» » Di Titik Terlemah…

Di Titik Terlemah…

Penulis By on 06 January 2012 | No comments

5 Januari 2012. Hidup selalu harus ada keseimbangan. Kadang kebahagiaan di puncak, namun selintas ia jatuh ke titik terlemah. Rapuh dan tak bisa menemukan apa-apa. Inilah kali pertama saya merasakannya selama berdiam di Jakarta beberapa tahun ini. Sejujurnya saya telah melawan arus kehidupan, memberontak dalam keheningan, yang sebenarnya tak perlu saya lakukan…

Saya tak tahu harus bicara apa..saya hanya bisa menuliskannya dan juga tak bermakna apa-apa…bahwa kehidupan manusia sangat dipengaruhi sekitarnya. Tak kala berita buruk bercampur alam yang tak bersahabat dan dibumbui hati yang galau, maka tak ada yang mampu berdiri lagi menantang kepongahannya sendiri. Di saat itu akan datang titik lemah, yang membuat derai air mata jiwa menetes ke bumi, sebagai tanda ia ‘mengalah’ dengan kekuasaan-Nya.

Jakarta, Kedah, kuliah, Doctor, Baubau, cinta, istri, anak-anak, harta, hujan, mawar, Gardu, Prabowo,  dan sejuta satu kata lainnya, ‘kalah’ seketika. Ambruk berderai, tak berdeting lagi…tak bergerak lagi…kaku, lemas dan tak bersemangat…tak kala itu, akal lalu berfikir jika air mata adalah panasea besar di pergerakan pusaran bumi…tumpah menggulung melewati hiruk pikuk hati yang tak menentu, sekalipun ia lelaki perkasa .

Ya Allah…Engkau telah menguji kami dengan sesuatu yang tak pernah kami lewati..saya paham jika Engkau telah memberi sesuatu pada saya yang terbaik, yang menguatkan kekuatan-kekuatan seorang hamba lemah sepertiku..  Saya hanya berharap, jangan Engkau putuskan harapanku di tengah jalan, tak kala saya masih mengharapkannya…meski mungkin tak berarti apa-apa dihadapan-Mu…

Ya Allah…saya bukanlah lelaki superhero dalam tubuh seorang Superman,,,yang bisa menggelantungkan sayap menembus angkasa raya, mencegah kejahatan yang memusnahkan isi bumi…saya hanya seorang Clark Kent yang lemah dan pecundang yang kerap dicandai dengan tawa lawan dan kawan, begitu lemahnya saya saat ini…Saya juga bukan tokoh Samurai Deepeer yang mampu menghunus pedang menantang matahari…Saya juga bukan Arya Dwipangga yang mengurai hati dan membelit kata, lalu menaklukkan asmara wanita-wanita pujaannya…Saya hanyalah seorang pandir yang kerap pongah dengan keserakahan dunianya..

Ya Allah..saya tak menantang-Mu.. Saya hanya ingin Engkau menghargai bulir-bulir kebeningan air mata jiwa ini, menghargai setiap jengkal otot yang perih takkala bekerja, meski itu juga semua adalah milik-Mu…Engkau berikan saya kekuatan pikiran, tetapi Engkau juga melemahkannya.  Engkau beri se-titik kecerdasan tetapi Engkau pula yang membodohinya..Engkau Maha di atas segala Maha, sehingga siapapun tak bisa menantang-Mu..

Tak kala hati ini Engkau beri satu kesenangan, mempatrikannya ikatan perasaan, maka Engkau uji dengan tingkah manusia yang sejujurnya saya tak tahan menghadapinya.. Engkau berikan rasa kasih sayang itu..tapi Engkau pula yang menghadapkannya pada satu dilema dan mengujinya, jika saya hanya seorang ‘anak kecil’ yang merengek meminta kasih sayangnya secara berlebihan. Padahal jiwaku bermaksud untuk meluruskannya pada jalan-jalan yang penuh rambu, mengembalikannya pada kodrat yang sebenarnya, meski saya sendiri bukanlah jalan benar dari arah itu…

Saya hanyalah manusia biasa..Ia juga manusia biasa.. Mereka pula manusia biasa…kesalahan ada dimana-mana…tapi jangan Engkau kumpulkan kesalahan itu bertumpuk di satu titik kelemahanku, yang membuat saya makin pandir dalam menatap panjang kehidupan yang Engkau anggap singkat itu…

Saya tak bisa berseteru melawan kuasa kasih sayang-Mu, saya tak kuasa berdebat dalam amarah-amarah-Mu. Istriku hanyalah perempuan lemah tak bertangkai, anak-anakku hanyalah bumbu-bumbu pengujimu..Cita-citaku hanyalah coretan-coretan warna kekuasaanmu yang suatu saat Engkau hapus jika Engkau mau. 

Ya Allah Tuhanku….Engkau maha Kaya telah menganugerahkan kasih sayang-Mu dengan warna-warna se ibarat bunga di tepian jurang. Bunga-bunga dengan beribu nama…yang kerap mencumbui dengan pancaran warna dan aroma yang mempesona, tapi sulit tergapai sebab ia punya duri. Seperti Mawar di tepian jurang itu…. Sekali menggapai,  saya melihatnya jauh kebawah…terancam dan bakal menghempas..

Saya ingin Mawar itu engkau kembalikan di taman-taman kasih sayang-Mu, jangan biarkan ia melepaskan pucuk-pucuk daunnya berhamburan di trotoar-trotoar jalan yang tak abadi…di mana manusia hanya memandangnya dalam seteguk air minum saja…

Ya Allah, Engkaulah Tuhan diatas segala yang berkuasa…bahasaku kurang indah, tidak sempurna seperti dalam kitab-kitab-Mu, tapi saya tahu Engkau punya seribu makna dalam memandang cita-cita, memandang sebuah perjuangan, memandang milik yang engkau titip sementara padaku…Engkau pula mampu memberi warna atas bunga-bunga kehidupan ini….

Ya Allah, saya terpuruk, saya di titik lemah. Simpuhanku juga tak mungkin bermakna apa-apa. Jika Engkau memang menginginkannya ia pergi, ambillah! Tapi beri kekuatan untuk saya bisa menerimanya. Sebab ia hartamu, ia cintamu. Saya hanya bisa berharap, jangan Engkau ambil dalam waktu yang bersamaan, sebab saya belum kuasa untuk menghadapinya…

Pasrah mungkin jalan terbaik, tetapi melawan juga bukan jawaban yang benar. Saya berharap Engkau mengembalikan semuanya dalam bentuk cinta yang dahsyat, yang akan kukenang hingga akhir hayat…Ya Allah..saya begitu lemah saat ini….
**

Cikini Di penghujung malam Jumat, 6 Januari 2012





Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments