» » Menanti Jiwa Yang Matang

Menanti Jiwa Yang Matang

Penulis By on 18 July 2013 | 1 comment

14 Juli 2013 genap usiaku 40 tahun, usia yang bagi banyak orang dianggap sebagai fase menuju kematangan jiwa, kematangan materi dan kematangan berumah tangga. Tetapi sebaliknya, saya merasa belum apa-apa dalam usia seperti itu, meski sematan orang terhadap status sosial itu sebenarnya telah melekat pada saya sejak beberapa tahun silam. Mungkin pandangan orang lain melihat saya dalam kacamata kuda, sebagai seorang yang memiliki rumah tangga, cukup pendidikan dan pekerjaan yang menetap. Bahkan secara perlahan telah melekat panggilan ‘Pak’ ketimbang panggilan ‘kak’ yang melekat pada saya belasan tahun lamanya.

Kerap saya membatin, apakah saya masih memiliki umur yang panjang? Apa yang saya persiapkan untuk menghadapi yang disebut masa tua dan masa kematian? Sebab kurun waktu 40 tahun itu, rasa-rasanya nikmat ilahiyah yang saya peroleh tidak berbanding dengan rasa syukur saya pada Sang Pencipta. Kenapa? Sebab doa-doa saya padanya masih bersifat pragmatis, mengharap lebih dari apa yang dimiliki orang lain. Saya takut, jika doa-doa itu diartikan sebagai simbol kufur nikmat dari-Nya.

Satu hal yang amat terasa dalam usia ini, adalah keinginan saya untuk hidup dalam kebebasan, suka menyendiri dalam keramaian, bahkan seolah ingin melupakan posisi saya sebagai seorang suami dan ayah dari tiga anak-anak. lagi-lagi saya bertanya, mengapa rasa ini justru terjadi di fase usia yang tak bisa lagi dipanggil sebagai pemuda? Kerap pula saya memberi jawaban, mungkin karena saya tak betah lagi berdiam disebuah kota kecil bernama Baubau? Sebaliknya istri dan anak-anak, kota ini adalah surga duniawi bagi mereka, dan saya tak boleh egois dengan hati saya.

Yang pasti, tantangan terbesar yang saya alami saat ini, adalah bagaimana cara saya meredam emosional saya yang meledak-ledak dan terkesan seperti seorang paranoid. Bahkan lebih dari itu, saya teramat suka dengan pola hidup saya yang egois. Apakah karena saya merasa tak ada kesibukan lebih dan interaksi sosial dengan dunia luar saya di kota Baubau ini? Boleh jadi, sebab ketika berdiam di Jakarta, suasana seperti ini tak pernah terasa. Justru saya selalu tertawa jika larut dalam kemacetan perkotaan, dan merasa ada ketenangan jika  bersimpuh di masjid-masjid, dan merasa tenang jika menelpon istri dan anak-anak.

Saya hanya bisa menjawab sendiri atas semua kegelisahan ini, jika sebenarnya jiwa saya belum matang dalam menjalani sesuatu yang bernama kehidupan. Karenanya doa yang selalu hadir dalam setiap simpuhan sujud saya tak lebih pada keinginan, agar jiwa saya bisa tenang dan bisa mensyukuri pencapaian sosial kehidupan saa saat ini. amin..!

**
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments

1 komentar:

rusydi July 25, 2013 at 1:54:00 AM GMT+7

kunjungan pertama dan terakhir kali ke sini. salam pak