tag:blogger.com,1999:blog-4151659202639761682024-03-05T15:39:09.783+07:00Hamzah PalalloiAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.comBlogger359125tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-4932268648557546322018-09-13T15:26:00.000+07:002018-09-13T15:26:18.874+07:00"PajongaE, Hamparan Padang Warisan PD-2 di Bombana"<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilkeYG56GsCgZqmvobAkaP_WieZ50F5HdbJV3LozbM3nAARe-B7wo8Tf0DUMNocagUMzMzmZ5l1W_NC9WM7yBaSNEoWWziVMmXe-7GbW42reymYuyeXGmghj5PTJSTMgf73Qz_Zpk8v50/s1600/padang.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="960" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilkeYG56GsCgZqmvobAkaP_WieZ50F5HdbJV3LozbM3nAARe-B7wo8Tf0DUMNocagUMzMzmZ5l1W_NC9WM7yBaSNEoWWziVMmXe-7GbW42reymYuyeXGmghj5PTJSTMgf73Qz_Zpk8v50/s320/padang.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Hamparan tanahnya ribuan hektar, terletak di Kabupaten Bombana Sultra. Terkenal dengan nama 'pajongaE', yang kini dalam wilayah administratif Desa La Ea, Poleang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melintas di kawasan ini seolah menyusur gurun pasir, tandus dan tak berpenghuni. Kenapa? Tanah lapang yang kini diklaim milik TNI-AU ini dulunya warisan pangkalan udara Jepang masa perang dunia kedua. Katanya begitu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pernah diwacanakan sebagai lokasi ibu kota kabupaten Bombana sebelum diputuskan di Kasipute-Rumbia. Mungkin karena punya histori panjang dan telah dimiliki negara, lokasi ini seolah dibiarkan begitu saja seperti lahan non produktif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemerintah setempat melarang aktivitas warga di sana, kendati beberapa bongkahan bukit tanah tampak telah melenguh karena kerukan. Dilarang, bisa jadi karena kekhawatiran lokasi ini menyimpan persenjataan Jepang yang sewaktu-waktu bisa membahayakan, kendati belum ada riset khusus tentang itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apalagi ada sisa 'wals jepang' yang terparkir di bawah pohon tunggal. Kendaraan ini dikeramatkan sejak dulu, meski kini sudah ada yang memanfaatkan jadi arena pacaran yang indehoi. đđđ tetapi ini hanya dugaan, sebab kadang terpakir mobil umum dalam waktu lama di sekitarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada pula yang cukup kreatif, memanfaatkan padang ini dengan membuat warkop-warkop dadakan. Bahkan ada juga yang membuat spot selfie area bagi muda mudia atau siapa saja yang ingin memperoleh momen cantik nan indah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memang kawasan PajongaE terbilang menarik pandangan mata, sebab sejauh mata memandang hanya hamparan luas berfatamorgana. Kadang juga ada rombongan kerbau menyamak di hamparan padang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sekitar tahun 1990-an kawasan ini banyak sekali ditemukan Rusa, hewan endemik khas Sultra. Entah kenapa telah menghilang, padahal Rusa ini juga menjadi filosofis penamaan padang ini, PajongaE, asal kata 'Jonga' atau Rusa dalam bahasa lokal setempat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sempat terpikir mengapa negara mungkin juga daerah tak memaksimalkan kawasan ini menjadi area ekonomi produktif. Membuatnya kembali jadi bandar udara yang berkelas, bisa sebagai areal perumahan elite, atau apa saja yang bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat sekitarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena telah menjadi milik TNI AU, seperti tulisan papan nama yang ada di sana, lalu sampai kapan areal ini kosong melompong? jika tak bisa jadi bandara, maka bisa jadi tempat latihan menembak, terjun payung, bahkan mungkin latihan perang-perangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Eh.. atau pinjamkan saja pada pemerintah desa setempat untuk dimaksimalkan sebagai apa saja yang bisa memajukan warga sekitar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sepertinya orang Sultra bisa piknik ke 'gurun saharanya' pulau Sulawesi ini. Maka pasti Anda mengatakan, mengapa tak dimaksimalkan? </div>
<div style="text-align: justify;">
đșđșđđđ</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
------------</div>
<div style="text-align: justify;">
catatan dari Negeri Moronene. </div>
<div style="text-align: justify;">
#WonuaBombana</div>
<div style="text-align: justify;">
#PajongaE</div>
<div style="text-align: justify;">
#SaharaSulawesi</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-7501520875972038272018-09-12T09:57:00.000+07:002018-09-12T09:57:02.376+07:00Mengapa Loyalis Prabowo Tak Menyurut?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4DIXwkc274xu4jnlA3iQZw9MELlsso4DFTGbTRGAxiYiDvWgYx8us0TCp1uESFzO0jyke-LzlJAvaO75OvVBLiQlkz6dZ81sPVGY2YP2uNpFm_hg8Tpz6o8F83yDQKKyi0eUr1TcWsiM/s1600/prabowoisme.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="355" data-original-width="620" height="183" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4DIXwkc274xu4jnlA3iQZw9MELlsso4DFTGbTRGAxiYiDvWgYx8us0TCp1uESFzO0jyke-LzlJAvaO75OvVBLiQlkz6dZ81sPVGY2YP2uNpFm_hg8Tpz6o8F83yDQKKyi0eUr1TcWsiM/s320/prabowoisme.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Memang, tak sedikit orang mencibir langkah politik Pak Prabowo yang dua kali kandas di perhelatan kepemimpinan bernegara, saat menjadi Cawapres mendampingi Megawati tahun 2009 dan saat menjadi Capres didampingi Hatta Rajasa tahun 2014. Itu fakta!, tetapi jangan salah, kegagalan itu tak menyurutkan banyak pihak untuk mendukung tokoh ini kembali menjadi Capres di tahun 2019. Itu juga fakta!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anggapan ketidakrasionalan, kritisme ambisius, seolah menjadi pengiring langkah dan dukungan Prabowo. Ada yang sedikit rasional dengan usulan agar sebaiknya menjadi âking makerâ atau meminta untuk âmandeg panditoâ. Itu pandangan bagi mereka yang hanya membaca Pak Prabowo melalui tayangan media, dan sajian informasi linimassa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya getaran rasa itu menjadi berbeda ketika langsung berada di sekitar Pak Prabowo atau di lingkar elite-elitenya. Heroisme, semangat, dan penonjolan-penonjolan kepribadian Pak Prabowo begitu mengikat rasa. Satu konklusi yang terekam dibenak saya ketika berada di area itu, para loyalis Prabowo mengikat diri dengan ideologi pemikiran yang begitu kuat, ideologi kejayaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mereka percaya, Pak Prabowo bisa menguatkan bangsa dan negara ini di segala lini. Pikiran Prabowo ternilai sebagai panoptikon kebangsaan, dimana buah pikirannya mampu menjadi mercusuar pengawas kekuatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Performancenya pun begitu, Prabowo sosoknya bukan saja sebagai militer kuat, ia juga ekonom selayak ayahandanya Soemitro Djodjohadikusumo, pun sebagai juru taktik bernegara warisan pikiran kepemimpinan Pak Harto, mertuanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lainnya, Prabowo ternilai sebagai aktor politik yang mampu mengkomunikasikan dirinya sebagai tokoh bangsa yang mampu mengikat elite hingga anak jalanan. Ia murah senyum dan kerap terbahak-bahak jika ada cerita yang menggelikan pemikirannya. Ini bukan sekadar teori panggung politik ala Erving Goffman, atau bangunan konstruktivisme berpikir politik ala Antony Giddens, bahkan hidupnya teramat jauh dari pencitraan politik ala liberalisme sekarang ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Arus dukungan kuat untuk Pak Prabowo bukan sekadar ingin mengalahkan dominasi Presiden Jokowi saat ini. Arus kuat itu untuk ke-Indonesia-an yang jaya di segala lini, jauh dari ancaman ekstrim kiri maupun kanan, disegani bangsa lain, pemimpinnya dihormati, dan punya diplomasi kuat dengan retorik yang membanggakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya menyebut semua itu sebagai madu kebangsaan yang menyerap ke dalam benak para pendukungnya. Itu hal yang perlu di tahu semua orang, agar kita tak terjebak dalam pikiran saling membenci antar pendukung calon presiden. Mungkin mereka yang tak menyenangi Pak Prabowo, mnganggap jika wacana pendek ini sebagi racun politik. Itu sah-sah saja. Tetapi alangkah baiknya, perbedaan ini disikapi sebagai irama dan musik politik lima tahunan, agar semua bisa bergembira menyambutnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para pendukung Prabowo masih lantang bersuara, jika Indonesia akan jaya dalam kepemimpinannya. Pun jika takdir tak menghendakinya. Anak-anak ideologi Prabowo Subianto tak langsung menunduk dan menekuk muka kekalahan, sebab Prabowo selalu menanam optimisme kebangsaan, bahwa Prabowo boleh tiada, tetapi pikirannya selalu ada hingga kapanpun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Itu yang menjadi alasan mengapa loyalis Prabowo tak pernah menyurut. Teringat kalimat bijak seorang Colombus sang penjelajah, âlajulah terus, terus dan terus. Dunia ini tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik kita mau atau tidak. Tidak ada jalan lainâ.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
-----</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-8948719381950275192018-09-12T09:44:00.000+07:002018-09-12T09:44:35.516+07:00Kontra Pembangunan Humanisme Post Modern<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVs_3LxnPUMPp4cx312wd_OT4DgPMXdPBqyMYyAKmFcL0HhDu1-CvdeLW2gNwdFdPfmja9TbnamB9zlJYK6D_j5GC7CmawwmZOJQq1x1pXBY_SgN8OxUeMRfjyo-knb3AZflZX8bJlApw/s1600/Dezeen-guide-to-Postmodernism_bn11.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="560" data-original-width="784" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVs_3LxnPUMPp4cx312wd_OT4DgPMXdPBqyMYyAKmFcL0HhDu1-CvdeLW2gNwdFdPfmja9TbnamB9zlJYK6D_j5GC7CmawwmZOJQq1x1pXBY_SgN8OxUeMRfjyo-knb3AZflZX8bJlApw/s320/Dezeen-guide-to-Postmodernism_bn11.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Tema ini tentu terlalu akademis bagi publik, bahasa sederhananya âkemanusiaan sesudah era modernâ. Jika masih terlalu berat di benak maka kalimat tersebut bisa dimaknai jika saat ini manusia telah hidup di sebuah ruang yang melewati batas kemoderenan. Karena itu, cara berpikir dan bertindak pun harus berada di ruang itu. Jika tidak, bersiaplah terlindas suasananya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Katakanlah seperti ini; Gojek, Grab, dan lain sebagainya adalah aplikasi teknologi khusus transportasi. Tak perlu repot, cukup menggunakan telepon seluler pintar Anda, maka Anda segera didatangi dan mengantarkan ke tujuan. Tak ada lagi tawar menawar harga, sebab sudah terpatok sejak awal, manut saja. Semua serba mudah, dan manusia selalu menyukai kemudahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bagi pengguna konvensional, tentu protes, sebab terbiasa oleh sistem manual, tawar menawar, dan kerap menjengkelkan. Pasti akan ditinggal, sebab manusia tak suka keruwetan. Begitulah kondisi kekinian. Mau tidak mau, semuanya akan berada di ruang itu. Ruang kemudahan, cepat dan tak ruwet. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian pula menyoal pembangunan kekinian, para pengambil kebijakan bakal terjebak dalam keruwetan jika tak adaptif dengan kondisi post modern itu. Kondisi di mana pembangunan harus melintas pada ruang kemudahan, memanusiakan manusia, memanjakan, dan instan. Repotnya, sistem meregulasi dengan keruwetan, berproses dengan administrasi kertas berlembar-lembar, dan siap-siap di jegal KPK jika salah memperakukan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada teori managemen mengatakan; âkehebatan beradministrasi menyelesaikan 60 persen pekerjaanâ. Tampaknya teori ini perlu ditinjau kembali. Perlu keberanian memfalsifikasi. Jika tidak, pelaku-pelaku kebijakan selamanya terjebak dalam ruang strukturalisme yang kuat. Sebab kontra teorinya bisa berkata seperti ini; âKekuatan beradministrasi juga peluang besar melakukan korupsiâ. Prakteknya kertas senilai Rp. 500.- bakal upcost menjadi Rp. 1.000.- alasannya sederhana; di sana ada pajak, ada honorarium, ada nilai tanda tangan, dan ada mereka yang berpangkat-pangkat, hehehe.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bila itu benar terjadi, korupsi struktural bakal tak pernah berhenti. Inovasi bakal tak terjadi, karena person dijebak dalam suasana berpikir âin frameâ, bukan âout of the boxâ. Ujung-ujungnya kita terus berada di ruang âsedang berkembangâ, sulit untuk maju, apalagi berada di ruang post modern, jangan bermimpi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu apa sebenarnya pembangunan humanisme post modern? Para pemikir lebih simpel mengungkap keruwetan benaknya. Ia akan berkata bahwa manusia sekarang ini lebih suka situasi âsimulakraâ, sederhananya âalam kepalsuanâ, tetapi memanjakan dan nyaman. Misal, orang-orang lebih nyaman berbelanja di mall ketimbang pasar-pasar umumnya. Sebab di sana ada prestise dan privalege, kasarnya gengsi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Idealnya para pengambil kebijakan, merunut kebijakannnya dengan perencanaan simulakra, tetapi bukan bermakna kepalsuan apalagi sekedar bercitra. Seorang Ridwal Kamil di Bandung, Tri Rismayani di Surabaya, Dani Pomanto di Makassar membangun daerahnya, jarang sekali terdengar membangun jalan berpuluh-puluh kilometer, atau gedung bertingkat-tingkat, urusan seperti itu urusan Pusat, mereka di daerah mensimulakra dengan kebijakan yang menyentuh langsung ke publik. Sebaliknya mereka terdengar sekadar pembangunan taman, ruang-ruang sosial, juga dengan kekuatan-kekuatan aplikasi. Tetapi mereka berani mengantar daerahnya sebagai kota pintar, atau smart city.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertanyaannya sederhana? Setiap instansi bisa membuat pertanyaan seperti ini: program apa yang telah dibuat langsung menyentuh kebutuhan publik? Jangan-jangan lebih banyak program ke instansi sendiri, dari pada ke publik atau masyarakat. Jika jawabannya seperti itu, jangan harap di beri label âpembangun humanisme post modernâ. Sangat jauh, dan jangan harap di kenal sukses sebagai sebagai pembijak yang hebat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu hal yang penting dipahami, bahwa di era kekinian kebanyakan publik jauh lebih cerdas dari pembijak itu sendiri. Maka wajarlah jika tiap waktu selalu tersorot oleh wacana-wacana kritis. Selamat berpikir!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-72216188662041193862018-01-31T13:47:00.002+07:002018-01-31T13:47:31.354+07:00Hado Hasina (yang) Visioner<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPPwnHq0gRWnCCfV31-ummT5bIpXT7evDI7R2NN_5GwIjTKYO-8SUn62RTR43E2GrD3rGw87OiWn51TIap98yGOcAmNMG2STJXuuAFvEV0FpSFrVWgAfJld4HIXs_wvooCxXNM19Uy54g/s1600/hado+hasina1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="241" data-original-width="235" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPPwnHq0gRWnCCfV31-ummT5bIpXT7evDI7R2NN_5GwIjTKYO-8SUn62RTR43E2GrD3rGw87OiWn51TIap98yGOcAmNMG2STJXuuAFvEV0FpSFrVWgAfJld4HIXs_wvooCxXNM19Uy54g/s1600/hado+hasina1.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Yamin Indas, wartawan senior Harian Kompas pernah menulis sosok Dr. Ir. H. Hado Hasina, MT di blognya dan menggelarinya sebagai pejabat Sulawesi Tenggara yang kreatif. (<a href="http://yaminindas.com/?p=1555" target="_blank">Baca di sini</a>). Boleh jadi karena kreatifitas itu menjadikannya menapaki karier begitu cepat. Sebab di awal tahun 2003, ia masih tercatat sebagai Direktur Perencanaan di Kapet Bukari â Kawasan pngembangan Ekonomi Terpadu â Buton â Kolaka â Kendari, sebuah organisasi pengembangan kawasan di Sultra.<br /><br />Empat belas tahun kemudian, tepatnya di hari Rabu Pagi â 31 Januari 2018, Hado Hasina dipercaya negara sebagai pejabat Walikota Baubau mengisi lowongan jabatan setelah masa bakti kepemimpinan Dr.AS.Tamrin, MH â Hj. Wd. Maasra Manarfa, S.Sos, M.Si yang berakhir di periode 2013-2018.<br /><br />Yamin menggelari Hado Hasina sebagai pejabat yang kreatif, karena upaya dan keterlibatan langsungnya membantu percepatan sejumlah pembangunan lapangan terbang di Sulawesi Tenggara, Bandara Matahora di Wakatobi dan Tanggetada di Kolaka. Intinya Hado terlibat langsung dalam agar izin membangun kedua Bandara dikeluarkan Kementerian Perhubungan. Itu karena posisinya sebagai Kadis perhubungan Pemprop Sultra.<br /><br />Tak hanya itu Hado selalu dilibatkan dalam sejumlah program pengembangan visi pembangunan di Sulawesi Tenggara, dari zaman Gubernur Ali Mazi, hingga dua periode kepemimpinan Gubernur H. Nur Alam. Ia benar-benar bersinar sebagai sosok konseptor-praktisi-sekaligus pejabat yang akademis.<br /><br />Disebut akademis, sebab lulusan magister ITB yang dikenal dengan kajian âEvaluation of Butonite Mastic Wearing Course Mixtureâ ini tak lelah pula memburu gelar akademiknya kendati disibukkan dengan berbagai rutinitasnya. Paling tidak, 27 September 2016 ia juga dinobatkan sebagai Doktor di bidang manajemen perencanaan di Universitas Negeri Jakarta, dan lulus dengan predikat cumlaude.<br /><br />Banyak sematan selalu melekat di dalam diri pria Kaledupa kelahiran tahun 1963 ini, ketika seseorang berdiskusi dengannya. Gaya berbicaranya selalu bersemangat, terstruktur, dan humanis. Ia juga berani beradu argumen dengan siapa saja. Itu yang membuat Hado dikenal banyak orang sebagai pejabat cerdas, namun mampu menjadi pendengar yang baik.<br /><br />Sayang, jabatannya sebagai walikota di Baubau hanya berbilang bulan, sebab diangkat di posisi itu untuk mensukseskan penyelenggaran Pilkada Baubau yang dihelat tahun ini dan puncaknya 27 Juni 2018.<br /><br />Terkait dengan situasi politis ini, Hado sesaat usai dilantik menyatakan dirinya akan tetap profesional dan berusaha menjaga profesional ASN. Memang soal politik, Hado dikenal kurang piawai, bahkan namanya meredup di sisi ini. Paling tidak beberapa helatan politik, ia sama sekali enggan menyibukkan diri di politik. âBukan passion saya di politik, saya ingin menjadi seorang profesional pada tugas yang dibebankan,â ungkapnya dalam beberapa kesempatan.<br /><br />Memang teramat berlebihan, jika memberi klaim pada sosoknya sebagai seorang yang visioner, apalagi di Kota Baubau belum diketahui apa yang hendak dilakukannya dalam kurin waktu kepemimpinan yang teramat singkat. Tetapi paling tidak, banyak yang berharap Hado Hasina bisa menelorkan buah-buah pikiran briliannya.<br /><br /><i><b>Selamat Datang di Kota Baubau!</b></i><br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-71760759243561542212018-01-30T09:42:00.002+07:002018-01-30T10:39:25.343+07:00Superman (memang) Harus Mati?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7EhIoLqqIdq80n8-6k_hiOmGCCWZITSI9mxWXjcmXiJ_moF60MXcGT9unZ8sIHN1N2RQk5dIhELSzwDn8vP7gG8w5rzAfGTU82gxzDWtEB3ucAZFlcnnJ8A56rFOs5kX8-WXcS4Vx8-I/s1600/batman.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="168" data-original-width="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7EhIoLqqIdq80n8-6k_hiOmGCCWZITSI9mxWXjcmXiJ_moF60MXcGT9unZ8sIHN1N2RQk5dIhELSzwDn8vP7gG8w5rzAfGTU82gxzDWtEB3ucAZFlcnnJ8A56rFOs5kX8-WXcS4Vx8-I/s1600/batman.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
AMAT beruntung bisa menjadi salah seorang yang pertama menikmati film Superman Vs Batman, itu pun di Makassar beberapa pekan lalu ketika pertama kali film ini di rilis 23 Maret dua tahun lalu. Toh, jika ada yang berkomentar âmacam-macamâ soal film ini, saya hanya senyum simpul saja; sebab banyak cara orang mengapresiasi dan menarik makna dari apa yang ditontonnya, dan dijadikannya sebagai sebuah pengetahuan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Cara berpikir seperti ini disebut sebagai âparadigma konstruktivismeâ; yakni cara berpikir dimana seseorang mengolah informasi yang ditangkapnya dari dunia luarnya, kemudian dikeluarkan lagi sebagai sebuah pengetahuan baru. Hehehe..ini sih belajar konstruksi teori pengetahuanâŠ</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kita tinggalkan itu!. Saya hanya ingin fokus pada kritik di jalan cerita film pertemuan dua superhero ini, yang sebelumnya di promo besar-besaran pihak distributornya, Warner Bros Pictures. Sebenarnya (bagi saya) tidak terlalu istimewa untuk ditonton, terkecuali bagi para peresensi film, atau para penghayal yang suka menarik makna dari alur-alur cerita film ini. Saya sendiri, hanya mengagumi effek sound-nya saja, yang kerap mengagetkan jantung, khususnya dalam frame-frame menegangkan. Selebihnya hanya persoalan kekaguman pada teknologi film ini, yang memang produser-produser Indonesia masih sulit menjangkaunya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Yang pasti di ujung cerita, Superman digambarkan wafat, meski kemudian frame akhir memperlihatkan peti mayat Superman bergerak-gerak, yang membawa pesan jika sebenarnya superhero ini belum wafat. âMungkin mati suri saja ya Omâ, kata ponakan saya. Tetapi itulah cara sang produser, untuk menyimpan pesan jika sebenarnya film ini akan berkelanjutan, dan terus merogok kocek Anda untuk terus menontonnya, jika kelanjutan episode film ini datang lagi. Dalam teori politik ekonomi media-nya Vincent Mosco, ini yang disebut sebagai âspasialisasiâ, atau cara mengatasi jarak dan waktu agar media bisa tetap bertahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Pelajaran penting dari film ini, selain makna-makna ilmu media di atas, bahwa film ini adalah film Amerika, yang kemudian dijadikan arena oleh bangsa Amerika mempertahankan hegomoninya sebagai negara adidaya. Bayangkan karakter âjahatâ seperti Lex Luthor yang diperankan Jesse Eisenberg, digambarkan bukanlah orang Amerika, tetapi seorang ilmuan Yahudi Jermani, yang menyalahgunakan keilmuwannya, dengan menciptakan mahluk jahat bernama Domsday. Demikian pula beberapa karakter jahat lainnya, yang menyebut nama seorang Russia, dan seorang Muslim asal Afrika, ketika awal cerita film ini. Seolah-olah Amerika tetaplah sebagai bangsa yang akan melindungi manusia di muka bumi ini. Sebagaimana dulu orang-orang Eropa yang hijrah ke benua ini dengan menyebut âAmerican is hopeâ. Ini konsep pemahaman ideologi Amerika yang menyalurkan âkebaikanâ bangsanya ke seluruh dunia melalui media bernama film.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ada tiga karakter penting yang membuncah perasaan penonton di sini, masing-masing Batman yang diperankan Ben Affect, Superman oleh Harry Cavill dan Wonder Women yang muncul di akhir cerita diperankan oleh Gal Gadot. Semuanya adalah tokoh-tokoh hero. Amerika. Tetapi penonton âdikibuliâ dengan mematikan Superman di akhir cerita. Sederhana memaknainya. Superman bukanlah mahluk Bumi, ia dari planet lain. Sementara Batman adalah manusia bumi dengan mengandalkan teknologi buminya pula. Artinya; manusia tetaplah terhebat di antara mahluk lainnya di Galaksi Angkasa Raya. Dan manusia terhebat itu adalah orang Amerika..heheheh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Cerita ini, seolah-olah menggiring pikiran ke arah yang sempit, bahwa sehebat apapun âorang lainâ, yang terhebat itu tetaplah orang sendiri. Ada konsep pribumi dan non pribumi di sini. Sama seperti ketika membahas pilkada-pilkada, yang penuh dengan politik-politik identitas. Perlawanan orang lokal pada pendatang, pribumi kepada non pribumi. Rasanya ingin menghubung-hubungkan film ini dengan banyak helatan Pilkada di Indonesia, dari keoknya Ahok di DKI, hingga keberanian PDIP menempatkan kader-kadernya di daerah âlainâ seperti Jarot Saiful Hidayat, mantan wagub dan Gubernur DKI yang kini âdititpâ di Sumatera Utara, âMbak Putiâ Guntur Sukarno Putri di Jawa Timur, padahal selama ini ia bermain di Jawa Barat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Saya tak tahu. Apakah benar ada hubungan jalan cerita dengan film ini, sy menghubungkan-hubungkan saja dan sekadar menyontek makna film ini, bahwa manusia bumi jauh lebih hebat dari manusia planet lain..heheheâŠ</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi tak perlu penasaran berlebihan dengan kehadiran film ini, terkecuali hanya sekedar hiburan semata yang akan memanjakan mata dan mengagetkan jantung Anda. Toh ini cara Amerika merebut duit dari kurungan dompet kulit Anda. Di dini politik ekonomi media terus menginspirasi banyak orang media untuk terus hidup, dan membumbui pikiran Anda juga dompet Anda. Maaf, saya bukan peresensi film. Jangan sensi!<br />
---------------------<br />
Menonton film lawas</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-62869449590993018092018-01-18T07:54:00.000+07:002018-01-18T07:57:14.816+07:00Bentangan Kehidupan Sederhana Hamzah Palalloi<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB2K6qnbDIETsL0l9oE1AyJW6TOIInU7RehQG3cB85q5IAvK3HcHpmloWwcYwksYxHt9Uy1OaDJxOTiC1RN08vwfdV9gonvMElqs32W2Svw21e56go2OiEi4545_aLoGMHEAsR63xuJ0U/s1600/hamzah-locita.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="525" data-original-width="470" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB2K6qnbDIETsL0l9oE1AyJW6TOIInU7RehQG3cB85q5IAvK3HcHpmloWwcYwksYxHt9Uy1OaDJxOTiC1RN08vwfdV9gonvMElqs32W2Svw21e56go2OiEi4545_aLoGMHEAsR63xuJ0U/s320/hamzah-locita.jpg" width="286" /></a></div>
<b>Dr. Hamzah, S.H., M.I.Kom,</b> begitu nama lengkap dan gelar akademik yang disandang pria yang akrab disapa Hamzah Palalloi âkhas Bugis karena sematan âPalalloiâ, nama kecil almarhum ayahanda yang sengaja ia lekatkan sebagai pembeda dari nama privat pada umumnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memperoleh gelar doktor di bidang ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta di 27 November 2016 silam di usianya yang ke 43 tahun, dan master ilmu komunikasi di Universitas Mercubuana Jakarta tahun 2012, buah hayalan dan mimpi panjang dari kehidupan sederhana yang ia jalani sejak kecil. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Paling tidak, lelaki kelahiran Pinrang (Sulawesi Selatan), 14 Juli 1973 terlahir dari ayah pekerja serabutan dan ibunda yang fokus mengurus rumah tangga, adalah residu cerita bila kesederhanaan bukanlah titik akhir menggapai mimpi di dunia pendidikan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
âHanya rasa syukur dan keseriusan menggapai mimpi yang bisa menjawab takdir Tuhan pada manusia,â ujar pria yang menamatkan pendidikan Sarjana Hukumnya di Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau pada usia yang tak lagi belia, 35 tahun â atau tepatnya di tahun 2008. âitu berarti, sekolah tak punya batas usia,â imbuhnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menapaki jengkal-jengkal kehidupannya sungguh hanya jalan cerita yang tak lazim dilukiskan sebagai romantika mengagumkan, terkecuali menikmati masa kecil di Pangkep-Sulawesi Selatan, kemudian mengikuti orangtuanya ke Kolaka-Sulawesi Tenggara di tahun 1991 hingga menamatkan SMA di sana. Tak banyak cerita indah, terkecuali bekerja sebagai âasisten kuli bangunanâ bersama ayahnya yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Itu dinikmatinya hingga ia menamatkan pendidikan di SMA.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di usia remajanya tak langsung melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ia hanya bekerja sebagai sukarelawan di SMP Negeri Toari, dan terkadang menjadi staf âtidak tetapâ di kantor kecamatan Watubangga â Kolaka. Pilihan yang harus ia rengkuh di tengah keterbatasan, apalagi wilayah itu di masanya adalah kawasan pemukiman transmigrasi yang teentu minim sumber daya manusia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
âTetapi itu pengalaman paling berharga yang pernah saya jalani, karena menjadi bekal menapaki hidup selanjutnya, bahkan sempat berkirim surat ke Presiden Soeharto di masa sebagai honorer untuk diangkat sebagai PNS, dijawab oleh Sekneg saat itu, tapi belum mujur,â ujar organisatoris dan juga dikenal sebagai seorang khaligrafer itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>- Bekal Wartawan dan Menjadi PNS </b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah dari mana cerita ini bermula, di tahun 1995 ia berkenalan dengan seorang bernama Azhari, alumni STPDN Jatinangor (kini bernama lengkap Dr. Azhari, MA, Rektor Universitas 19 November Kolaka, sebuah kampus negeri di wilayah itu) yang kemudian mengajaknya bergabung menjadi seorang jurnalis pada surat kabar terbitan Makassar, âSulawesi Posâ nama koran itu â milik rekan Azhari. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perkenalannya dengan dunia media massa, memberi pengaruh kuat dalam diri Hamzah Palalloi. Beberapa media terbitan lokal mempercayakannya sebagai redaktur, bahkan menjadi pemimpin redaksi. Sayangnya media yang diikutinya terbilang kurang profesional, sebelum akhirnya ia diterima bekerja di surat kabar terbesar Sulawesi Tenggara sebagai wartawan Kendari Pos di tahun 1998. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhc6DRWfyyVzxtMGf95Zm12aR_w4PVMNi5rKim_6VgByO2uN23Op-0le6CvtAra3GjDSQCVpQMR_uzAJezS4AhsR7Ly2_gxD_HVquSaFigFnRLLo-ZCSEv4Ac2LkqiKvI0QORWmybjntI/s1600/2-materi.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="640" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhc6DRWfyyVzxtMGf95Zm12aR_w4PVMNi5rKim_6VgByO2uN23Op-0le6CvtAra3GjDSQCVpQMR_uzAJezS4AhsR7Ly2_gxD_HVquSaFigFnRLLo-ZCSEv4Ac2LkqiKvI0QORWmybjntI/s320/2-materi.jpg" width="213" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Profesi ini dijalaninya hingga di tahun 2004, sampai âbekerja gandaâ sejak terpilih menjadi anggota Panwaslu Kota Baubau â Sulawesi Tenggara di Pemilu 2004. Tatkala ditugaskan sebagai koresponden di kota kecil itu di Pulau Buton di tahun 2000, ia menemukan pasangan hidupnya di sana dan menikah di tahun 2001. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadilah ia penduduk Kota Baubau dan menetap di sana. Dari wartawan, ia kemudian lulus PNS di tahun 2006 di kota itu. Sembari bekerja ia juga fokus menyelesaikan pendidikan sarjananya. Kota Baubau, benar-benar menjadi kota yang banyak menorehkan cerita kehidupannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ke Jakarta dan jadi dosen di Kampus-kampus Ternama</b></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Di sekitar tahun 2002 di Baubau, seorang ahli fengshui beretnis Cina bernama Hartono, iseng pernah meramalnya, saat itu ia ditemani Pak Amirul Tamim. Hartono bertutur kelak suatu hari Hamzah akan bekerja sebagai Pegawai Negeri, bahkan akan hidup lama di Jakarta dan akan terlibat banyak dalam kegiatan-kegiatan sosial.<br />
<br />
âSaya berpikir, ramalan itu tak mungkin terjadi, sebab mau menjadi PNS sudah nyaman dengan profesi wartawannya, apalagi akan mentap di Jakarta, urusan apa di sana, apalagi saya hanya tamatan SMA?â tanya dia kepada Pak Amirul, yang dijawabnya jika ia menjadi walikota tak ada yang rumit jika punya niat dan cita-cita.<br />
<br />
Beberapa tahun kemudian kenyataan berbicara lain, di tahun 2010 mimpi menetap di ibukota negara menjadi nyata, setelah mendapatkan tugas belajar ke S-2 di sana, yang kemudian dijalaninya hingga menyelesaikan pendidikan diktoral (S-3). Taburan-taburan mimpi benar-benar dituai. Bahkan sembari kuliah, ia juga âsambilanâ sebagai dosen ilmu komunikasi di beberapa kampus-kampus swasta ternama di Jakarta.<br />
<div class="separator" style="clear: both;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiG0SP4TU6J1OoB4EhhASWEwL3pmlq1Gp967uLs3kn0vX1hyZeKKMq4Bb4ukOuE8zF2rB_HR24jzt1s9xyf-2xVQllZKCXthuOYShRaAg-E7wS8o4EpGEKWBs_ltuwX9y-dZl13D535M1w/s1600/wisuda222.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="867" data-original-width="1600" height="173" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiG0SP4TU6J1OoB4EhhASWEwL3pmlq1Gp967uLs3kn0vX1hyZeKKMq4Bb4ukOuE8zF2rB_HR24jzt1s9xyf-2xVQllZKCXthuOYShRaAg-E7wS8o4EpGEKWBs_ltuwX9y-dZl13D535M1w/s320/wisuda222.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Tercatat kampus-kampus tempat ia mengajar di level S1 dan S2 , yakni di Universitas 17 Agustus 1945, Universitas Persada Indonesia (UPI-YAI), dan Universitas Sahid Jakarta. Pengalaman yang benar-benar menempanya. âBahkan terlibat sebagai aktivis di organisasi massa berhaluan politik milik seorang calon Presiden RI, alhamdulillah (pengalaman) itu yang sangat hebat dalam diri saya, sebab bisa berkeliling Indonesia sebagai pembicara dan konsultan komunikasi â ujar ayah dari 3 putra-putri itu. <br />
<br />
Awal tahun 2017, setelah gelar doktor direngkuhnya, ia harus kembali ke daerahnya di Kota Baubau menjalani aktivitasnya sebagai PNS, dan memulai karir lagi sebagai kepala seksi pengolahan opini dan apirasi publik di dinas komunikasi dan informatika. <br />
<br />
Rencana panjangnya, ia mengaku akan beralih menjadi dosen, agar ilmu pengetahuan yang diperolehnya bisa lebih bermanfaat. âmimpi saya sederhana, bisa berbagi, dan membahagiakan keluarga, itu saja. Mau jadi apa nantinya, itu takdir Allah,â pungkasnya. **</div>
<div style="text-align: justify;">
----------<br />
<i>- Catatan ini dibacakan dihadapan forum guru besar saat promosi sebagai doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta, 27 November 2016.</i></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-27652970945044872102018-01-17T18:11:00.002+07:002018-01-17T18:13:31.488+07:00Politik yang (selalu) Menjala Kebencian<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4wAvDlPe3-cFzoPG7-sMGcKyrdzyG0cL_MJKWpe059QInBI4NHzRoHxcnfRWvotR9bWoBGCjVaRhIq08d8L4tW8qeXYq_F7yLLP4QLVxLI2tuDIRhTeDQq3goqWINwJ9uVzcoul0FoeE/s1600/stophate.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="289" data-original-width="515" height="179" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4wAvDlPe3-cFzoPG7-sMGcKyrdzyG0cL_MJKWpe059QInBI4NHzRoHxcnfRWvotR9bWoBGCjVaRhIq08d8L4tW8qeXYq_F7yLLP4QLVxLI2tuDIRhTeDQq3goqWINwJ9uVzcoul0FoeE/s320/stophate.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasa-rasanya setiap tahun masyarakat dunia terjerembab dalam suasana kebencian, pemicunya politik pilih-memilih. Tak memandang apakah itu terjadi di negara ber-ideologi outoritarian â libertarian â Pancasilais, negara kaya atau miskin, sama saja, kebencian selalu hadir dan menebar seperti permainan yang membuai dan mengasyikkan.<br />
<br />
Fenomena ini mentasbihkan jika politik (seolah) menjadi ruang kosong yang diisi oleh sifat buruk manusia dibalik topeng-topeng kecurangan sejenis akun palsu, berita hoaks, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Situasi ini membangun kesadaran, bahwa manusia (memang) bukanlah mahluk sejenis malaikat yang ditakdir hidup apatis untuk menerima kebenaran belaka. Juga sebaliknya, tidak ditakdir apatis seperti Iblis untuk hidup dalam kemungkaran belaka. <br />
<br />
Manusia penggabungan dua wujud mahluk â malaikat dan iblis, sebab ia memiliki kedua sifatnya. Karenanya banyak yang menyimpul, jika sebuah perhelatan politik pilih memilih yang penuh dengan intrik kebencian, berarti manusia telah mengubah dirinya dalam peran iblis yang hadir menjala kebencian di lautan luas bernama kekuasaan.<br />
<br />
Pantas dan wajar saja jika kemudian lahir sekelompok orang mengharamkan dunia politik ini. Pantas pula pula mengapa kaum outoritarian, melahirkan pemimpin-pemimpinnya bukan dengan pilih-memilih, tetapi mengunakan metode putra mahkota, pewarisan kekuasan dan sejenisnya.<br />
<br />
Outoritarianisme adalah sebuah ideologi yang percaya, jika pusat kebenaran itu ada di tangan pemimpin (raja), sebab pemimpin adalah perwakilan Tuhan, seperti dipraktekkan di negara-negara berhaluan religi, kerajaan, hingga komunis ortodoks. Bahaya besar di ideologi otoritarian ini adalah lahirnya tirani, Korea Utara contohnya.<br />
<br />
Outoritarian ini yang memaksa lahirnya libertarisme â ideologi yang berpendapat jika semua manusia adalah pusat kebenaran, karena manusia semuanya dianggap perwakilan Tuhan yang bisa menemukan jalan kebenarannya sendiri,. Bahaya terbesar di ideologi ini adalah logika kebebasan, - kebebasan manusia. Seperti diperankan negara-negara berhaluan demokrasi dewasa ini.<br />
<br />
(Mungkin) ini yang membuat Marciavelli berteori, bahwa dari semua ideologi buruk itu, demokrasi sebaik-baiknya turunan ideologi. Ibarat kata, manusia memang tak diberi ruang mendapat ideologi baik, semuanya buruk!. Itu berarti manusia memang didekatkan pada iblis. <br />
<br />
Pantas pula jika ada yang berpikir untuk menjadi âgolongan putihâ. Peristilahan yang ontologisnya menggambarkan orang untuk tidak terjerembab dalam situasi pilih-memilih, titik. Bukan praktek passif dan pembangkangan terhadap suatu sistem. <br />
<br />
Golongan Putih pada hakikatnya adalah sebuah ketulusan rasa, kecermatan, dan ketenangan jiwa manusia untuk tidak terjerembab dalam jala kebencian di ruang bingkai bernama politik. Namun zaman (seolah) telah menggerus makna, golongan ini dianggap sebagai bentuk sistem yang berdiri sendiri, terstruktur, dan dianggap sebagai sebuah perlawanan pada sistem. Bahkan mengkampanyekannya berarti bersiap berhadapan dengan logika hukum, seperti di Indonesia ini.<br />
<br />
Tulisan ini tak hendak menyapih perdebatan, bahwa politik pilih memilih adalah ruang pertentangan antara malaikat versus iblis, tidak pula di ruang bertuhan atau atheis. Sebaliknya membangun kesadaran bahwa politik yang diperankan manusia, sesungguhnya adalah âPeran sebenaranyaââ bukan sandiwara, seperti ulasan teori Darmaturginya Erving Goffman, yang memperkenalkan bahwa manusia memiliki panggung belakang dan depan.<br />
<br />
Jika saja manusia di dunia ini menyepakati bila politik bukan sandiwara, maka manusia akan menghadirkan malaikat dalam dirinya. Ia pasti statis berpedoman pada kebenaran, dan kebenaran adalah pangkal kebahagiaan. Itu bukan hal yang mustahil, sebab potensi kebenaran itu dimiliki. <br />
<br />
Lalu mengapa memilih menjala kebencian? Banyak hal; kebutuhan perut, logika bersumbu pendek, dan matinya nalar dalam diri manusia. Seperti kata King Martin Luter, âdarkness cannot drive out darknes; only light can do that. Hate cannot darive out hate; only love can do thatâ. ------ kegelapan tak bisa mengusir kegelapan. Hanya terang yang dapat mengusirnya. Sama halnya dengan kebencian. Kebencian dibalas kebencian tak dapat mnghilangkan kebencian., hanya cinta yang dapat menghilangkannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Tetapi saya hendak berkata, bila saya lebih memilih, sistem pemilihan kepala daerah secara politik cukup di DPRD masing-masing daerah.**<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-80579681524009907662018-01-17T14:39:00.001+07:002018-01-17T18:12:56.369+07:00Era Perkotaan Humanisme<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCXOq6XRmczgANNmZW4YezpLKDYeAcWfeYJzn-jKYMp0AaIygDcalQjdtYvx1mpAU1U-64JvdGsvd1pABPDzMLR4e2HmLlELYN1XZZ-CBFt4BeAULVpjNfTmnptK8V6JXUpxdHFygZy7E/s1600/humanis+kota.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="473" data-original-width="640" height="236" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCXOq6XRmczgANNmZW4YezpLKDYeAcWfeYJzn-jKYMp0AaIygDcalQjdtYvx1mpAU1U-64JvdGsvd1pABPDzMLR4e2HmLlELYN1XZZ-CBFt4BeAULVpjNfTmnptK8V6JXUpxdHFygZy7E/s320/humanis+kota.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
BARU sadar pada sebuah pertanyaaan, mengapa Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil- Walikota Bandung begitu fenomenal, begitu diagungkan, bahkan sempat âdipaksa-paksaâ menjadi calon Gubernur DKI Jakarta? tentu banyak jawaban pembeda yang bisa disematkan padanya. Jawaban yang berkisar pada siapa dirinya, dan apa saja yang dibuatnya di kota berjuluk âParis van Javaâ itu. </div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Paling tidak persaksian mata di kota ini, mematahkan asumsi yang selalu meng-agung-kan kepala daerah yang getol membangun serupa dengan Kang Emil. Padahal tidak. Kang Emil tetaplah berbeda, pembangunan Kota Bandung jauh lebih memanusiakan warganya. Itu kenapa saya sebut âtidak serupa, berbedaâ, bahkan sekalipun dengan keberhasilan Pak Ahok di Jakarta, juga kota-kota besar lainnya di Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bicara fisik, Bandung mungkin tak seheboh daerah-daerah lainnya, bukan dengan bangunan megah, atau jalan beraspal puluhan kilometer. Sebab kota ini secara infrastrutur telah terbangun sejak era penjajahan silam, yang juga mewariskan heritage-heritage mengagumkan. Paling tidak kita bisa berkata Bandung terwariskan infrastruktur Eropa yang mengagumkan. Itu modal awal kota jelita ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bandung memang kota macet, tetapi warganya selalu menebar senyuman, sebab di kemacetan mata selalu termanjakan dengan taman-taman jalan, pot-pot kembang yang sengaja digantung di pepohonan, plus wanita-wanita cantik yang ada di mana-mana. Toh jika berpapasan dengan preman sangar, tampangnya pun tak sesangar dengan preman-preman perkotaan yang berotot, berperangai kasar, dan kerap menyertakan umpatan. Teringat sinetron âpreman insafâ yang berlatar Kota Bandung itu. Ada kelucuan di sana, bahkan kebahagiaan. Bahagia menyusur setiap lekuk-lekuk Kota Bandung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata âbahagiaâ ini, memang menjadi indikator keberhasilan Kang Emil dalam memimpin. Sebutannya indeks kebahagian warga kota, yang ia ukur dari seberapa banyak warga keluar rumah di malam hari. Bukan apa-apa, tetapi menikmati keromantisan kotanya. Analoginya sederhana, warga yang berdiam dalam rumah di malam hari karena merasa tidak aman dan tak nyaman. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sepertinya konsep pembangunan Kang Emil seolah mendeskripsikan Kota Bandung sebagai adalah rumah besar yang aman, nyaman, menyenangkan, dan menyediakan apa saja bagi warganya, juga bagi mereka yang berkunjung. Pokoknya siang dan malam, situasinya sama saja. Sama-sama menyenangkan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karenanya, tak mengherankan jika spot-spot kota ini selalu diselimuti pedestrian (trotoar) yang nyaman bagi pejalan kaki. Jika lelah, ada saja tempat nongkrong berupa kursi panjang yang disediakan di setiap jengkal radius meter pedestrian itu, plus spot-spot wifi internet yang tersebar di mana-mana, dengan taburan pot-pot bunga serta bola-bola beton yang menjadi hiasan sekaligus berfungsi sebagai pembatas jalur kendaraan, yang biasanya menggunakan trotoar sebagai areal parkir. Singkatnya, kehidupan Kota Bandung benar-benar memanusiakan warganya. Ini yang bisa disebut sebagai kota humanis, yang patut menjadi contoh bagi kota lainnya dalam menderukan pembangunan fisik perkotaan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak berlebihan jika tulisan ini menyematkan Kang Emil sebagai sosok pemimpin pembangunan perkotaan humanis. Sematan yang dilatarbelakangi oleh inovasi Kang Emil yang memanfaatkan kehidupan sejarah, dinamika warga, dan masa depan kota ini yang selalu menawarkan romantisme. Ia seakan sadar, bahwa sejarah telah menuliskan jika kota ini memang menyenangkan. Sebagaimana pesan seorang filsuf Belanda WA. Bouhower seabad siilam dengan mengatakan, âBumi Parahyangan (Bandung) terlahir saat Tuhan sedang tersenyumâ. Kalimat filosofis yang begitu bermakna.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Soal figur kepemimpinan, nama Kang Emil di mata warganya jauh lebih populer dibanding nama sebenarnya, Ridwan Kamil; dua penyebutan yang teramat berbeda, juga derajat berbeda. Kang Emil lebih merakyat, lebih merasuk ke relung-relung hati warganya. Makanya wajar jika sopir-sopir angkot dan akang-akang becak di sana, lebih suka menyebut nama ini ketimbang Ridwan Kamil. Mungkin ini âterapiâ yang dibuat Kang Emil agar ia mudah mempengaruh pikiran orang Bandung dalam mensukseskan apa saja yang ada di benaknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak ada salahnya kita belajar pada sosok ini!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-52072366164765441872018-01-16T16:43:00.002+07:002018-01-16T16:43:36.752+07:00Monianse Effect<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eguAzkNnaMYydUW5ushBTlbVzFsO7wB2l7TagWXNPPgIX1eMOW9bYjTzdJ8e8gI1vMyH5r0YpcsgfGTJug43zrUqyHh6Mqrhkql6fRwhvtjJIthcIvYNszIWtASGB0UuIrM_jMAaP1c/s1600/monianse.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="325" data-original-width="411" height="253" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eguAzkNnaMYydUW5ushBTlbVzFsO7wB2l7TagWXNPPgIX1eMOW9bYjTzdJ8e8gI1vMyH5r0YpcsgfGTJug43zrUqyHh6Mqrhkql6fRwhvtjJIthcIvYNszIWtASGB0UuIrM_jMAaP1c/s320/monianse.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Tulisan ini tak hendak menggiring opini untuk berpetakonflik pada salah satu kandidat wakil walikota di Bumi Wolio ini, khususnya pada pribadi La Ode Ahmad Monianse, tokoh muda, penggiat sosial enterprneurship, mantan anggota dewan, Dirut PDAM, hingga ketua umum di partai penguasa tataran lokal Kota Baubau. Ia juga sosok yang tak banyak mengumbar bicara. <br /><br />Toh, jika Monianse adalah menjadi pilihan atau tidak, itu hak masing-masing orang. Semua harus dihormati tanpa perlu debat yang menohok urat syaraf. Sebagai pembelajar komunikasi politik, fenomena Ahmad Monianse baik menjadi kajian khusus di tingkat akademik, khususnya hubungan dan polarisasi âkekuatan orangâ dengan âkekuatan organisasi politikâ berbentuk partai. Stressingnya di situ â pada pro kontra yang menggiringnya. Bukan dipilih atau tidak dipilih, agar tetap dalam koridor objektivisme politik.<br /><br />Tatkala disandingkan dengan petahana, AS. Tamrin, dibanyak sisi Monianse diwacanakan lemah dukungan, dengan berkaca pada hasil Pemilu legislatif 2014 silam yang membenam namanya, padahal ia seorang ketua partai. Bahkan pragmatisme politik jelang Pilwali 2018 juga mengurung sosok aktivis sosial ini yang diwacanakan secara subjektif sebagai politisi yang âpas-pasanâ secara materil. <br /><br />Siapapun Monianse, ia teramat seksi dalam politik sekelas Pilwali, sekali lagi ini Pilwali, bukan pemilu legislatif. Ia memiliki kekuatan politik mumpuni secara struktural, terkecuali ia âdikudetaâ mendadak dalam posisinya sebagai ketua PDI-P jelang <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Pilwali. Sebab bagaimanapun partai besutan Megawati Soekarno Putri ini amat ditakuti lawan-lawannya karena jejaring kekuasaan yang begitu mengakar secara nasional. <br /><br />Di sudut ini, Monianse tentu tak bisa dipandang remeh, apalagi Baubau adalah âkotaâ yang tentu menjadi salah satu teropong politik Senayan sepaket dengan Pilgub Sultra, di mana PDIP secara nasional memiliki ambisi merebut kuasa dari dominasi Partai Amanat Nasional (PAN) di Bumi Anoa ini di Pemilu 2019, sebab secara politik Sultra menjadi salah satu âaib politikâ Moncong Putih. Singkatnya, hasil Pilkada di Sultra dan Baubau akan berbanding lurus dengan Pemilu 2019 nanti.<br /><br />Andai saja, Monianse paten sebagai pasangan AS.Tamrin, dan paten sebagai ketua PDI-P Baubau, maka segala âkekuranganâ Monianse hanya terlihat hingga AS Tamrin mengakhiri masa jabatannya sebagai walikota di bulan Pebruari 2018 nanti. Sebab, kekurangan itu muncul akibat dominasi AS Tamrin sebagai walikota yang dinilai memiliki basis pemilih tradisonal di beberapa kalangan.<br /><br />Cara melihatnya secara objektif, yakni meletakkan AS. Tamrin sebagai kandidat walikota saja, sebagai ketua partai saja, bukan sebagai petahana, maka terlihat posisi AS.Tamrin dan Monianse, menjadi sejajar, tetapi secara struktural di politik nasional, Monianse tentu akan membaik, apalagi jika struktur-struktur itu akan bekerja maksimal. Di situ seksinya politik Monianse, ia bisa melahirkan banyak effek, bila saja terabaikan. <br /><br />Sekali lagi, catatan kecil ini tak hendak menggiring pilihan pada paket AS. Tamrin-Monianse, sebab kandidat pasangan lainnya tentu menawarkan visi-misi yang menjanjikan. Memilih adalah hak Anda yang dihormati regulasi. Sama dihormatinya, ketika AS. Tamrin memilih atau tidak Monianse sebagai pasangan politiknya d Pilwali. <br /><br />Ini sekedar catatan kecil yang berharap menuai makna, bahwa menghitung-hitung politik, bukan menghitung angka-angka paten, semua dipertimbangkan secara matang. Politik pun tidak selalu membuai rupiah sebagai jalan utama, tetapi menawarkan orang sebagai alat uji coba. Apalagi, PDI-P memiliki kebiasaan âbermainâ di akhir-akhir pertandingan. <br /><br />Kita tunggu saja, siapa pasangan paten Pak Tamrin yang didaftar di KPU, semua berpulang pada pilihan politiknya. Tuah dan resiko itulah seni dalam berpolitik, sebab kandidat lainnya pun telah menunggu dan bersorak untuk berkompetisi. Siapapun terpilih, berharap Baubau bisa lebih baik. Selamat malam.**<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-48517037271807676662018-01-11T08:51:00.001+07:002018-01-16T11:11:35.980+07:00Kekaburan Ethos, Pathos, Logos<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibKLSghUmIM95G9U0GowJsQxdygQdbOhWPenleA2SMaxCuegWESI3D4t2267Y2Kp-482JyhFu5NiL9ONC0sK8wH3Slu4OzHIDTRNNEJpf-RqPejIO6iWgFzKqpQMnHoCie8uf_ly1BH8g/s1600/socrates.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="229" data-original-width="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibKLSghUmIM95G9U0GowJsQxdygQdbOhWPenleA2SMaxCuegWESI3D4t2267Y2Kp-482JyhFu5NiL9ONC0sK8wH3Slu4OzHIDTRNNEJpf-RqPejIO6iWgFzKqpQMnHoCie8uf_ly1BH8g/s1600/socrates.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
ZAMAN Soeharto berkuasa, elite-elite semacam Susi Pudjiastuti â menteri kelautan dan perikanan, juga Pak Ahok â Gubernur DKI Jakarta; (mungkin) tak selintas pun terdengar namanya dalam rekruitmen kepemimpinan bangsa ini; bukan soal kemapanan atau kemampuan personal; tetapi dua tokoh seperangai Susi dan Ahok, bisa jadi terpalang âazasâ bibit â bobot âbebet. Susi bertato, Ahok tempramental. Artinya ada sisi tak sempurna untuk menjadi seorang publik figur. Boleh jadi memenuhi unsur bibit dan bobot, tetapi bebetnya tidak, demikian pula bolak-baliknya. Begitu ketatnya.<br /><br />Memang zaman berbeda, masalah berbeda, perangai elite berbeda, segmen-segmen kerusakan moral juga berbeda, dan Pak Harto terlupakan zaman. Tetapi meracik kepemimpinan, tak perlu malu belajar pada pengalaman, sebab jika khawatir tersesat di persimpangan jalan, maka jalan bijak yang di tempuh adalah kembali ke mula jalan, lalu bersiasat lagi. <br /><br />Bibit â bobot â bebet yang ter-branding sebagai pola-pola Orde Baru, pada hakikat bukan produk zaman itu. Ia abstraksi filosofis 2500 tahun silam, ketika Socrates (469 SM - 399 SM) memaparkan konsep âaktorâ yang piawai berkomunikasi, yang disebutnya ethos, phatos, dan logos. Berkomunikasi dalam konteks ini (bisa) dimaknai sebagai âbernegara-, atau cara melahirkan orang-orang hebat dalam bernegara.<br /><br />Ethos bertalian dengan track record, catatan perilaku, suri tauladan â atau kredibilitas. Phatos bertalian dengan pergerakan-pergerakan emosi seseorang dari dalam jiwanya. Sementara logos bertalian dengan pengetahuan (logika). Sederhananya, kegaduhan berbhinneka yang belakangan terjadi dalam kehidupan berbangsa, karena bangsa ini kehilangan ethos â pathos â dan logos-nya. Sesuatu yang seharusnya tak terjadi jika ada kesadaran kembali ke mula jalan itu.<br /><br />Mula jalan tak berarti kembali ke zaman Socrates, atau berpijak pada residu status quo kehebatan Orde Baru. Kita hanya belajar pada nilai filosofis keduanya. Mula jalan (bisa) berarti memijak pola rekruitmen aktor pada proses sebagaimana mestinya, sebab negara memiliki regulasi dan sistem yang baik untuk itu. Proses yang baik tak pernah melahirkan figur instan â yang bintang dua menjadi bintang empat â yang borjuis jadi gubernur. <br /><br />Jika proses tak pernah membohongi hasil, maka tiliklah ethos, pathos, logos â sebab ia seperangkat proses dalam kitab-kitab moralitas aktor yang terpakai di belahan manapun di dunia ini, meski dengan nama dan ucapan yang berbeda. Tak perlu melontar sanggahan jika ketiga diksi itu hanyalah seperangkat teori yang dipergunakan dosen menjejaki otak-otak mahasiswanya. <br /><br />Tahukah kita? tak mempercayai pemanfaatan teori pada hakikatnya menghilangkan nilai ketuhanan dalam segala aktivitas. Etimologi âteoriâ berasal adalah kata theo yang berarti ketuhanan, dan ria - orios yang berarti perenungan. Paling tidak, mereka yang menolak argumen-argumen teori, dapatlah disebut sebagai penista nalar akademis. <br /><br />Nalar akademis adalah mula jalan bangsa ini terbangun, tatkala 66 orang tokoh bangsa yang tergabung dalam BPUPKI dengan semua label kebhinnekaannya merumuskan terbangunnya negara yang bernama Indonesia. semua berikhwal dari kekuatan ethos, phatos, dan logos, yang telah mengabur itu. ** <b>(Hamzah Palalloi)</b></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-11476391695456400672017-09-11T09:12:00.000+07:002017-09-11T09:12:15.639+07:00Bertarung Gagasan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh11yTj3BClFmj7oFhB2oxJ5FqpXXZcNgtqGRzTw87wa-3dzAAiLaGO_RRh-JrAll-JhWT0AMN3IUXE6OJz44-iEx1WaXAq6dUpE2d6JZ6sN4xzq-V8vzbx0Rm7MNaLp0phUyCY9cd8onU/s1600/tarung.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="395" data-original-width="526" height="239" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh11yTj3BClFmj7oFhB2oxJ5FqpXXZcNgtqGRzTw87wa-3dzAAiLaGO_RRh-JrAll-JhWT0AMN3IUXE6OJz44-iEx1WaXAq6dUpE2d6JZ6sN4xzq-V8vzbx0Rm7MNaLp0phUyCY9cd8onU/s320/tarung.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pastikan tak ingin terjebak pada tataran dukung mendukung di kontestasi politik daerah ini, baik di level pilwali maupun pilgub. Bukan apa-apa, bukan tidak suka, ataupun membenci. Di kepala saya tak ada rumus seperti itu, sebab sadar jika hak berpolitik bila digiring pada soal suka atau tidak suka, benci membenci, jangan harap kualitas politik daerah akan membaik.<br /><br />Ini juga perlu diketahui oleh para kandidat, pun tak boleh membangun institusi politik berlandaskan managemen konflik, sebab hasilnya akan menggelisahkan diri sendiri. Sama juga untuk para suksesor, sekali-kali jangan membangun politik elitis, dipastikan anda dijauhi konstituen. Begitulah kondisi kekinian, pemilih telah memiliki kesadaran terhadap hak politik yang dimilikinya. ia ingin hak itu menjadi sesuatu yang mahal dan istimewa.<br /><br />Mahal, istimewa tak berarti harus dirupiahkan, tetapi mendapat tempat yang selayaknya diposisikan pada ruang yang merasa terhargai. Karenanya politik kadang membutakan apa aktivitas yang dilakukan kandidat, terkecuali value sosial yang melekat padanya.<br /><br />Suksesor sebagai perwakilan diri kandidat sejatinya bisa membangun gagasan-gagasan strategis ketimbang membangun data-data berdasarkan situasi subjektivitas yang mengenakkan telinga kandidatnya. membangun gagasan tak sekadar berwacana, atau lebih dari itu... metawacana. tetapi juga masuk di area pertarungan gagasan.<br /><br />Bertarung di konsepsi ini bukan diartikan menekan, memaksakan ataupun menebar agitasi. sebab kita tidak lagi pada laku politik seperti di zaman hitler, mussolini, ataupun jenderal zasdzli di mesir. kita sedang berada di dunia 'softpolitics', eranya ridwan kamil, ibu risma, ataupun nurdin abdullah, yang menebar cinta dan kasih sayang lewat ide-ide kreatif, yang menyentuh kalbu para pemilih. Namanya politik humanis, saya yakin anda bisa melakukannya.<br /><br />Sengaja mengungkap ini, sebab menyadari jika masih banyak kandidat-kandidat kepala daerah, dari bakal calon gubernur, walikota dan bupati, memiliki watak-watak hitler, mussollni, maupun zasdli, yang amat buas dan ditakuti, angin topan pun lewat.....hehehe, bahkan pura-pura hidup sederhana, padahal uang tersimpan dalam bankir di lapis-lapis tanah.. bahkan membungkus diri dengan citra ala aliando, algazali, mungkin juga justin beiber.. sori kalau salah tulis, sebab hakikinya saya menggemari artis-artis pinggir ala Pantura..<br /><br />Hendak bilang pada anda, bertarung gagasan mungkin sebuah kompetisi konsepsi dan cenderung teoritik, tetapi itu jangan dipandang remeh. sebab dari sana bukan hanya isi otak yang diketahui, tetapi publik bisa menilai laku dan karakter anda sebenarnya. di sana ketahuan kebaikan dan kebusukan yang lahir dari cermin sosial verbal anda. berani?? saya pastikan anda mengatakan berani, meski belum tahu seperti apa anda di sana...<br /><br />Pemirsa... kini kita berada di alam demokrasi yang terbuka, bebas sesuai hati nurani.. tetapi saya jadi teringat seorang ilmuwan yahudi, yang berkata bahwa demokrasi adalah puncak dari ateisme.... duh....<br /><br />Selamat Pagi...</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-9739383911540229602017-03-08T09:17:00.000+07:002018-01-15T09:02:06.115+07:00Era Politik Humanis<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvExlX5pjjrcszewopbup5rZ-JKlw9B8pYZpMan3JFVBS3d6MVt_LihuMYYvNYw6fLYrsh3XIhtSU2xVlqBfpsd785OvBWhQG1sWdbgcrHA7B543DLX7utwn-8K86-H_wtW6LSLijy92Q/s1600/kekuasaan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="363" data-original-width="514" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvExlX5pjjrcszewopbup5rZ-JKlw9B8pYZpMan3JFVBS3d6MVt_LihuMYYvNYw6fLYrsh3XIhtSU2xVlqBfpsd785OvBWhQG1sWdbgcrHA7B543DLX7utwn-8K86-H_wtW6LSLijy92Q/s320/kekuasaan.jpg" width="320" /></a></div>
TIDAK sedang mengargumentasi siap pemenang Pilwakot Kendari bulan depan; melainkan merindukan jika yang terpilih nanti adalah sosok humanis, yang kepimpinannya menjadi idola banyak orang. Paling tidak, kepemimpinan Kendari menjadi âcerita baruâ masyarakat Indonesia â bukan sekedar pemimpin pekerja â pembangun - atau istilah lain yang terasa jadi residu cerita-cerita Orde Baru, seperti pada banyak âvisiâ yang terpajang di baliho â baliho yang terkesan kurang kreatif, bahkan berakhir menjadi sampah demokrasi di sudut-sudut perkotaan.<br />
<br />
Tak perlu tersinggung dengan diksi kalimat âsampah demokrasi di sudut perkotaanâ, sebab begitulah realitas berpolitik banyak tim sukses menampilkan panggung depan dramaturgi kandidatnya. Mau calon ini, atau calon itu, ujung-ujungnya menjual tampang, jualan tagline, dengan warna-warna khas partai pengusung. Bahkan ada yang mirip-mirip jualan produk jamu, atau tagline copy-paste kandidat kampung sebelah. Boleh jadi kampanye ala Trumph â Presiden AS terpilih bakal booming lagi di negeri ini.. Heheheh..Kita memang begitu!<br />
<br />
Intinya, sekadar mau bilang, ini eranya politik humanis; politik dimana pemimpin terpilih benar-benar bisa dicintai warganya. Apalagi paradigma mendapatkan kekuasaan di Indonesia juga telah bergeser jauh dari poros semestinya. Dari âkekuasaan mencari orangâ menjadi âorang mencari kekuasaanâ(Arifin:2009). <br />
<br />
Di zaman Orba hingga awal-awal reformasi; paradigmanya âkekuasaan mencari orangâ â artinya partai politiklah yang sibuk mencari kandidat-kandidat terbaik; yang cerdas; berpengalaman. Soal duit, urusan belakang. Setelah reformasi hingga sekarang, paradigma politik berubah menjadi âorang mencari kekuasaanâ. Karenanya siapa yang punya uang dan popularitas, menjadi buruan pemangku kepentingan. Pengalaman, kapasitas menjadi terabaikan, parpol menjadi buruan, loyalitas berpartai juga meredup. Karena itu jangan lagi persoalkan istilah âpolitik kutu loncatâ. Itu sudah biasa. Berdoa-lah agar era ini segera berakhir, entah kapan.<br />
<br />
Apakah politik humanis menjadi oase kerinduan di tengah getir dan mahalnya ongkos politik memilih pemimpin? Bisa jadi begitu, namun format politik humanis itu belum baku dan terbukukan hingga sekarang. Paling standar, humanis itu selalu terbahasakan dengan merakyat, beretika, dan isu-isu lain yang menyangkut kemanusiaan. Kontesknya mulai terbaca di politik Jakarta saat ini, dengan tagline âJakarta bersahabatâ, âJakarta memanusiakanâ dan lain sebagainya. Ini memang isu perkotaan, tidak terkecuali Kota Kendari ke depan. <br />
<br />
Deru pembangunan boleh laju, tetapi manusia di dalamnya tak boleh terinjak pembangunan itu. Sebaliknya manusianya bergembira, menikmati, dengan penuh keromantisan. Jadi teringat obsesi Barrack Obama, ia berkata begini; âKebesaran Amerika bukan ditentukan oleh ketinggian pencakar langit atau besarnya kekuatan militer dan keberhasilan ekonomi. Kebesaran bangsa ini ditentukan oleh keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sejajarâ. <br />
<br />
Mungkin ujaran ini yang sedikit dekat dengan tafsir politik humanis itu, dan mungkin itu juga yang membuat Kang Emil memimpin Kota Bandung begitu dicintai warganya, padahal dia bukanlah sosok âbapak pembangunanâ Bandung. Ia hanya selalu berusaha membuat warganya menjadi lebih bahagia, tertawa, bahkan bercanda melalui jejaring sosialnya. Saya justru melihat Kang Emil tak lebih dari seorang âpembuat tamanâ yang kreatif dan humanis. Pembuat taman yang diimpikan banyak orang di negeri ini, yang membuatnya ikut âdipaksa-paksaâ terlibat dalam pusaran politik Jakarta setahun lalu, mungkin juga akan dipaksa-paksa menjadi pesaing Presiden Jokowi ke depan. Mungkin!<br />
<br />
Yang pasti ini era politik humanis, silahkan menafsir, pemimpin apa yang Anda inginkan untuk Kota Kendari bulan depan. Anda penentunya.<br />
-----------------------------------------<br />
<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-64486823688165022672017-03-08T09:15:00.001+07:002018-01-15T09:06:11.736+07:00Easy to Relation, bukan Easy to Lazy <div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghlsFB4lHvKDEB_9PLpWjW_q-4K9MN9Zf7hjobtA9mf17tYf56K24v3zpTcv5WjH2C9-VQ_RZaTsS2B6KgV5gyiv1AQvOphFfZ3s7K53jCmN5tqLZrv_rHdh6nzimPBUT2omBBNu5_DuY/s1600/humanisme.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="185" data-original-width="272" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghlsFB4lHvKDEB_9PLpWjW_q-4K9MN9Zf7hjobtA9mf17tYf56K24v3zpTcv5WjH2C9-VQ_RZaTsS2B6KgV5gyiv1AQvOphFfZ3s7K53jCmN5tqLZrv_rHdh6nzimPBUT2omBBNu5_DuY/s1600/humanisme.jpg" /></a></div>
BELASAN tahun lamanya kehidupan kemanusiaan telah menyatu dengan kehidupan jejaring sosial yang digerakkan teknologi bernama internet; international networking. Wajah kemanusiaan manusia tak lagi berbatas dinding-dinding kamar; tak berbatas kata tabik; dan tak berbatas sekat-sekat apapun. Hubungan menyatu dalam satu genggaman dan gerak-gerak tuts komputerisasi yang bernyawa.<br />
<br />
Kebebasan akhirnya menyeruak ke mana-mana, semua jadi abai dan tersapih oleh kemajuan yang diciptakan sendiri. Tersadar dan cemas tatkala kodrati kemanusiaan tercampakkan oleh produknya sendiri; ketika pikiran teknologi mengalahkan humanistik. Sadar tetapi menikmati, hingga menjadi selaput tipis yang tak berbeda dengan ketidaksadaran itu sendiri. Pusing menghadapinya, tetapi lebih pusing jika tak menikmatinya. Begitulah rajam teknologi. Consciousness mind!<br />
<br />
Kata Sigmund Feud (1856-1939), kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Seibarat gunung es di bawah permukaan laut, bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Itu definisi dan analogi Consciousness mind! Banyak yang tahu ini.<br />
<br />
Kesadaran inilah yang mencemaskan wajah bangsa 250 jutaan orang ini; hoax dilawan hoax, twit dilawan twit, rakyat berteknologi riaâpemerintah pun (seolah) repsesif, karena tak mampu membendung derasnya jejaring networking rakyatnya yang terus berbicara apa saja, semaunya - hingga tiba di titik kesan pada hasrat meruntuhkan wibawa dan simbol bernegara, menjadi alat makar. <br />
<br />
Itu tak keliru, memang perlu kewaspadaan, sebab kemajuan teknologi komunikasi bisa menjelma menjadi pisau tajam yang bisa merobek segalanya, jika tak mengembalikan posisinya sebagai tools yang memudahkan pekerjaan. Bukan menjadikan teknologi yang memaksa manusia mengubah diri menjadi robotik yang di atur produknya sendiri. <br />
<br />
Ini kecemasan yang sebenarnya telah diramal ilmiah Herbert Marcuse (1898-1979) di tahun 60-an, pemikir kritis dari Mazhab Frankfurt yang dikenal dengan pandangan masyarakat âone dimensional manâ-nya. Marcuse berpendapat bahwa manusia menciptakan, memanipulasi dan memeralat benda-benda, alam serta mesin-mesin, untuk memudahkan hidupnya. Di saat yang sama, hal itu juga berlangsung di wilayah politik dan kultural. Di sinilah manusia dan masyarakat tak terkecuali berada dalam penguasaan dan manipulasi teknologi. Ramalan teoritik yang sebenar-benarnya telah terjadi di era kekinian. <br />
<br />
Marcuse (seolah) ingin mengingatkan bahwa manusia akan hidup nikmat jika dialah yang memengaruhi teknologi, memengaruhi modernitas, bukan sebaliknya. teknologi itu easy to relation bukan easy to lazy. Dibuat untuk memudahkan berhubungan satu dengan lainnya. Negara punya banyak cara bijak mengaturnya, tanpa perlu menjadi Korea Utara yang membatasi internet dan jejaring networking seperti hantu gentayangan yang meruntuhkan kewibawaan pemimpin dan simbol-simbol negara. <br />
<br />
Negara bisa bijak tanpa perlu huru-hara mencari biang berklaim makar, karena ketidak mampuan mencari formula tepat. Sebab negara tahu, bahwa memuliakan sisi-sisi kemanusiaan rakyatnya, adalah cara tepat mengalahkan angkuhnya teknologi. <br />
<br />
Berbicara langsung, menepuk pundak rakyat, menyediakan ruang-ruang berkumpul yang nyaman, membangun taman-taman kota, tak memaksakan desa menjadi kota, tak memaksakan yang instan, adalah sedikit dari banyak cara memuliakan manusia. Tak salah jika belajar pada kalimat bermakna Goenawan Mohammad, sastrawan bangsa ini; âKita tak jadi bijaksana, bersih hati dan bahagia karena membaca buku petunjuk yang judulnya bermula dengan "How to"...Kita harus terjun kadang hanyut, kadang berenang dalam pengalaman. Kita harus berada dalam perbuatan, dalam merenung dan merasakan dalam laku. Ujian dan hasil ditentukan di sana.â<br />
<br />
**<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-39525130677164983872016-10-05T13:49:00.003+07:002016-10-05T13:49:45.263+07:00Kenapa Kelelawar Selalu Tidur Terbalik?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqpIXlp-JUBdNjwWa12yMnqdJ_Q_c4fnv-CrlCeH8MTPaZeieHArPTJw2nANZsE4dgBkMPwZfJ4GJbMYK3THsXKBikrJLwxYzaPZ99eR-hm9a0vC2NwZmPnzgRtvJFbV9EQm2AtYCyYTo/s1600/kelelawar.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="160" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqpIXlp-JUBdNjwWa12yMnqdJ_Q_c4fnv-CrlCeH8MTPaZeieHArPTJw2nANZsE4dgBkMPwZfJ4GJbMYK3THsXKBikrJLwxYzaPZ99eR-hm9a0vC2NwZmPnzgRtvJFbV9EQm2AtYCyYTo/s320/kelelawar.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Inafeed.com</b> â Salah satu hewan nocturnal yang memiliki banyak keunikan yakni kelelawar. Binatang yang tidur di siang hari dan berkeliaran di malam hari ini dianggap punya cara tidur yang unik yakni dengan posisi badan terbalik dimana kaki bergantung di atas dan kepala di bawah.<br /><br />Dan tahukah kamu , kenapa kelelawar tidur dengan cara terbalik ?<br />Ada beberapa alasan kelelawar memilih tidur dengan posisi terbalik atau menggantung. Cara tidur seperti ini menjadi keunikan tersendiri yang ada pada hewan bersayap unik ini.<br /><br />Seperti yang dilansir dari viva.co.id, inilah dia beberapa alasan kenapa kelelawar tidur selalu terbalik.<br /><br /><i>Pertama, </i>kelelawar tidur terbalik karena mereka menghindari predator. Seperti diketahui, kelelawar aktif di malam hari sehingga mereka tertidur di siang hari. Tidur di tempat yang tinggi membuat mereka tetap aman dari jangkauan predator hingga malam tiba.<br /><i>Kedua, </i>kelelawar menggantung saat tidur untuk memudahkan mereka memulai penerbangan. Posisi yang menggantung di tempat tinggi memungkinkan mereka lepas landas dengan lebih mudah.<br /><i>Ketiga, </i>kelelawar menghemat energi ketika mereka tidur terbalik. Mereka hanya perlu terbang ke posisi bertengger yang diinginkan, kemudian membuka cakarnya dan menemukan permukaan yang dapat digenggam.<br /><br />Dan salah satu faktor utama kenapa kelelawar tidur dengan cara terbalik ini juga dipengaruhi oleh berat tubuh bagian atas yNG akan menarik tendon yang terhubung dengan cakar ke bawah, dan menyebabkan cakar mengepal serta menggenggam tempatnya bertengger. Dengan cara itu, kelelawar tak perlu melakukan usaha apa pun untuk tergantung terbalik.<br /><br />Sementara itu , cakar yang terus tertutup itu akan tetap membuat sang kelelawar tetap bertengger bahkan ketika ia mati.<br /><br />Unik yaâŠ.</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-74821469004177345642016-09-29T16:23:00.003+07:002016-09-29T17:20:58.119+07:00Arif, 8 Tahun Si Napi Cilik Pembunuh Preman..<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4BZt0QoqZX4_urriN5N84vdIvY6LlB8wzZ__EaOoEWIi03jg1yOdWTt0kBoqGWUq5FXzQzBWV9IcnMV_GcVf46qUWv36zeTa76QlWe8cwUmdFS9TYvZzsPf5Afz88rn9lJml-RSa_cz8/s1600/arif.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="174" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4BZt0QoqZX4_urriN5N84vdIvY6LlB8wzZ__EaOoEWIi03jg1yOdWTt0kBoqGWUq5FXzQzBWV9IcnMV_GcVf46qUWv36zeTa76QlWe8cwUmdFS9TYvZzsPf5Afz88rn9lJml-RSa_cz8/s320/arif.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Ini tulisan yang saya copas langsung dari <a href="http://www.kompasiana.xyz/2016/07/nangis-bacanya-kisah-arif-8-tahun-si.html" target="_blank">sini</a>...entah siapa penulisanya, tapi amat menarik untuk di share pada kita semua, kisahnya memilukan dan cukup menarik, seperti berikut ini; ...Terus terang, meski sudah beberapa kali mengadakan penelitian Kriminal di LP, pengalaman kali ini adalah pengalaman pertama saya ngobrol langsung dengan seseorang yang didakwa kasus pembunuhan berencana.<br />
<br />
Dengan jantung dag dig dug, pikiran saya melayang-layang mengira-ngira gambaran orang yang akan saya temui. Sudah terbayang muka keji Hanibal Lecter, juga penjahat-penjahat berjenggot palsu ala sinetron, dan gambaran-gambaran pembunuh berdarah dingin lain yang sering saya temui di cerita TV.<br />
<br />
Well, akhirnya setelah menunggu sekian lama berharap-harap cemas, salah satu sipir membawa seorang anak kehadapan saya.Yup, benar seorang anak berumur 8 tahun. Tingginya tidak lebih dari pinggang orang dewasa dengan wajah yang diliputi senyum malu-malu. Matanya teduh dengan gerak-gerik yang sopan.<br />
<br />
Saya pun membaca berkas kasusnya yang diserahkan oleh sipir itu. Sebelum masuk penjara ternyata ia adalah juara kelas di sekolahnya, juara menggambar, jago bermain suling, juara mengaji dan azan di tingkat anak-anak.<br />
<br />
Kemampuan berhitungnya lumayan menonjol. Bahkan dari balik sekolah di dalam penjara pun nilai sekolahnya tercatat kedua terbesar tingkat provinsi. Lantas kenapa ia sampai membunuh? Dengan rencana pula?<br />
<br />
Kasus ini terjadi ketika Arif sebut saja nama anak ini begitu, belum genap berusia tujuh tahun.Ayahnya yang berdagang di sebuah pasar di daerah bekasi, dihabisi kepala preman yang menguasai daerah itu. Latar belakangnya karena si ayah enggan membayar uang âkeamananâ yang begitu tinggi.<br />
<br />
Berita ini rupanya sampai di telinga Arif. Malam esok harinya setelah ayahnya dikebumikan ia mendatangi tempat mangkal preman tersebut. Bermodalkan pisau dapur ia menantang orang yang membunuh ayahnya.<br />
<br />
âSiapa yang bunuh ayah saya!â teriaknya kepada orang yang ada di tempat itu.<br />
<br />
âGue terus kenapa?â ujar kepala preman yang membunuh ayahnya sambil disambut gelak tawa di belakangnya.<br />
<br />
Tanpa banyak bicara anak kecil itu sambil melompat menghunuskan pisau ke perut si preman. Dan tepat mengenai ulu hatinya, pria berbadan besar itu jatuh tersungkur ke tanah. Arif pun langsung lari pulang ke rumah setelahnya. Akhirnya selesai sholat subuh esok paginya ia digelandang ke kantor polisi.<br />
<br />
âArif nih sering bikin repot petugas di Lapas!â ujar kepala lapas yang ikut menemani saya mewawancarai arif sambil tersenyum. Ternyata sejak di penjara dua tahun lalu. Anak ini sudah tiga kali melarikan diri dari selnya. Dan caranya pun menurut saya tergolong ajaib.<br />
<br />
Pelarian pertama dilakukannya dengan cara yang tak terpikirkan siapapun. Setiap pagi sampah-sampah dari Lapas itu di jemput oleh mobil kebersihan. Sadar akan hal ini, diam-diam Arif menyelinap ke dalam salah satu kantung sampah. Hasilnya 1-0 untuk Arif. Ia berhasil keluar dari penjara.<br />
<br />
Pelarian kedua lebih kreatif lagi. Anak yang doyan baca ini pernah membaca artikel tentang fermentasi makanan tape (ingat lho waktu wawancara usianya baru 8 tahun). Dari situ ia mendapat informasi bahwa tape mengandung udara panas yang bersifat destruktif terhadap benda keras.<br />
<br />
Kebetulan pula di Lapas anak ini disediakan tape uli dua kali dalam seminggu. Setiap disediakan tape, arif selalu berpuasa karena jatah tape itu dibalurkannya ke dinding tembok sel tahanannya. Hasilnya setelah empat bulan, tembok penjara itu menjadi lunak seperti tanah liat. Satu buah lubang berhasil dibuatnya. 2-0 untuk arif. Ia keluar penjara ke dua kalinya.<br />
<br />
Pelarian ke tiganya dilakukan ala Mission Imposible. Arif yang ditugasi membersihkan kamar mandi melihat ember sebagai sebuah solusi. Besi yang berfungsi sebagai pegangan ember itu di simpan di dalam kamarnya. Tahu bahwa dirinya sudah diawasi sangat ketat, Arif memilih tempat persembunyian paling aman sebelum memutuskan untuk kabur. <br />
<br />
Ruang kepala Lapas menjadi pilihannya. Alasannya jelas, karena tidak pernah satu pun penjaga berani memeriksa ruang ini. Ketika tengah malam ia menyelinap keluar dengan menggunakan besi pegangan ember untuk membuka pintu dan gembok. Jangan Tanya saya bagaimana caranya, pokoknya tahu-tahu ia sudah di luar. 3-0 untuk Arif.<br /><br />Lantas kenapa ia bisa tertangkap lagi? Rupanya kepintaran itu masih berada di sebuah kepala bocah.Pelarian-pelariannya didorong dari rasa kangennya terhadap ibunya. Anak ini keluar dari penjara hanya untuk ke rumah sang ibunda tercinta. Jadi dari Lapas tanggerang ia menumpang-numpang mobil Omprengan dan juga berjalan kaki sekian kilometer dengan satu tujuan, pulang!<br /><br />Karena itu pula pada pelarian Arif yang ketiga, kepala Lapas yang juga seorang ibu ini meminta anak buahnya untuk tidak segera menjemput Arif. Hasilnya dua hari kemudian Arif kembali lagi ke lapas sambil membawa surat untuk kepala Lapas yang ditulisnya sendiri.<br />"Ibu kepala Arif minta maaf, tapi Arif kangen sama ibu Arif", Tulisnya singkat.<br /><br />Seorang anak cerdas yang harus terkurung dipenjara. Tapi, saya tidak lantas berpikir bahwa ia tidak benar-benar bersalah dan harus dibebaskan. Bagaimanapun juga ia telah menghilangkan nyawa seseorang. Tapi saya hanya berandai-andai jika saja, kebijakan bertindak cepat menangkap pembunuh si ayah (secepat polisi menangkap si Arif) pastinya saat ini anak pintar dan rajin itu tidak akan berada di tempat seperti ini.Dan kreativitasnya yang tinggi itu bisa berguna untuk hal yang lain.<br /><br />Sayangnya si Arif itu cuma anak pedagang sayur miskin sementara si preman yang dibunuhnya selalu setia menyetor kepada pihak berwajib setempat. Itulah yang namanya keadilan di negeri ini! <br />
(copas)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-62066961900224219452016-09-28T14:20:00.001+07:002016-09-28T14:20:31.868+07:0010 Negara yang Tak pernah Dijajah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeyDL9QUwmDtW7CoNu4Sd1BUUIB2kt28o_ekg1Gtc4dQWJyJa8eeGr50yCIeWSK8bESYOwzGOFRbANWaFLFOv38Rb6Nu7u7NtgPSwu5570RdSQWcwI3CSV9myiGMpjcGdonSddQS5Huu8/s1600/negara-dunia.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeyDL9QUwmDtW7CoNu4Sd1BUUIB2kt28o_ekg1Gtc4dQWJyJa8eeGr50yCIeWSK8bESYOwzGOFRbANWaFLFOv38Rb6Nu7u7NtgPSwu5570RdSQWcwI3CSV9myiGMpjcGdonSddQS5Huu8/s320/negara-dunia.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengutip langsung dari Situshiburan.com â Selama puluhan tahun Indonesia dijajah oleh negara lain, seperti Belanda dan Inggris. Di dunia ini ada banyak negara yang dikatakan sudah pernah dijajah oleh negara lain. Namun, itu hanya sebagian besar saja.<br /><br />Nyatanya ada beberapa negara yang diketahui tidak pernah dijajah oleh negara lain, seperti ke sepuluh negara dibawah ini yang katanya tidak pernah dijajah oleh negara lain.<br /><br />Mau tau apa saja ? Yuk, langsung saja kita simak ulasannya yang berikut ini, seperti dilansir Kumpulanmisteri.com.<br /><br /><b>1. Arab Saudi</b><br />Negara Arab Saudi adalah negara pusat awal perkembangan agama islam. Di Arab Saudi ini Nabi Muhammad SAW dilahirkan dan dibesarkan. Negara ini dikatakan tidak pernah dijajah oleh negara lain hingga saat ini.<br /><br /><b>2. Islandia</b><br />Awalnya Islandia adalah negara yang tidak memiliki penduduk. Namun, pada awal abad ke-9 M datanglah sekumpulan pendeta asal Irlandia yang menempati wilayah tersebut. Kemudian disusul oleh bangsa viking dan pada tahun 930-an M, negara ini membuat sebuah konstitusi mereka yang disebut althing, yaitu sebuah parlemen yang berpusat di kota Ăingvellir. Negara ini juga termasuk negara yang tidak pernah dijajah oleh bangsa lain.<br /><br /><b>3. Swedia</b><br />Negara Swedia juga merupakan salah satu negara yang tidak pernah dijajah oleh negara lain. Negara Swedia ini menggunakan sistem Kerajaan dalam pemerintahannya. Sebuah Negara Nordik di Skandinavia ini ber-ibu kota di Stockholm.<br /><br /><b>4. Denmark</b><br />Denmark adalah negara yang sangat kecil dan terpencil di dunia. Namun, meskipu kecil negara ini termasuk negara yang tidak pernah dijajah oleh negara lain. Sistem pemerintahan yang digunakan Negara Denmark adalah Monarki Konstitusional dan Parlementer, yang ibu Kotanya berpusat di Kopenhagen .<br /><br /><b>5. Norwegia</b><br />Norwegia adalah negara yang berbatasan dengan Finlandia, Rusia, dan Swedia. Negara ini memiliki pantai di Samudra Atlantik Utara yang sangat terkenal. Norwegia juga termasuk negara yang tidak pernah dijajah sepanjang sejarah.<br /><br /><b>6. Turki</b><br />Istanbul adalah Ibu Kota negara Turki. Negara Turki terbentuk dari sebuah pergerakan perlawanan terhadap Kekaisaran Byzantium saat pertempuran yang dinamakan Manzikert. Yang kemudian pada abad ke 11 bangsa Turki berpindah tempat ke negara Turki.<br /><br /><b>7. Nepal</b><br />Dalam sejarah menyebutkan bahwa negara Nepal adalah negara yang tidak pernah dijaha oleh negara lain di dunia. Negara yang berdiri pada 21 Desember 1768 ini menganut sistem Kerajaan dalam pemerintahannya. Raja pertamanya adalah Prithvi Narayan Shah.<br /><br /><b>8. Thailand</b>Satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh negara lain di dunia adalah negara Thailand. Negara ini dulunya tidak subur dan sangat miskin sehingga para penjajah tidak menemukan kekayaan di negara ini sehingga tidak adanya keuntungan yang didapat jika menjajah negara ini.<br /><br /><b>9. Ethiopia</b>Ethiopia adalah salah satu Negara di Afrika yang tidak pernah merasakan kejamnya penjajahan oleh Bangsa lain di dunia. Negara ini merupakan negara dengan populasi terbesar ke-2 di Afrika. Ibu Kotanya adalah Addis Ababad.<br /><br /><b>10. Yunani</b><br />Yunani terkenal sebagai negara yang terdapat banyak dewa-dewa dan tokoh dunianya. Ibu kota negara Yunani adalah Athena. Negara ini juga tidak pernah dijajah oleh negara lain di dunia.<br /><br />Itulah dia ke sepuluh negara yang tidak pernah dijajah oleh negara lain di sepanjang sejarah.</div>
<div style="text-align: justify;">
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------- </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
sumber resmi : http://inafeed.com/3054/10-negara-ini-ternyata-gak-pernah-dijajah-oleh-bangsa-lain/<br /><br /> </div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-77572871731884872016-09-27T00:54:00.000+07:002016-09-27T10:58:44.841+07:00JK Panoptikonik<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizZ4-1TujzC1XT_m1mdCmB4_3B2hUmnLlz_4zbQhcP8KytKtkUru2_2fOb7Cg5WclUHXdegxYWzjamyEzq4T_TP9tEzi1vF17SgrfIXa_Ew9X6_HL1kWSgDCdfVujll8f7woE9yJ8-nUw/s1600/JK+iconik.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizZ4-1TujzC1XT_m1mdCmB4_3B2hUmnLlz_4zbQhcP8KytKtkUru2_2fOb7Cg5WclUHXdegxYWzjamyEzq4T_TP9tEzi1vF17SgrfIXa_Ew9X6_HL1kWSgDCdfVujll8f7woE9yJ8-nUw/s320/JK+iconik.JPG" width="232" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>MASIH</b> seputar âSiapa setelah JKâ, tulisan sederhana yang terposting sebelumnya di blog ini. Bagi banyak orang, khususnya manusia Sulawesi Selatan tentu mendamba hadirnya <i>zoon politicon </i>â makluk politik - etnis Bugis-Makassar penerus kepiawaian Pak Jusuf Kalla (JK) di pusaran kuasa nasional, kendati mungkin itu hanya mimpi-mimpi indah. Sebab JK sosok Bugis-Makassar yang punya segalanya dalam konstruksi politik manusia Indonesia. Ia seorang hartawan, cendekiawan, organisatoris, piawai, saleh, berjejaring, dan terkesan Jawanisme dalam bertindak, tunduk tapi bisa menanduk. <br />
<br />
Soal Jawanisme ini tak perlu tersinggung, sebab Indonesia sadar jika Jawa dalam perspektif orang Jawa adalah budaya adiluhung; unggul, besar, dan (sepertinya) patut di ikuti oleh siapa saja yang ingin bertahta di negeri ini. Seperti adigium zaman Orba, jika ingin berkuasa - jadilah seperti orang Jawa. Dalam perspektif teori normatif, menjadi orang Jawa dapat didefinisikan sebagai sosok yang ramah, santun, tidak meledak-ledak, bahkan kerap beraksen Jawa. Tak heran, mengapa di negeri ini kita mudah menemukan sosok non Jawa tetapi berlanggam Jawa. Itu afiliasi kehidupan, wajar terjadi, dan bukan persoalan penting untuk diperdebatkan.<br />
<br />
Namun begitu, JK tentu bukan Jawanisme murni, ia berlanggam layaknya manusia Bugis-Makassar pada umumnya, ia tampil ala-nya sendiri - tidak meniru-niru, bahkan kalimat-kalimatnya ber-ideologi bangsa Bugis; ceplas-ceplos tetapi terukur, sedikit keras tetapi kadang lembut. JK paham, di mana posisinya sebagai atasan dan sebagai bawahan. Yang kadang ter-bully oleh khalayak, adalah sikapnya yang dinilai kurang konsisten dalam menyikapi persoalan politik. Seperti ketika ia mempersoalkan profil Jokowi yang dianggapnya belum layak sebagai presiden, namun belakangan ia menjadi pasangan ideal. Tak sedikit orang menganggapnya sebagai Brutus politik, kendati penulis membantah adigium ini, sebab demikianlah sebenar-benar filosofi âzoon politiconâ itu, menganut filsafat pragmatisme.<br />
<br />
William James (1842-1990) meluruskan makna pragmatisme dengan filsafatnya yang mengatakan pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar, dengan perantaraan yang akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu asal saja membawa akibat praktis, misalnya pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistik, semuanya bisa diterima sebagai kebenaran, dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. <br />
<br />
Jadi soal pragmatisme âzoon politiconâ JK, tentu tidak semata berkonotasi negatif dengan menggiring pikiran, jika sesuatu itu haruslah selalu menguntungkan secara materi. Sebab pragmatisme juga memiliki kekuatan-kekuatan, salah satunya telah berhasil mendorong berfikir yag liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga munculllah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Ini yang di pakai bangsa Amerika sejak awal abad 19. Tetapi maaf, tak hendak menggiring pikiran bahwa JK seorang Amerikanis, apalagi pragmatis.<br />
<br />
Sebaliknya, hendak mengatakan jika JK adalah manusia Bugis-Makassar yang memiliki kadar âzoon politiconâ yang tinggi dan terbilang jenius. Sosoknya seolah menawarkan apa yang disebut sebagai <i>âpanopticonâ </i>dalam konsep pendisiplinan tubuh yang pernah diutarakan Jeremy Bentham (1785) dan Michel Foucault (1975). <br />
<br />
<i>Panopticon</i> pada awalnya adalah konsep bangunan penjara yang memungkinkan seorang pengawas untuk mengawasi (<i>-opticon) </i>semua <i>(pan-) </i>tahanan, tanpa tahanan itu bisa mengetahui apakah mereka sedang diamati. Karena itu, konsep Panopticon ini menyampaikan apa yang oleh seorang arsitek disebut âsentimen kemahatahuan yang tidak terlihatâ. Panopticon awalnya desain arsitektur, lalu kemudian dalam perkembangannya menjadi metafora bagi masyarakat âdisiplinâ modern dan kecenderungannya yang menyebar, untuk mengawasi dan menormalisasi. Atau bahasa sederhananya, panopticon adalah desain yang menjadi patron bagiamana seharusnya membangun manusia yang disiplin. Karena konsepnya manusia politik, maka yang diharapkan adalah lahirnya manusia yang benar-benar disiplin dalam politik.<br />
<b><br />JK Panopticon, apa itu?</b><br />
Konsepsi berpikir, bertindak, dan berpolitik yang diperankan sosok JK â sadar atau tidak, mengakui atau tidak, JK telah menawarkan bagi etnisnya, penerusnya, seperangkat cara untuk eksis di dunia politik nasional, khas Bugis-Makassar tentunya. Ini yang saya sebut sebagai âJK panopticonikâ, atau desain pendisiplinan tubuh politik melalui tindak tanduk politik ala JK. <br />
<br />
Serapan sementara yang bisa dipetik, bahwa melanggenggkan eksistensi politisi Bugis-Makassar di pentas-pentas kuasa nasional, telah dipertontonkan dalam kepiawaian JK. Ia seolah menyerap konsep kuasa ala Arung Palakka-Raja Bugis pesohor abad 16, yang selalu pandai berdiplomasi, pandai berdiaspora, dan berani tampil menghunus badik di biduk Phinisi melawan siapa saja yang akan menjajah negeri Bone di zamannya. JK juga seolah menyerap sikap tanpa tedeng aling-aling ala Jenderal M.Jusuf, tampil apa adanya, dan selalu menarik orang-orang terbaik dari etnis apapun ia. Plus, menarik cara berpikir BJ. Habibie sebagai politis â cendekiawan, tapi JK dalam persoalan ekonomi makro dan mikro. Mungkin pembaca bisa meramunya dalam hal yang sederhana lagi.<br />
<br />
Lalu siapa bisa memiliki , setidaknya mendekati âJK Panopticonikâ ini di zoon politicon Bugis-Makassar? Nurdin Halid-kah? Idrus Marham-kah? Jawabannya pasti beragam-setidaknya ada yang menjawab, masih jauhâŠ!!. <br />
<br />
Sahrul Yasin Limpo-kah (SYL)? Nurdin Abdullah-kah? Bisa jadi! Tapi penting untuk bertarung di arena-arena yang lebih menggelobal, jangan sampai ter-cap sebagai jago kandang. Sementara JK sudah mewanti-wanti, jika yang ânaik kelasâ itu, adalah mereka yang punya cara menaklukkan pentas nasional selayaknya menaklukkan kampung halaman. Itu juga panopticonik-nya.<br />
<br />
Banyak pihak menaruh harapan pada pemuda Erwin Aksa, putra pengusaha nasional Aksa Mahmud, juga ponakan JK. Tapi banyak candaan, jika Erwin masih lebih soft ketimbang SYL. Ada pula yang menaruh harapan pada Abraham Samad, mantan ketua KPK, tetapi belakangan meengabur entah ke mana. Sebenarnya Aksa Mahmud-lah, senior politik yang bisa sebagai pembanding politik JK â tapi waktunya se zaman, tak mungkin ada dua matahari dalam satu kubu politik. Apalagi adigium politik Bugis-Makassar seperti permainan sepak raga, bola bisa dilepas ketika hendak terlepas dari badan. Sepertinya masih harus menunggu waktu berbilang periode untuk mencari JK Panopticon itu. Setidaknya di Pilpres nanti, berharap benih terlahir seketika!<br />
-------------------------------<br />
Membasuh muka di Cikini dini hari, 27 September 2016<br />
<br />
<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-89005831644433253062016-09-25T18:45:00.000+07:002016-09-25T22:37:00.105+07:00Siapa Setelah JK?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnNTi_8evM6WDEQRzZxOmAbi0k-xo5lBAQp7o3SK2b60EH00c6R7NDkIz3Q8lbokBpV88d4UtfXBNiAuSVDaHssT53ddd3s42UfQIu0Y7c8DoBbUhi6sM8Mw3gaOY3ZjKg-GuHDdfDMPY/s1600/Jusuf+Kalla.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="210" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnNTi_8evM6WDEQRzZxOmAbi0k-xo5lBAQp7o3SK2b60EH00c6R7NDkIz3Q8lbokBpV88d4UtfXBNiAuSVDaHssT53ddd3s42UfQIu0Y7c8DoBbUhi6sM8Mw3gaOY3ZjKg-GuHDdfDMPY/s320/Jusuf+Kalla.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
TERSERAH, ini mau dilihat sebagai politik rasis atau bukan, yang pasti Sulawesi-Selatan dan umumnya persaudaraan Bugis-Makassar (termasuk Mandar-Toraja dan etnik lainnya di Sulsel) penting âbermuhassabahâ tentang eksistensi ketokohan etnik ini di pentas politik nasional. Setidaknya mencoba memberi jawaban, siapa tokoh Sulsel setelah Jusuf Kalla nantinya? Sebab sadar Pak JK telah menua, sepuh, dan setelah kepemimpinannnya saat ini, (mungkin) ia akan <i>mandeg pandito- </i>meminjam filosofis Jawa.<br />
<br />
Mengapa pertanyaan ini mengemuka? Ini persoalan ontologis eksistensi dalam banyak hal, setidaknya menjawab hal-hal pragmatis tentang porsi pembangunan, gengsi Bugis-Makkassar di pentas politik nasional, hingga persoalan âjatah-jatahâ jabatan struktural di level nasional. Sebab tak bisa dipungkiri, JK di era reformasi ini adalah tokoh yang menjadi simpul dari semua itu.<br />
<br />
Memang terlalu jelimet memaparkan data, jika dari tangan JK-lah pembangunan di Sulsel begitu pesat, ada pembangunan jalur kereta api, pendirian industri ini dan itu, pesatnya kota Makassar sebagai kota metropolitan, terdistribusinya 28 orang pejabat asal Sulsel sebagai Dirjen yang tersebar di kementrian, dan lain sebagainya. Kita hanya meraih-raih ingatan, bahwa tak mungkin semua tergapai jika tidak ada <i>opinion leader</i> di sana, ya Pak JK. Silah didebat! Silahkan beropini jika hadirnya JK dengan segala gerak politiknya punya <i>impact nepotistik.</i><br />
<i><br /></i>
Apapun itu, kesadaran etnik memang perlu dibangun dalam perspektif politik normatif dan positif di tengah politik identitas ke-Indonesia-an yang kerap terwakili oleh kelompok-kelompok mayoritas. Sebaliknya kelompok minoritas hanya bisa âbicaraâ jika memiliki sosok tokoh sentral. Tak hendak bermaksud bahwa etnik China di Indonesia pandai dan berani bicara politik setelah Ahok bertahta di Jakarta, atau Bugis-Makassar hebat setelah ada Jenderal M.Jusuf, Pak Habibie, dan Pak JK? Tetapi ingin mengingatkan, bahwa tak ada <i>leader</i>, maka kolektivitas politik itu akan memudar. Hal ini pernah menjadi sindiran Karl Marx berikut ini;<br />
<i><br /> âDengan demikian kaum proletar mempunyai hak sama, dalam dunia baru yang tengah menhadirkan dirinya, sebagaimana dipunyai Raja Jerman dalam dunia lama ketika dia menyebut rakyat-rakyat-nya sebagai seekor kuda-kuda-nya. Ketika menyebut rakyat sebagai milik pribadinya raja hanya memaklumkan pemilik harta milik pribadi adalah raja.â(Anderson:2002:xviii)</i><br />
<br />
Sindiran Marx ini terkesan jadul di tengah modernisasi yang konon selalu membawa iklim demokratisasi. Sebab banyak orang selalu pandai bicara di panggung depan <i>(front stage) </i>tentang eloknya kesepadanan, kesederajatan, tanpa politik rasis, bahkan masuk ke filosofis kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Namun di panggung belakangnya <i>(back stage) </i>amat bersemangat berbicara tentang kesadaran kekerabatan etnis, diaspora, hingga persoalan saling menarik. Suka atau tidak suka, demikianlah wajah demokratisasi ke-Indonesia-an kita, selalu pandai memainkan irama dramaturgi-nya. Tetapi ini bukanlah kekeliruan, sebab kita sendiri belum jujur berkaitan kolektivisme identitas. Hanya selalu bersepakat dalam kolektivitas kepentingan, dan (selalu) pula membenarkan adigium, bahwa kepentinganlah yang selalu abadi.<br />
<br />
Sebuah tulisan tentang JK dari Tomi Lebang mengingatkan cara membangun diri menjadi seorang tokoh di level nasional.<br />
<br />
<i>JK memang sungguh-sungguh melibatkan dirinya dalam isu Indonesia Bagian Timur -- kini lebih sering disebut sebagai Kawasan Timur Indonesia. Ia sangat peduli dengan percepatan pembangunan Indonesia Timur. Isu KTI yang dibawa JK ia gandengkan dengan dua isu lainnya yang menjadi perhatian utama JK: ekonomi nasional dan pribumi. Ada yang menuduh JK melawan pengusaha keturunan Tionghoa. Padahal, âSoal pribumi bukan melawan (pengusaha) Cina, tapi agar ada keseimbangan,âkata JK.<br /><br />JK mengakui salah satu tujuannya masuk ke politik adalah untuk memperjuangkan Sulawesi Selatan dan KTI yang selama ini banyak tertinggal. Sama sekali bukan karena ingin melindungi bisnis. âBagaimana mau melindungi bisnis, bapak saya kan PPP,â kata JK. Ayahnya, Haji Kalla memang anggota PPP. Pada masa itu, mendukung partai selain Golkar justru bisa âmembahayakanâ bisnis.<br /><br />Selain itu, menurut JK, ia masuk ke dunia politik nasional secara âotomatisâ sebagai kelanjutan dari aktivitasnya selama ini di Sulawesi Selatan. Dari masa mahasiswa, lalu jadi pengusaha, dia selalu memegang aneka jabatan. Maka, menjadi politisi di tingkat nasional adalah kelanjutan saja. âDi Sulawesi Selatan isinya kita-kita saja, tidak ada lawan, jadi harus ke tingkat nasional,âkatanya.</i><br />
<br />
Siapa pengganti JK? Ini pernyataan pokok dan penting bagi manusia Sulawesi Selatan, manusia Bugis-Makassar pada umumnya. Sebab selalu ada kesadaran jika JK adalah tokoh Sulsel yang sukses menggiring daerahnya di era kekinian ke level yang lebih baik, menarik orang-orang se kampungnya ke pusat-pusat kekuasaan, dan selalu mengingatkan bahwa ke tingkat nasional itu seperti ânaik kelasâ. Karenanya setelah kepemimpinan dan ketokohan JK, penting mencari figur sepertinya. Meski sulit menemukan sosok yang persis sama dengannya.<br />
<br />
Lalu siapa? Mari memberi saran dengan segala perspektif kita? Atau kita bersepakat bahwa tak ada lagi tokoh Bugis-Makassar seperti JK, atau menunggu puluhan tahun lamanya?<br />
-----------------------------<br />
Catatan jelang Isya di Cikini, 25 September 2016</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-67199462182825737022016-09-23T05:31:00.002+07:002016-09-23T05:32:38.594+07:00Posisi Paradigma Dalam Praktik Penelitian <div style="text-align: justify;">
<b>PERISTILAHAN</b> Paradigma dalam ilmu pengetahuan sepertinya tidak terlalu menjadi penting keberadaannya oleh sebagian peneliti, sebab secara pragmatis tidak terlalu memberi manfaat dalam menyelesaikan masalah di berbagai riset. Peneliti justru lebih cenderung memfokuskan diri dengan âteoriâ dan âmetodeâ. Ini terjadi karena keduanya lebih bersifat analitik, dibanding posisi Paradigma yang ternilai sebagai hal filosofis belaka, dan (seolah) hanya menjadi kewajiban bagi peneliti strukturalis. Strukturalis yang dimaksud di sini, adalah mereka yang patuh dengan format-format baku penelitian, yang selalu berangkat dari asumsi-asumsi filosofis bagaimana seharusnya penelitian itu di mulai, di proses dan di akhiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Oleh karena itu tidak mengherankan jika format karya ilmiah terkadang berbeda di setiap institusi pendidikan. Ada yang mewajibkan mencantumkan Paradigma, dan ada pula yang tidak. Pun jika dicantumkan posisinya terkadang berbeda satu dengan lainnya, ada yang menempatkannya di bagian âkajian pustakaâ dan ada pula yang menempatkannya di bagian âmetodologiâ. Menariknya, perbedaan ini dianggap bukan sesuatu yang serius, padahal idealnya konsepsi sebuah rangkaian penelitian haruslah baku, seragam, sehingga peneliti tidak mengalami kebingungan di awal aktivitasnya. Wajar jika kerap terdengar ungkapan seperti ini;<i> âSaya bingung dari mana memulai penelitian ini, dan format mana yang harus diikuti?â Di situ letak masalahnya.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i></i><br />
Semestinya peneliti tak lagi dipusingkan dengan format-format administratif, sebab ia telah diasumsikan sebagai sosok ideal yang memahami filosofi dan morfologi sebuah penelitian; paham tentang definisi, makna, dan fungsi dari Paradigma itu sendiri. Sebab kaum terpelajar sebelumnya tak mungkin bersusah-susah melahirkan konsepsi Paradigma itu jika ia tak memiliki fungsi yang teramat penting dan serius. Setidaknya secara sederhana memahami jika Paradigma penelitian adalah identitas penelitian itu sendiri. Bayangkan apa jadinya jika seseorang tidak memiliki identitas? Karena kepentingan-kepentingan seperti itu, maka tidak ada alasan bagi peneliti untuk tidak mencantumkan Paradigma penelitian di setiap format karya ilmiahnya. <br />
<br />
<b>a. Paradigma Sebagai Kepercayaan Dasar</b>Tulisan ini tidak memulainya dengan sederet diksi atau pemilihan kata yang kerap disamakan dengan Paradigma (sebab banyak istilah-istilah lain yang kerap disamakan dengan Paradigma), berharap menemukan kefokusan tentang maknanya, siapa yang melahirkannya, bagaimana fungsinya dalam penelitian, dan bentuk-bentuknya secara umum. Baru setelah memahaminya, kemudian penting mengenal lebih jauh tentang diksi (peristilahan) lain dari Paradigma itu; agar literasi tentang hal ini bisa lebih beragam dan tidak out of the context. </div>
<div style="text-align: justify;">
Paradigma pengetahuan secara sederhana kerap didinisikan sebagai sistem kepercayaan dasar dari pengetahuan, sebagaimana definisi Paradigma yang diungkap Thomas Samuel Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure Of Scientific Revolution (1962) yang menyatakan; paradigm as basic belief system. Kuhn adalah ilmuwan pertama yang secara konseptual mendefinisikan Paradigma ini secara modern, selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli sesudahnya, yang secara umum dewasa ini banyak diartikan sebagai âcara berfikirâ, atau â pendekatan terhadap masalahâ. Secara lengkap definisi Paradigma sebagaimana diungkap Guba sebagai berikut: <br />
<i>âa set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principlesâŠa world view that defines, for its holder, the nature of the âworldââŠ</i> (Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).<br />
<br />
Tulisan ini tak hendak membahas detail sebab-sebab istilah Paradigma itu dimunculkan oleh Thomas S. Kuhn, bagaimana pertentangan berpikirnya dengan Popper dengan konsep âfalsifikasinyaâ yang dianggap memutarbalikkan fakta dengan menguraikan terjadinya ilmu-ilmu empiris melalui jalan hipotesis, dan lain sebagainya, sebab cukup banyak kajian yang lebih konprehensif membahasnya. Sebaliknya tulisan hendak mendudukkan âpenelitiâ khususnya kalangan mahasiswa menyelesaikan tugas-tugas karya ilmiahnya, dengan memahami bahwa Paradigma dalam penelitian sebagai kepentingan akademik yang menunjukkan âdasar kepercayaanâ dari penelitian yang dilakukan. Istilah penulis, paradigma menjadi âagama pengetahuanâ dari seorang peneliti.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas dasar konsepsi definisi sederhana itu, penulis membuat pula pertanyaan sederhana; apakah seorang peneliti ingin dianggap tidak memiliki agama pengetahuan? Bukankah agama itu kepentingannya membuat keteraturan? Pertanyaan ini tidak bermaksud menggiring pikiran masuk ke ruang teologis yang normatif. Tetapi hendak menggiring pikiran jika sebuah karya ilmiah memiliki kepercayaan dasar dimana ia berpijak. Jika âparadigmaâ dalam penelitian dinggap sebagai payung pengetahuan, maka paradigma penelitian menjadi tempat berteduh seorang peneliti dari derasnya hujan atau gerimis âteoriâ pengetahuan yang banyak berseliweran di dunia penelitian, singkatnya; kefokusan, kefokusan, dan kefokusan!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Prolog di atas menggambarkan bahwa Paradigma penelitian tidak sekedar menjadi kewajiban yang penting dituliskan, atau bagian format standar sebuah karya ilmiah, tetapi ia memayungi banyak teori-teori di dalamnya. Sehingga âteoriâ bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dari paradigma, teori bukanlah egoisme pengetahuan yang tidak punya kepercayaan dasar. Maka benar, jika selalu muncul pertanyaan dalam diskusi ilmiah bahwa; âteoriâ haruslah clear dan clean dengan Paradigma pengetahuan yang digunakan. <br />
<br />
<b>b. Apa saja Paradigma itu?</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Setalah mendapat pemahaman standar tentang Paradigma pengetahuan yang digunakan dalam setiap penelitian, maka menjadi penting diterangkan secara sederhana kelompok-kelompok paradigma pengetahuan itu sendiri. Pada tulisan ini tidak secara spesifik menyebutkan siapa saja tokoh-tokohnya, sejak kapan Paradigma ini terbentuk; melainkan menceritakan bagaimana sifat dan kajian dari Paradigma itu sebagai sebuah sistem kepercayaan dalam ilmu pengetahuan, untuk diterapkan pada penelitian. Tetapi tulisan ini tidak mengklaim, bahwa Paradigma itu bersifat statis, melainkan sesuatu yang dinamis, sebab ia terbentuk dari pergerakan masa sesuai dengan kondisi riil dari tiga kelompok pengetahuan itu sendiri; kelompok ilmu alam, ilmu humaniora, dan ilmu sosial.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Merujuk sejumlah literatur seperti; Denzin & Lincoln (2009), Miller (2005), McCharty (2006), Craig & Muller (2007), litlejohn dan Foss (2009), Creswell (2010), maka terdapat sejumlah paradigma pengetahuan yang selalu hadir di setiap masa. Hal ini telah diwanti-wanti sebelumnya oleh Thomas S. Kuhn yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan terkait dengan kerangka konseptual yang digunakan para ilmuwan dalam periode tertentu, dan tidak bisa begitu saja diklaim berlaku pada peiode yang lain. Namun demikian terjadinya peralihan dari suatu paradigma ke paradigma yang lain, mungkin kitika ilmu normal (paradigma) tidak lagi mencukupi sebagai kerangka konseptual dalam menjelaskan realitas (Poespowardojo & Seran, 2015:99).<br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa Paradigma dari literatur-literatur dimaksud di atas, masing-masing; Paradigma Positivisme, Paradigma Post Positivisme, Paradigma Konstruktivisme, Paradigma Kritis, Paradigma Interpretif, dan Paradigma Post-Modern/Post-Struktural, yang secara singkat dan sederhana dijelaskan sebagai berikut;</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<i><b>1. Paradigma Positivisme; </b></i>adalah paradigma pengetahuan yang berpandangan bahwa ilmu alam merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. Melihat sesuatu apa adanya, dan menekankan pada peng-alam-an dan kehendak bebas. Pengalaman, merupakan data inderawi yang bisa dibuktikan, jika bukan data inderawi, maka tidak bisa dibuktikan sebagai fakta. Oleh karena itu hal-hal yang sifatnya spekulatif yang non sensikal. (Poespowardojo & Seran, 2015:55). Karena sifatnya yang sangat objektif, maka penelitian berparadigma positivisme mutlak digunakan oleh peneliti-peneliti dengan pendekatan kuantitatif, yang selalu membuat jarak dengan realitas, terikat kaedah-kaedah numerik dan perhitungan-perhitungan yang selalu terukur dan teruji.<br />
<br />
<i><b>2. Paradigma Post Positivisme; </b></i>adalah paradigma pengetahuan yang berpandangan bahwa realitas memang nyata dan sesuai hukum alam, tetapi di satu sisi bahwa manusia tidak mutlak selalu mendapat kebenaran jika selalu berjarak dan tidak terlibat dengan realitasnya, karena penting peneliti melakukan interaktif. (Popper, 1959). Kalimat kunci dari paradigma ini hakikatnya ingin memperbaiki kelemahan pada paradigma positivisme, sehingga beberapa pendapat menggolongkan paradigma ini sebagai kritik positivisme. Kendati begitu post postivisme cenderung digolongkan sebagai penelitian yang dominan objektif.<br />
<br />
<i><b>3. Paradigma Konstruktivisme;</b></i> adalah paradigma pengetahuan yang berpegang teguh pada pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran objektif merupakan hasil perspektif. Pengetahuan dan kebenaran diciptakan, tidak ditemukan oleh pikiran. Mereka menekankan karakter realitas yang jamak dan lentur. Jamak dalam pengertian bahwa realitas bisa direntangkan dan dibentuk sesuai dengan tindakan-tindakan bertujuan dari pelaku-manusia yang juga memiliki tujuan. Kalimat sederhana memahami konstruktivisme : informasi yang beredar di dunia, dimasukkan peneliti untuk diolah dan diciptakannya, kemudian dikeluarkan sebagai pengetahuan baru.</div>
