» » Akademik, Kejujuran atau Tebak-tebakan?

Akademik, Kejujuran atau Tebak-tebakan?

Penulis By on 14 April 2013 | No comments

ALHAMDULILLAH, Ahad 14 April 2013 ini sebuah awalan baru untuk menjadi bagian dari kampus Universitas Indonesia baru saja usai. Dua buah test tertulis, TPA dan Bahasa Inggris menjadi awalan mimpi panjang ribuan orang pemburu ilmu. Bagaimana hasilnya? “hanya pemeriksa dan Tuhan yang mengetahuinya, yang penting optimis dan yakin akan lulus” begitu canda saya pada rekan Rahman Hamid, seorang penulis muda asal Maluku yang mencoba peruntungannya di program doktoral jurusan sejarah. Rahman pun menimpali dengan candaan, “Mantap, bagaimanapun sulitnya ujian hari ini, yang penting kita lulus, yang penting Bahasa Inggerisnya tak jadi hantu lagi” katanya sedikit terkekeh mengomentari tulisan saya sebelumnya (Baca di sini).

Sebagai sesama calon mahasiswa, saya, rahman dan ribuan peserta testing lainnya, tentu punya logika senada menanggapi aturan main ujian ini, setidaknya melihatnya dalam tiga perspektif, logika akademik, logika kejujuran atau sekedar tebak-tebakan. Alasannya sederhana, waktu yang terbatas dengan jumlah test yang cukup berjibun membutuhkan ‘trik’ sendiri untuk menyelesaikannya. Kami seolah menjadi pembuktian dari ketiga logika berpikir itu. Jika melihatnya dari sisi akademik, mungkin bisa menjawabnya dengan tepat, tetapi jika itu yang menjadi standarnya, maka maksimal hanya bisa mengerjakan separuh pertanyaan, lalu bagaimana dengan soal-soal lainnya?

Pertanyaan itulah yang kemudian berentetan dengan dua logika berikutnya yakni; ‘kejujuran’ atau sekalian ‘tebak-tebakan’. Artinya; petunjuk soal untuk tidak mengerjakan soal yang batas waktunya usai, adalah uji nyali sebuah kejujuran peserta testing. Saya sendiri memilih untuk ‘mengikuti’ aturan main itu, meski sebenarnya cukup banyak waktu untuk ‘tidak jujur’. Namun pengalaman testing magister 3 tahun lalu di kampus  ini pula membuat saya untuk menjawab apa yang saya ketahui, khususnya di TPA, sebab tidak jujur sekalipun hasilnya sama kala itu; tidak lulus!., sehingga mau tidak mau, urusan ‘kejujuran’ adalah hal yang paling saya kedepankan. Mungkin pemeriksa tidak mengetahuinya, tetapi saya meyakini adanya ‘kekuatan’ lain yang mengikuti perjalanan saya untuk mendapat ‘keberkahan’, saya amat meyakini Tuhan tidak pernah buta atas segala urusan makhluk-Nya.

Tetapi memasuki testing Bahasa Inggeris, yang pola ujiannya hampir sama dengan TOEFL, mengubah cara berpikir peserta ujian, termasuk saya. Apalagi pengawas memberi saran untuk menjawab keseluruhan soal yang ada. Alasannya sederhana, salah pun tidak mendapatkan denda. Beda dengan TPA yang punya denda kesalahan 0,2 persoalnya. Otomatis dibenak peserta yang sama sekali tidak mengenal bahasa Inggris, maka ‘tebak-tebakan’ akan menjadi pilihan utama.

Saya masih berusaha untuk jujur, mencoba mendalami perintah ‘soal’ yang memusingkan kepala. Dari 100 nomor yang disediakan, saya hanya bisa mengerjakan 56 pertanyaan ketika waktu masih tersisa 10 menit. Itupun belum pasti ‘benar’ atau ‘salah’. Maka insting bekerja untuk main di area ‘tebak-tebakan’, ternyata itu juga tak menyelesaikan masalah, sebab waktu yang tersedia, hanya bisa menebak 25 nomor saja. Waktu terserap pada ‘menghitamkan lingkaran’ jawaban. Saya pasrah, mungkin seperti itu Tuhan memberikan kemapuan pada saya.

Ketika masa ujian telah berakhir. Analogi berpikir saya mengatakan, sepertinya semua ‘testing’ yang diujikan, semuanya telah ‘dirancang’  untuk tidak dapat diselesaikan secara keseluruhan, meskipun menggunakan cara ‘tebak-tebakan’. Sebab waktu manusia punya naluri menganalisis, naluri untuk mencari yang benar. Maka satu kesimpulan mendasar dari ‘ujian’ hari ini, adalah makna dari sebuah kejujuran. Tentu ini amat terkait dengan salah satu filosofi pendidikan itu sendiri, bahwa pendidikan diarahkan untuk membangun manusia yang cerdas, berakhlak, dan mandiri. Bagaimana dengan Anda???....

------------------------
Jakarta Ba’da Isya, 14 April 2013.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments