» » Mencuri Sepatu Bola (Seri Memory)

Mencuri Sepatu Bola (Seri Memory)

Penulis By on 12 May 2013 | No comments

KEMISKINAN itu dekat pada kekufuran! Mungkin ini dalil yang selalu melekat diingatan saya. Saking melekatnya, ayatnya sekalipun saya begitu menghafalnya, ‘kadaal faqru ayyakunal kufra’. Sebuah ingatan pada 26 tahun silam, ketika saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP di tahun 1989, dimana saya ‘harus’ mencuri sepatu bola milik paman, karena keinginan besar untuk bergabung  pada klub sepak bola sekolah itu.  Apalagi iming-iming dilatih eks pemain PSM Makassar dan bermain di stadion yang baru terbangun di Pangkep. Sebab di zaman itu, kami terbiasa bermain di sawah-sawah yang telah mengering pasca panen.

Kenapa harus mencuri? Saya kurang memahaminya, mungkin karena pikiran kanak-kanak sehingga semuanya harus serba instant. Yang pasti meminta pada mama  sesuatu yang tidak mungkin, sebab mama hanya jualan bensin eceran untuk memenuhi kebutuhan saya dan adik-adik, sementara Ayah kerja serabutan dan berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Sulit sekali melihat wajah ayah saat itu. Bahkan saya dan adik (kini jadi Kepala Desa di Kolaka-Sultra), biasanya pagi-pagi buta sebelum subuh, sudah harus ada di pasar ikan, sekedar jadi buruh ‘pemecah es’ atau jualan kantong kresek. Upahnya pun tidak seberapa, jika dalam bentuk uang, nilainya tak lebih dari Rp. 200, atau dihadiahi ikan bandeng seekor. Sedih jika mengingat masa-masa itu.

Mendapatkan sepatu bola ‘impian’ itu, bukan berarti saya mulus jadi pemain bola. Sebab sepatunya kebesaran, maklumlah sepatu ini milik orang dewasa. Terpaksa harus ganjal pakai kain bekas. Menyimpannya pun tidak di rumah, takut ketahuan mama atau kakak-kakak sepupu lainnya. Tetapi namanya juga ‘kebohongan’ pasti terbongkar. Buktinya hanya dua hari ‘menikmati’ sepatu bola, paman mulai mencurigai saya dan memaksa harus mengakui perbuatan itu. Saya masih mengelak.

Jalan Kaki ke Makassar, Nekat Mau Merantau!

KARENA terdesak dan merasa malu, di pagi hari saya membawa sepatu itu dalam bungkusan kain gelap agar tak di curigai, dan membuangnya di areal sawah depan pemukiman. Bagi saya ini cara menghilangkan jejak, sebab rasanya takut dan malu sekali jika ketahuan keluarga. Tetapi bayang-bayang rasa malu dan takut yang berlebihan selalu saja menghantui, karenanya saya nekat meninggalkan rumah tanpa se-izin orang tua. “Pokoknya saya harus pergi, biarlah setelah bisa dapat uang banyak baru kembali ke rumah” pikirku.

Entah kemana, saya binggung. saya hanya mengikuti kemana kaki saya berjalan. Tetapi kepala saya menyimpan satu kata. Balikpapan, kota dimana menjadi harapan orang-orang Bugis-Makassar perantau. Saya terus berjalan menyusur waktu. Maklumlah tak serupiah pun uang di kantong, apalagi umur 14 tahun saat itu belum tahu punya uang. Orang tua miskin, toh kalau ada ‘pendapatan’ dari pasar, semuanya diserahkan pada mama. Karenanya saya nekat, isi otak saya hanya satu ; pergi merantau!

Sebelum berjalan menuju Kota Makassar yang jaraknya sekitar 50 Km dari Pangkep, saya menyempatkan diri mampir ke rumah wali kelas saya, Ibu Hasnah  yang jarak rumah beliau dengan rumah saya sekitar 5 km, sekedar minta izin.  Alasan saya di suruh mama, mau ke Makassar (dulu Ujung Pandang). Alhasil beliau mengizinkan. Soal sekolah, saya amat suka, apalagi di kelas terbilang peraih rangking. Namun izin membuat saya kebingungan, pilih sekolah atau merantau. Saya paham, merantau belum tentu bisa menjamin hidup saya hanya dengan bekal ijazah SD dengan umur yang masih ‘kencur’. Tetapi rasa malu dan ketakutan yang berlebihan, saya benar-benar nekat pergi.

Matahari mulai menanjak, kira-kira pukul sembilan pagi saya mulai ‘jalan kaki’ dari Pangkep ke Makassar. Benar-benar jalan kaki! Saya menyusuri jalan poros ibukota Sulawesi Selatan itu. Pikiran saya, sesampai di Makassar, saya harus menuju pelabuhan agar bisa mendapat kapal Balikpapan. Tetapi saya lagi-lagi kebingungan, sebab saya sama sekali buta dengan kota besar di kawsan timur Indonesia itu. “Pokoknya nanti tanya sama orang-orang” pikirku.

Setelah berjalan kaki kurang lebih 5 jam lamanya, rasanya kerongkongan mulai mengering. Perjalanan saya telah masuk wilayah Kabupaten Maros, wilayah yang berada antara Pangkep dan Makassar. Sesekali singgah di rumah penduduk, minta segelas air minum. Karena dilihat anak-anak, saya tentu dapat minum, bahkan ada yang memberi saya makan. Alhamdulillah. Mengingat hal ini terasa ada buliran air mata membahasi pipi ini. Tetapi bercerita pada tempat saya ‘minta minum’ tentang perjalanan dengan dari Pangkep ke makassar, sepertinya mereka kurang percaya. Maklum saya masih anak-anak. Namun melihat saya terus berjalan, seorang ibu-ibu memmanggil saya, “Sini nak, ambil uang ini, kamu naik pete-pete (angkot) saja” kata ibu menyerahkan uang sebesar Rp. 1000.-. saya berterima kasih, dan pura-pura menunggu kendaraan. Baru setelah ibu tak lagi mengawasi, saya meneruskan ‘acara’ jalan kaki saya.

 
Tante Nana (Farida Arif) lagi narsis. tanteku yang baik hati
‘Ditangkap’ Tante Nana

DARI Pangkep, Maros hingga memasuki kota Makassar, saya benar-benar jalan kaki. Kalaupun kecapean, biasanya ‘pura-pura’ main di pinggir jalan.  Kira-kira hampir enam  jam saya berjalan kaki. Saya tak pernah tahu, apa yang dipikirkan ibu saya di rumah, apakah ia mencari saya? Ataukah mengira saya bermain-main sama anak-anak tetangga. Yang pasti saya telah tiba di Sudiang, wilayah yang telah masuk Kota Makassar.

Entah mengapa, tiba-tiba saya mengenal satu sosok wajah, seorang wanita yang sepertinya juga melihat dan memperhatikan saya. Ia kemudian menegur saya. “kamu Anca’ kan? Mau kemana kamu?” itu sapaan Tante Nana, adik sepupu ibu saya dengan logat khas Jawa. Beliau dan ibu saya seperti saudara kandung, sebab pernah tinggal sama-sama di Surabaya, dan Ampenan NTB. Maklum ibu saya seorang yatim piatu, sehingga ia dipelihara oleh tantenya. Ibu dari tante Nana.

Saya masih memberi jawaban mengelak pada Tante Nana. Jika saya lagi ‘main-main’. Tante Nana tentu tak percaya, apalagi ia baru pulang kuliah saat itu, dan sore telah menjelang. Karenanya ia memaksa saya ikut padanya, dan saya di bawah ke rumah Om Zul, kakak tertua Tante Nana.

Sesampai di rumah Om Zul, ternyata kabar saya ‘menghilang’ telah sampai pada mereka. Ibu saya di Pangkep katanya seperti ‘orang sinting’ mencari anaknya. Saya tidak tahu, apakah Om Zul dan Tante Nana tahu kalau saya pergi karena malu setelah mencuri sepatu bola? Yang pasti saya di pulangkan kembali di Pangkep dan diantar langsung oleh om Zul. Tentu setelah diberi makan dan minum sepuasnya.

Sekembali di Pangkep, mata ibu saya terlihat sembab, mungkin karena menangisi kepergian saya, atau menangis menahan rasa malu akibat ulah memalukan anaknya. Tapi yang pasti ‘tak ada cerita-cerita’ lagi jika saya habis mencuri sepatu bola. Sehingga saya tak perlu malu ke sekolah lagi.

Kini Om Zul adalah seorang dosen senior di Fakultas Teknik Unhas, sementara  Tante Nana, juga seorang dosen di Unitomo Surabaya, di jurusan ilmu Komunikasi, sama dengan ilmu yang saya tekuni saat ini. Bahkan kabarnya Tante Nana tahun ini juga ingin melanjutkan pendidikan doktoralnya (S3) di Komunikasi UGM Jogjakarta. Sama seperti saya yang tengah merajut mimpi untuk S3 ilmu komunikasi di Universitas Indonesia...

Kini 40 tahun usia saya...tengah merangkai masa-masa sulit di masa lalu, bercerita tentang rasa malu, kelucuan dan kebanggaan di masa kecil. Saya tahu ini ‘luka’ tetapi saya tak malu mengungapkannya. Sebab kemiskinanlah yang membuat saya terjebak dalam hitam masa kanak-kanak saya.....
---------

Jakarta ba’da Subuh, 12 Mei 2013

(foto anakku Refi yang mirip ibuku)

Baca juga tulisan berikut ini :

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments