Kesultanan Yogyakarta sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, punya posisi seperti ’Distrik Pante Makasar’ di Timor Leste. Wilayah ini benar-benar masuk dalam wilayah NKRI. Tapi begitu mengajukan referendum kemerdekaan dan diakui dunia, wilayah ini juga ikut lepas, karena memang bagian dari Timor Leste..Apa hubungannya? Yogya secara geografis juga letaknya sama dengan ’Distrik Pante Makasar Timor Leste’.

Andai saja Sri Sultan Hamengkubuwono-X telah merasa kalau ’eksistensi’ kesultanan Yogyakarta yang pernah diakui dunia sebagai sebuah ’negara’ di Pulau Jawa, telah dirusak oleh NKRI, dan Sri Sultan berpikir untuk ’Merdeka’ dari NKRI, apa jadinya negara ini? Kita pasti akan terkoyak lagi, meski (mungkin) itu sulit terwujud.

Apa bisa? Ya!. Sri Sultan cukup mengajukan Amanat Sri Sultan Hamenku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII tanggal 5 September 1945, sebagai dokumen ’alasan’ untuk merdeka, dan disampaikannya ke forum PBB. Juga dengan alasan demokrasi? (lagi-lagi berat, tapi itu tidak mustahil).

Yang patut dijadikan perenungan bagi Pak Beye saat ini, bahwa NKRI dibentuk, selain karena ’keringat darah’ para pejuang, juga karena ’keihlasan’ sejumlah raja-raja dan Sultan yang menyatakan kesetiaannya pada NKRI. Ini yang patut dihargai sebagai sebuah penghargaan dan wujud nyata dari sebuah demokratisasi dan semangat menjadi Negara Kesatuan. Atau bisa kita bertanya seperti ini. Kenapa Indonesia disebut Negara Kesatuan? Maka (mungkin) salah satu jawabannya adalah ’Bergabungnya sejumlah Kerajaan-kerajaan, kesultanan, kepada Pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu.

Lebih Baik Pak Beye Konsentrasi Berantas Korupsi
Ketimbang, harus larut memaksakan merubah sistem dan tatanan Yogyakarta, maka baiknya Pak Beye lebih konsentrasi menyelesaikan hal-hal yang urgent yang merugikan negara. Pemberantasan Korupsi adalah PR besar bagi kita semua. Mensejahterakan Rakyat Indonesia adalah cita-cita mulya Pak Beye sampai selesai di tahun 2014. Mengurus rakyat Yogyakarta pasca erupsi Merapi jauh lebih mulya ketimbang ’mengobok-obok’ monarki yang ada di sana. Atau ada tendensi lain?

Pak Presiden...Maaf, kami memanggil bapak, Pak Beye. Bambang Yudhoyono saja. Efendi Gazali mengatakan, ”saya senang menggunakan pak Beye, ketimbang SBY. Sebab kata ’Soesilo’ itu berat sekali...artinya ’Baik’..” Apakah beliau Baik? Rakyat yang menilaimu.

Pastinya, kami masih bangga punya Presiden yang kerap menangis ketika ada bencana (seperti dalam buku Pak Beye dan Kerabatnya yang menyebutkan Pak Beye tiga kali menangis karena derita warganya). Dan, kami juga bangga ketika Sri Sultan dalam imbauannya saat Erupsi Merapi (termuat di harian Kompas, november ini) yang mengatakan, Lengan ini masih kuat membantu Saudara, dada ini masih bisa menjadi sandaran untuk menumpahkan tangisan saudara.

Ataukah ada interest antara Pak Beye dan Sri Sultan? Yang pasti, Bapak berdua jangan ’kegatelan. Wallahu alam bissawab...(**)

                        Jakarta, 29 November 2010
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments