» » Dedu Purnomo, Pebisnis Dari Khayalan Tinggi

Dedu Purnomo, Pebisnis Dari Khayalan Tinggi

Penulis By on 26 June 2011 | 2 comments


La Dedu, begitu nama akrab dimata ‘abang-abangnya’. Sebenarnya ia bernama lengkap Dedu Purnomo. Namun, nama La Dedu sulit terbuang dari memory bagi yang mengenalnya. Kenapa? La Dedu dulunya seorang pecundang, sedikit menipu, licik, nakal, suka buat masalah, agak kuno-an, dan berselera tinggi. Lebih dari itu, La Dedu seorang penghayal kelas kakap. Padahal sebenarnya, ia hanya anak seorang petani miskin, bahkan sangat miskin di Parauna Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara sana. Namun kini, keadaan itu terbalik 180 derajat. Kini ia menjadi pebisnis yang terbilang berhasil di Kota Kendari.

Sebelum membahas siapa Dedu Purnomo kekinian, mungkin ada baiknya kita flashback ke masa lalu, untuk bisa memetik hikmah dari perjalanan hidup seseorang.

Ya! Dedu Purnomo, namanya kejawa-jawaan, padahal sebenarnya ia berdarah Tolaki asli. (Tolaki adalah salah satu suku terbesar di jazirah Sulawesi Tenggara). Dia mengaku sendiri kalau nama sebenarnya hanyalah DEDU saja. Gak pake embel-embel. Tapi karena terlalu pasaran, dan ia tidak ingin disebut kampungan, maka ia menambah nama belakangnya dengan kata PURNOMO….maka kemudian ia berubah dan dikenal dengan nama DEDU PURNOMO. ”Supaya lebih keren dan terkesan kaya,” khayalnya saat itu

Sebenarnya, nama ini ia pakai ketika masuk pramuka, khususnya saat ia berkiprah di Kwartir Daerah Sulawesi Tenggara. Kok bisa? Ya bisalah! Sebab siapapun bisa masuk anggota Pramuka. Meski berasal dari keluarga miskin, namun Dedu masih bisa melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, bahkan menyelesaikan pendidikan S1 di Unhalu Kendari dengan gelar Sarjana Pendidikan.

Menjadi mahasiswa baginya hanya secara kebetulan. Saat masih berstatus ’La Dedu’, ia banyak mendapat dorongan. Bahkan saat SMA ia nyaris putus sekolah, belum lagi ia masuk di sekolah swasta. Bahkan Kak Abdul Rasyid (kini ia di Jakarta) kerap mendorongnya untuk menamatkan pendidikannya. ”kamu kok sekolah di SMA Battrey, kamu harus bisa yang lebih baik,” kata Kak Rasyid yang menyebut SMA Battrey itu sebagai kiasan sekolah yang sama sekali belum dihitung di Kota Kendari. Termasuk, saat tamat SMA, Kak Rasyid banyak mendorongnya untuk masuk perguruan tinggi entah dengan cara apa. Yang penting kuliah.

Entah bagaimana caranya, Dedu akhirnya lulus di Unhalu. Sebenarnya anaknya cerdas, cuman bawel, sok tahu, suka buat orang tertawa, karena hayalan-hayalannya yang tidak masuk akal saat itu. Dedu saat itu hidupnya ’mondar-mandir’ dari rumah keluarga yang satu ke keluarga yang lain. Mungkin banyak yang sebel padanya, tapi ia tidak mau ambil pusing, yang penting bisa kenyang, bisa tidur dan tentunya dapat uang pete-pete (angkot, pen). Hahahaha…

Pondok Kenangan
Mungkin bosan dengan kehidupan mondar-mandir-nya, Dedu pun stamp di Kwarda Sultra. Maklum saat itu, memang banyak anak Pramuka yang ’ngekost’ disana. Ia pun menjadi penghuni disalah satu pondokan tua Kwarda. Sebenarnya pondokan ’warisan’ dari abang-abang pramukanya, mulai dari Kak Rasyid, Kak Arwan, Ruslan Latif, Kak Andi Adha, Kak Samsul Usman, Kak Dahlan, terus Dedu dan kini diwariskan lagi kepada Kak Bona (Arisman Silondae). Saya pun pernah sama-sama hidup disana, disanalah saya mengenal watak seorang Dedu Purnomo.

Pondok itu sangat sederhana, atapnya seng campur daun nipa plus asbes, dindingnya papan lapuk tak pernah di cat, lantainya retak. Dan yang paling lucu, bisanya ruang tamu berada di depan, tapi yang ini justru di ambil alih sebagai dapur. Mungkin penggambaran, kalo penghuninya serba susah. Ukurannya pun sangat sempit, kira-kira 3×4 meter. (ingat ukuran foto 3×4 cm, Heheheheheh…) Lebih lucu lagi, kamarnya dihiasi poster-poster artis dengan latar koran, jadi mau tidur tak perlu susah-susah, cukup baca koran di dinding sampai mata ngantuk, sambil menghayalkan artis, kapan-kapan bisa dipacari…..

Tapi, pondok itu dianggap angker sebagian cewek-cewek Kendari. Gak tahu apa, tapi banyak yang menyebut, pondok eksekusi, pondok jorok..saya tidak paham apa artinya, yang pasti saya pernah mondok disana bersama Dedu, saat masih menjadi wartawan Kendari Pos, senang juga, sebab bawaannya, happy saja.

Disanalah Dedu ‘tumbuh’. Ia menjadikan pondok itu sebagai tempat belajar, tempat berkhayal dengan hayalan setinggi-tingginya. Bahkan sempat naik pitam karena masing-masing tidak ingin dikalahkan khayalannya. Ceritanya begini, Kak Jainuddin Ladansa (kini sekretaris Kwarda Sultra) pernah tanya Dedu. ”Ded, kalo kamu punya duit banyak, kamu mau beli apa?” tanya Kak Jainuddin.

Dedu menjawab dengan khayalan tinggi. ”Ia kak, kalo saya punya duit banyak, saya mau jadi pebisnis”.
”Bisnis apa” kata Kak Jai lagi.
”Saya mau beli pulau Jawa, terus orang-orangnya saya pindahkan ke Irian Jaya. Nah, Pulau Jawa itu saya buat empang semua, karyawannya orang-orang Kwarda,” kata Dedu dengan serius berkhayal.

Kak Jai menimpali, ”Berarti saya tidak kalah dong Ded”.
”Kok bisa kak, sudah tidak ada yang kalah-mi kekayaanku itu” sergah Dedu
”Saya, kalo punya uang, saya mau beli Pulau Sumatera, terus saya juga buat empang. Sumaterakan lebih besar dari Pulau Jawa. Nah nanti tanah yang saya keruk saya timbun pulau Jawa..jadi empangmu tertimbun semua, hahahah” spontan Kak Jai ngakak.
”Bisanya” muka Dedu memerah karena kalah khayalan. Dedu ’yang kalah’ ngeloyor pergi..

Memang naluri berakal kalau tidak mau disebut licik, dimiliki Dedu. Saya juga pernah merasa ’ditipu’ olehnya. Ceritanya begini. Saya punya duit untuk beli handphone. Maklum saat itu saya sudah bekerja jadi wartawan. Saya langsung konsultasi sama Dedu, lagian rencananya mau bagi-bagi rezeki sama dia. Dedu dan dua rekan lagi, namanya Khalik (kini seorang guru di Bombana) dan Munib Untung (kini aktif di LSM) pun sumringah..wah makan lagi nih..pikir mereka.
”Ded, saya sudah beli handphone, tinggal kartunya” kataku
”Merek apakah? Ow Erickson, hmm, adaji, kartuku saja beli” kata Dedu..
”Berapakah?”
”150 ribu saja, kan punya teman jadi murah dikit, tapi ini tidak ada pulsanya” kata Dedu

Saya yang sumringah karena punya handphone baru, langsung bayar. Pikir-pikir, membantu teman. Terus pergi ke counter untuk isi pulsa. Nah, (ini yang lucu) saat beli pulsa, Rp 100 ribu, saya tanya yang punya counter.
”Itu kartu perdana berapa Mbak?” tanyaku
”30 ribu plus pulsa 10 ribu,” kata Mbak itu…

Saya pun teringat Dedu, yang saya beli kartunya 150 ribu tanpa pulsa lagi. ”kena deh..!!” umpatku sama Dedu.

Saat pulang semuanya kuceritakan padanya. Dedu hanya ngakak, dan sudah dengan nikmatnya menimati sebatang rokok, secangkir kopi panas, beberapa bungkusan indomie terlihat di dapur. Habis belanja besar-besaran. Saya hanya tertawa kecil, dari ulah mereka itu.


Jadi Bisnisman Sukses
Perjalanan hidup Dedu begitu panjang. Ia punya pacar namanya Ningsih (kini almarhum), yang kemudian menjadi istrinya. Ia perempuan berjilbab besar. Cintanya sama Nining, ia jalani dengan penuh cobaan. Saya ingat betul saat melamar, ia ditolak keluarga Nining. Makanya ia ’nekat’ saja menikahinya, tanpa persetujuan orang tua. Saya paham benar, karena Dedu dan sang Istri pernah ke Bau-Bau ’minta petunjuk’ dari saya sebagai sahabatnya.

Singkat cerita, keduanya selesai dan jadi sarjana, menikah, dan hidup dengan pas-pasan. Konon saat menikah, ia minjam duit dari Kak Ruslan Latif.

Ia pindah kost, dari ngetamp di Kwarda menuju sebuah kamar kost di lorong Torada, dekat kost rekan Munib Untung. Saya pun sering mampir dan nginap disana dirumah sederhananya, meski saya paham mereka hidup serba sulit. Apalagi saat itu saya dan istri dua-duanya sudah PNS, punya rumah, tapi di Baubau sana..

Saya dan istri acap kali ’jenguk’ mereka, termasuk saya waktu dipindahkan ke Kolaka. Sekedar bawa apalah yang bisa dinikmati bersama. Tapi beberapa bulan kemudian saya dan Dedu tidak pernah jumpa lagi. Saya hanya dengar saat istrinya mau melahirkan, dan sama sekali tidak punya uang, padahal harus masuk rumah sakit. ”Kasihan betul” pikirku mendengar informasinya…

Satu tahun informasi kami terputus..tiba-tiba saya ke Kendari urusan kantor. Dan bertemu di Hotel Attaya. Kami berpelukan. Saya pun membatin…Dedu tampil dengan motor Thunder hitam, jaket kulit, dan kulit sudah mulai bersih. Pokoknya ada tanda-tanda kesuksesan dari cara penampilannya, meski dengan logat dan karakter yang sama.

”Refa, dirumahmi nginap nah!” ia memanggilku Refa dari nama anak tertuaku.
”Ok bos, yang penting ada air buat mandi” kataku.
”Gampangmi itu, kalau tidak ada air, adaji sungai dibelakang rumah” ujarnya serius,

Sayapun mulai berpikir ada sungai dibelakang rumahnya, Kapan? Yang kupikir dia pasti sudah pindah kost.
”Dimanakah Ded?”
”Di Punggolaka hae..pokoknya marimi kesana, janganmi buang-buang uang di hotel” kini ia lebih serius.

Sesaat kemudian ia membonceng saya menuju sebuah rumah dibilangan Punggolaka sana. Sebuah rumah besar permanen, punya kamar banyak lengkap dengan prabotnya.
”Ei, kenapa begini besar kamu sewakah?” tanyaku memprotes rumah besar yang kukira rumah kos itu.
”Anu Ref, saya butuh yang besar karena buku-buku ini mau disimpan kemana”

Saya mulai terheran-heran sambil membatin. Hebat juga nih teman yang satu ini. Proyek apakah. Dia tampak paham dengan alur pemikiranku. ”Ref, saya ada kerjaan dikit, makanya kuambil rumah ini” katanya.

Saya masih bingung dan berpikir terus. Tiba-tiba Almarhumah Nining istrinya, langsung jawab polos.
“Ini rumah punya kami Kak, dari uang hasil tabung-tabung” katanya.

Saya tidak sadar angkat dua jempol. Saya angkat topi buat seorang Dedu yang ‘penghayal tinggi’. Saya terus bergumam dalam hati, nasib orang siapa bisa tebak. Yang pasti, saya dan Dedu banyak ngobrol tentang kehidupan, tentang rencana esok mencari perkantoran dan menjalankan lobi-lobi untuk mendapatkan proyek-proyek bernilai milyaran rupiah. Benar-benar ia sudah berangkat dari keterpurukan.

Beberapa waktu kemudian, Dedu telah menjelma menjadi DEDU PURNOMO, seorang pebisnis tulen, dengan omset mungkin milyaran rupiah. Namun sayang, kekayaan materi yang dimilikinya, tak diikuti Nining. Dia meninggal beberapa bulan kemudian disaat sang suami baru saja menghadiahi sebuah mobil baru, dan Nining lulus sebagai PNS di Bombana. “Supaya aktif, ia masuk PNS dan alhamdulillah lulus” kata Dedu berkaca-kaca.

Hampir dua tahun lamanya ia menduda ditemani dua putra kesayangannya, Ibong dan Wai, yang besar tanpa seorang ibu. Syukurnya, secara materi kedua putranya tak sesusah orang tuanya dulu. Dedu-pun menikahi partner bisnisnya, seorang perempuan asal Bandung yang bekerja di Bogor. Yang kemudian menjadi ibu yang baik bagi ‘Ibong dan Wai’. Beruntung dia mendapat istri yang lembut, punya prinsip, berpendidikan  dan  yang terpenting menyayangi ’Ibong dan Wai’ sepenuh hati… ”Alhamdulillah” kata Dedu..

Dedu Purnomo, ia pun tidak semiskin dulu, kini dia punya Ruko di dua tempat yang berbeda, punya kantor sendiri, punya dua hotel yang kini masih dibangun di Kota Kendari dan Bombana. Membangunkan rumah kedua orang tuanya. Lebih dari itu, Ded tak lupa diri. Ia malah lebih rajin beribadah, dengan ucapan-ucapan ’standar La Ilah Illallah’ dan kalimat tasbih lainnya.

Ia pun masih bisa membantu rekan-rekannya, membantu Pramuka jika ada kegiatan. Dan, saya juga seolah dimanjakan oleh Dedu..jika saya di kendari, maka ia tak pernah lepas kontrol darinya, mulai dari memakai kendaraan gratis, nginap sesuka hati, dan ngobrol ngakak sepanjang hari jika ada waktu senggang…

Dedu pun masih mengingat dengan masa susahnya dulu. Saat di kendaraan saya bercengkrama dengannya.
”Tidak mimpikah, Ded?”
”Wei…saya sadar ji sebenarnya, kalau saya masih seperti bermimpi”
”Ko ingatji Kartu Handpon-mu dulu? Hahahahahahahah….” ia tergelak lepas mengigatkan masa ’tipu-tipunya’ dulu…Kini beliau mengembangkan bisnisnya di Kota Jakarta

Hahahahahahahahahah…………………………………….”
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments

2 komentar

Anonymous July 10, 2011 at 12:42:00 AM GMT+7

Subhanallah..sebuah kisah ygmengharukan dan indah semoga Allah menambahkan slalu rezkinya..danmenjadi seorang yang dermawan..

Anonymous December 7, 2012 at 6:00:00 PM GMT+7

Subhanallah. Cara penceritaan yang sempurna sehingga pembaca yang belum mengenalnya bisa mendapatkan gambaran yang sempurna tentang dirinya. Terakhir kapankan berkomunikasi dengan beliau?