» » Setetes Air Hujan Mawar Ibukota

Setetes Air Hujan Mawar Ibukota

Penulis By on 28 December 2011 | 1 comment

Selama beberapa waktu lamanya di ibukota saya begitu asing terhadap sosok-sosok wanitanya. Saya cukup mengagumi jika ada yang melintas dalam pandangan mata. Mungkin karena hati telah berjanji untuk tetap setia dengan ikrar batin yang kubangun. Karenanya jarang lagi kugoreskan bait-bait kata yang bercerita tentang romantisme seorang wanita. Saya takut jatuh cinta dibalik kepercayaan besar dari sebuah cita-cita.

Tetapi sesosok wanita muda mengalihkan pandanganku sejenak. Saya mengaguminya dari talenta dan perangainya ketangguhannya membelah jalan-jalan ibukota. Namanya Ibu Annie. Tetapi saya suka memanggil ibu muda ini dengan Mawar, sebuah nama yang kulekatkan setelah menyaksikannya menggoreskan pena meliukkan tangan mensketsa sekuntum mawar di atas whiteboard. Ia seorang kawan dari sebuah ormas yang belum lama kukenal.

Kepribadian Bu Annie memberiku banyak pelajaran tentang kontradiktif wanita-wanita Ibukota, yang kerap dipersepsikan terlalu liar dengan kehidupan kebebasan Jakarta. Saya tidak terlalu paham bagaimana kehidupan pribadinya. Tetapi kesetiakawanannya, kekokohannya dalam memperjuangkan sesuatu, serta luangan waktu yang begitu besar dari makna sebuah perjuangan, memberi pelajaran bahwa wanita-wanita Jakarta telah hidup pada zaman yang berbeda dengan kodratnya. Tidak sekedar, dapur, sumur dan kasur.

Semalam hujan deras mengguyur jalan Jakarta menuju Depok juga arah sebaliknya. Di atas mobil milik Bu Annie, kami berempat. Bu Annie sendiri sebagai drivernya. Maklum aku sendiri belum punya pengalaman jadi driver apalagi di ibukota. Gak tahu tiga kawan lainnya.. Rasanya ada ‘dosa’ membiarkannya letih menyetir sendiri kendaraan yang bagi saya harusnya dikerjakan oleh kawan seperti saya.

Tapi saya tak menangkap aura keletihan itu. “Tenang aja Bang,” katanya. Tapi wajahnya tak bisa menyebunyikan kepenatan di balik sunggingan senyumnya. Menatapnya diam-diam, saya ingat sosok artis Melly Guslow, penembang favorit saya. “Manis juga ibu ini,” pikirku. Tapi piker-pikir, rasanya terlalu ‘kurang ajar’ jika mengagumi kawan baik seperti Bu Annie. Karenanya cukup aku menuliskannya dalam bait kata-kata. Mungkin bagi orang lain tak bermakna, tetapi saya begitu percaya dengan sensivitas sebuah tulisan. Sama sensitifnya surat-surat cinta yang pernah kuberikan pada pacar yang kini menjadi ibu dari tiga buah hati saya.

Dari penampilannya, Bu Annie seorang borjuis, modis dan seorang wanita bertalenta. Tapi jangan salah, jika mengenalnya lebih jauh ia seorang yang amat sederhana, berjiwa sosial dan punya kesetiakawanan tinggi. Saya malah membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah Bu Anni ini adalah sosok ibu masa depan Indonesia? Saya tak bisa menebak. Tapi saya mengaguminya dalam banyak hal. Saya mendapat begitu banyak pelajaran dari arti sebuah perkawanan ibukota.

Sekembalinya dari Depok. Saya melihat setetes air hujan di sudur-sudut rambutnya. Tetesan itu bagai embun dan permata di balik senyuman dan tutur katanya. “Kawan-kawan, Aku balik dulu ya? Terima kasih” kata Bu Anni pada kami semua.

Rasanya ingin menggemgam jemarinya. Rasanya ingin memberinya sekecup ciuman kecil. Akhh..lamunanku ke mana-mana. “Dasar Arya Dwipangga, sukanya berpujangga”. Bu Anni menyadarkanku dengan tepukan di pundakku. Hahahahaha…saya tertawa lepas sebagai kebanggaan punya kawan-kawan bertalenta seperti Bu Annie.

Istriku maaf ya? Ini hanya coretan biasa…(**)

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments

1 komentar:

Anonymous December 29, 2011 at 9:14:00 AM GMT+7

catatan yg menarik tuk dimaknai.....