<div style="text-align: justify;">
Konstruktivisme, berangkat dari pemikiran Teori Konstruktivisme-Immanuel Kant (1724-1804) yang mengatakan pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Pemikiran Kant mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme melalui filsafat kritisisme dengan memberi peran kepada unsur empiris (aposteriori) dari Aristoteles dengan unsur rasio (apriori) dari Plato. (Poespowardojo, 2015:141). Paradigma ini digolongkan dalam penelitian subjektif.<br />
<br />
<i><b>4. Paradigma Kritis;</b></i> adalah paradigma pengetahuan yang di dalamnya âselalu mencurigaiâ adanya kepentingan di balik sesuatu. Hampir semua teori sosial pada paradigma ini mempunyai maksud dan implikassi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Paradigma ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu paradigma untuk mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil. Paradigma ini pada dasarnya meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280). Sama seperti konstruktivisme, paradigma ini digolongkan dalam penelitian subjektif.<br />
<br />
<i><b>5. Paradigma Interpretif;</b></i> adalah paradigma yang memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik atau utuh, kompleks, dinamis, penuh makna dan hubungan gejala interaktif (reciprocal). Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan humanistic scholarship. Jika metode objektif dalam penelitian kualitatif bertujuan membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif) berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti maka para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu. </div>
<div style="text-align: justify;">
Interpretif berarti pemahaman (verstechen) berusaha menjelaskan makna dari suatu tindakan. Karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna tidak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Interpretasi secara harfiah merupakan proses aktif dan inventif. Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna. Creswell (1994) menyatakan paradigma ini cenderung menggabungkan cara pandang konstruktivisme dan pandangan kritis. Oleh karena itu kecenderungan subjektifnya sangat tinggi.<br />
<br />
<i><b>6. Paradigma Postmodern: </b></i>Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. <br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.<br />
<br />
Keseluruhan Paradigma pengetahuan ini, berdasarkan penjelasan di atas dengan alur pergerakannya digambarkan sebagai berikut:</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Gambar 2. Paradigma dalam Penelitian (diolah penulis)</b><br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirTiG9B-eFRogs-Qa71UjEOKS9vKbF_VRFh_GojNSc5jPyAlQPLerr2Czm2JYKAOb5xwz-eLlV1_O1zDUz3L9p7sfKzmk14jt-bfwFX9p-QGLF7nzWicPh2ylZrXxtR_RxqwFFV-DxfOM/s1600/moving+paradigm.gif" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirTiG9B-eFRogs-Qa71UjEOKS9vKbF_VRFh_GojNSc5jPyAlQPLerr2Czm2JYKAOb5xwz-eLlV1_O1zDUz3L9p7sfKzmk14jt-bfwFX9p-QGLF7nzWicPh2ylZrXxtR_RxqwFFV-DxfOM/s1600/moving+paradigm.gif" /></a><br />
<br />
<b>c. Berparadigma dalam Penelitian Ilmu Komunikasi, Kerancuan Nama?</b> </div>
<div style="text-align: justify;">
Banyaknya peristilahan yang mendekati makna dari diksi âParadigmaâ pada penelitian ilmu komunikasi, tampaknya ikut âmengacaukanâ para peneliti dalam menentukan paradigma pengetahuannya. Ia âdipusingkanâ dengan istilah-istilah seperti; pesrpektif, tradisi, cetak biru, pendekatan, mazhab, dan lain sebagainya. <br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
Sunarto (2013) menuliskan beragam perspektif sebagai wacana meta-teori dalam Ilmu komunikasi masing-masing; Aubrey Fisher (1978) menyebut ada empat perspektif teoritis utama dalam kajian komunikasi: (1) mekanistik, (2) psikologi, (3) interaksi, dan (4) pragmatik. John Fiske (1982; 1990) menggunakan terma mahzab (school) untuk menyebut dua perspektifnya: (1) transmisi dan (2) semiotika. Don Stacks, Mark Hickson III, dan Sidney R. Hill (1991) menggunakan terma cetak biru (blueprint) untuk menyebut perspektifnya: (1) sistem, (2) aturan, dan (3) hukum. Stephen W. Littlejohn (1996; 1999) menggunakan terma genre yang meliputi: (1) struktural-fungsional, (2) kognitif-perilaku, (3) interaksi, (4) interpretif, dan (5) kritis. Katherine Miller (2000; 2005) menggunakan istilah pendekatan (approaches) yang meliputi: (1) paskapositivis, (2) interpretif, dan (3) kritis. Robert T. Craig (Craig dan Muller, 2007) menggunakan terma tradisi yang meliputi: (1) retorika, (2) semiotika, (3) fenomenologi, (4) sibernetika, (5) sosio-psikologi, (6) sosio-kultural, dan (7) kritis. Griffin (2000; 2003) menambahkan âetikaâ dalam kelompok tradisi Craig. <br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
Berkaitan dengan itu, agar peneliti-peneliti komunikasi tidak terjebak dengan peletakan paradigma penelitian sebagai sesuatu yang wajib dalam format karya ilmiahnya, maka perlu pemahaman standar tentang bagaimana menghubungkan antara paradigma dan meta-teori ilmu komunikasi tersebut, dan menuliskannya dalam karya ilmiah sebagai landasan filosofis. Penulis sendiri memahami, bahwa paradigma adalah sesuatu yang sifatnya lebih meluas, universal dan mencirikan âkepercayaanâ atau payung besar di mana Ilmu Komunikasi berteduh. Sementara tradisi, perspektif, terma, cetakbiru, dan mazhab adalah sekelompok teori-teori, yang menuntun peneliti untuk memilih sesuai dengan konteks permasalahan penelitian komunikasinya. Digambarkan sebagai berikut:</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbXVwJvyrYUQfL-kpoVhmUUCiK2UwrLE1omQaSk7xQpmFsW8Iy9EUM0GTdpZWl7iZhuy3Fnfr_OXreubD6uW0em4PJeixe_c_Ey_Pdwc_zUxxqNgs_zNL7e-mN8y7xuMy361PcBrgb2xk/s1600/peta+format+penelitian.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a><b>Gambar 3. Peletakan Paradigma dan Metateori <br /> Dalam Penelitian Komunikasi (diolah penulis)</b><br />
<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbXVwJvyrYUQfL-kpoVhmUUCiK2UwrLE1omQaSk7xQpmFsW8Iy9EUM0GTdpZWl7iZhuy3Fnfr_OXreubD6uW0em4PJeixe_c_Ey_Pdwc_zUxxqNgs_zNL7e-mN8y7xuMy361PcBrgb2xk/s1600/peta+format+penelitian.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbXVwJvyrYUQfL-kpoVhmUUCiK2UwrLE1omQaSk7xQpmFsW8Iy9EUM0GTdpZWl7iZhuy3Fnfr_OXreubD6uW0em4PJeixe_c_Ey_Pdwc_zUxxqNgs_zNL7e-mN8y7xuMy361PcBrgb2xk/s1600/peta+format+penelitian.jpg" /></a><br />
<br />
<br />
<b>c. Penutup</b> </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meneliti dalam ilmu komunikasi adalah sesuatu yang menyenangkan, kecermatan menemukan konteks masalah dalam realitas, seibarat menemukan keresahan-keresahan batiniah. Keresahan itu akan terobati dan semakin menenangkan jika memiliki kepercayaan hidup (basic system), seperti itulah âberparadigmaâ, dan semakin tertuntun jika menemukan seperangkat jalan pijakan ke mana ia berjalan - itulah konsep kehidupan, itulah berteori â Nikmatilah proses kehidupan itu, dan berilah nilai dari apa yang di jalani, maka tentu akan menemukan kesimpulan dari kehidupan itu. Tetapi kenikmatan dari semua proses tersebut akan terangkai jika ia berjalan di jalur yang sebenarnya, konsiten dan selalu fokus dengan jalur itu. Sederhana bukan?</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ditulis oleh : Dr. Hamzah, M.I.Kom </b><i>(mohon dicantumkan sebagai literatur jika dikutip)</i><br />
------------------------------------------------------------------------------------------------------------<br />
<b>Literatur - Kepustakaan:</b><br />
Awuy, Tommy F,.Problem Filsafat Modern dan Dekonstruksi, Lembaga Studi Filsafat. Jakarta. 1993 <br />
A.T. Nuyen. Educational Theory, Volume 49 - Number 1. University of Illionis, 1992<br />
Barker, Chris. Cultural Studies. Teori dan Praktek. (Terjemahan Nuhadi) Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta. 2004.<br />
Berger, Peter L dan Luckman, Thomas.The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Terjemahan : Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES. 1990 (1966)<br />
Denzin, Norman & Lincoln, Yvonna. 2009. Handbook Of Qualitative Research (Edisi Bahasa Indonesia). Pustaka Pelajar. Yogyakarta<br />
K.R. Popper, âThe Logic of Scientific Discoveryâ (New York: Basic Books, 1959)<br />
Littlejohn, Stephen.W & Foss, Karen A. 2009. Theory of Human Communication,. (Terjemahan), Pustaka Salemba. Jakarta. 2009<br />
Miller, Khaterina. 2005. Communications theories. Sage publication<br />
Pauline Marie Rosenau, Post-Modernism and the Social Sciences: Insights, Inroads, and Intrusions. ISBN: 9781400820610, 1992<br />
Poespowardojo. T.M. Soerjanto & Seran, Alexander. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis serta Implikasinya. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta, 2015<br />
Sunarto, Berteori dalam Penelitian Komunikasi. Jurnal Interaksi. Vol II No.1. Semarang 2013<br />
Poster, Mark; Baudrillard, Jean. Selected writings. Cambridge, UK: Polity. ISBN 0-7456-0586, 1988<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-34900204325613742112016-09-19T05:42:00.004+07:002016-09-19T05:42:57.553+07:00Suriadin, Polisi Buton yang Punya Semangat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ8gdzX3OWXbWJfoR9H1zgInY8nCnCMQSDdND_xuDcVNMOmp81rZ52rhxRI4fYh4DjJ0jUAWYfvLUR9ajzdSz1c4gNU-l1Q2dNmmkQ1XIJpbb7MGiHhE1Tw-JzgRVo92GIGh5eCIItHI4/s1600/suriadin.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ8gdzX3OWXbWJfoR9H1zgInY8nCnCMQSDdND_xuDcVNMOmp81rZ52rhxRI4fYh4DjJ0jUAWYfvLUR9ajzdSz1c4gNU-l1Q2dNmmkQ1XIJpbb7MGiHhE1Tw-JzgRVo92GIGh5eCIItHI4/s320/suriadin.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
TENTU banyak persepsi yang dilekatkan pada diri seorang polisi, tetapi untuk polisi yang satu ini, saya punya cerita sendiri. Ia baik, punya semangat dan terbilang visioner untuk ukuran daerahnya. Paling tidak, ketika pertama kali mengenalnya di awal tahun 2000-an, saat ia masih berpangkat âdua kuningâ dan tanpa jabatan apapun, La Ode Suriadin begitu nama lengkapnya, kerap berkelakar dengan menyebut dirinya âRaja Butonâ. Peristilahan yang seringkali ia bawa atas kecintaaan pada leluhurnya di negeri Buton, bermula saat ia masih bertugas di Ambon Maluku.<br /><br />Tetapi peristilahan ini tak kunjung memudar, sebaliknya menjadi brand dirinya dimana-mana, bahkan saat ini ketika telah pindah tugas ke kampung halamannya di Buton, ia tak sungkan menyebut nama âRaja Butonâ ini kemana-mana, meski ia sadar ia telah berada di negerinya sendiri, dimana banyak orang ketika bicara soal raja, tentu menjadi sesuatu yang debatable banyak pihak.<br /><br />âItu istilah saya ketika masih pendidikan di Secaba dulu, niat saya sederhana, agar Buton ini dikenal pula sebagai negeri besar di negeri rantau, dan saya selalu bangga atas negeri leluhur saja,â begitu katanya, dan saya pun paham jika âpesanâ seperti ini adalah bentuk diaspora identitas yang ingin dia bangun.<br /><br />Kini, setelah tahunan tak bersua, kemarin (18/7) bertemu di Pelabuhan Murhum Baubau, salahsatu pelabuhan kelas 1 di Indonesia yang disinggahi kapal-kapal raksasa milik PT.PELNI. Suriadin-pun telah menjadi Kapolsek di pelabuhan itu. Pangkatnya menjadi âTiga Balakâ- istilah orang awam, atau Ajun Komisaris Polisi (AKP), di militer lebih populer dengan sebutan Kapten. Pendidikan akademiknya pun cukup lumayan, ia seorang magister hukum,<br /><br />Serta-merta saya memanggilnya âPak Suriadinâ sebagai bentuk penghormatan kepadanya, sementara belasan tahun lamanya aneh jika menyapanya âpakâ, sebab ia selama ini saya cukup menyebutnya Sur â begitupun ia menyapa saya dengan sematan nama kecil. Ancaâ.<br /><br />Kurang lebih setengah jam berbagi cerita sembari mengawasi arus balik penumpang di kawasan itu, Pak Sur terus mengumbar semangat, saling merangkai cita-cita, dan mimpi untuk negeri ini. âJika sudah ada kesempatan, saya pun ingin lanjut pendidikan doktoral, doakan juga saudaraku, semoga yang selalu memberi yang terbaik untuk negeri ini,â katanya.<br /><br />Di benak saya, terlintas jika kelak saatnya nanti polisi muda ini akan melintasi batas pikirannya. Ia akan meraih mimpi yang sebenarnya tak pernah diimpikannya, sebab dia seorang pemuda berkarakter yang selalu bersemangat dan melibatkan diri mengangkat harkat negerinya, seperti ketika ia menjadi salah seorang penginisiasi dan ikut memperjuangkan desanya menjadi kecamatan, dengan nama Kecamatan Talaga Raya, dan tetap bergabung dengan induknya di kabupaten Buton, meski secara geografis lebih dekat dengan Kabupaten Bombana- mekaran kabupaten Buton.<br /><br />Pak Sur, perwira muda polisi itu benar-benar energik. Ia telah menjelma sebagai seorang bapak tak hanya dikeluarganya, anak buahnya, tetapi juga segenap penumpang jasa pelabuhan di kawasan itu. Ia selalu berdiri awas dengan penuh senyuman bagi setiap orang yang bertanya padanya. Tak ada wajah sangar yang ditunjukkan malam itu. Sayapun memandangnya bangga, bangga atas semangatnya, dedikasinya dan pengabdiannya.<br /><br />Bagi saya, ia selalu pantas mendapatkan sesuatu yang lebih dalam karirnya, atas abdi, ketulusan dan semangatnya. Begitupun tulisan sederhana ini, adalah cara saya megucap terima kasih atas seuntai keihlasan yang diberikannya di malam itu. Selamat bertugas kawan, teruslah memberi yang terbaik bagi banyak orang. Sehat selaluâŠ<br />-------------------<br />Makassar, 19 Juli 2016</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-16881658613631855212016-09-13T19:30:00.000+07:002016-09-16T03:37:14.581+07:00Usia 80 Tahun Menuju Doktor. Inspiring!<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_ZGQ2m7n3LNCvFXLI8Ge3I6ZKdBpYdcJERCfwj3_chcCZIWaJ9w4y4Hhhx6R5n_gj0qfd74dMMTEzQzHMKuQTYcpq-T7yYtDKX4ap_3-Iuu2hWQJECrkjexcAY0DMJsGaBKUH5CepB0I/s1600/sulyus.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="203" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_ZGQ2m7n3LNCvFXLI8Ge3I6ZKdBpYdcJERCfwj3_chcCZIWaJ9w4y4Hhhx6R5n_gj0qfd74dMMTEzQzHMKuQTYcpq-T7yYtDKX4ap_3-Iuu2hWQJECrkjexcAY0DMJsGaBKUH5CepB0I/s320/sulyus.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>NAMANYA </b>bapak Sulyus Natoradjo. Ia kawan sekelas di kampus Usahid Jakarta, sekaligus ayah bagi semua kawan-kawan di sana. Usianya yang mendekati 80 tahun tak menyurutkan impiannya menjadi seorang doktor ilmu komunikasi. Usia yang sebenarnya lebih pantas menikmati masa pensiun, bercanda dengan anak cucu, dan duduk membuka lembar ayat-ayat Tuhan mempersiapkan kehidupan akhiratnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
âJika berpikir seperti itu, sama saja saya mempersiapkan kematian saya. Padahal usia bukanlah alat ukur seseorang hidup di dunia ini. Orang bisa mati kapan saja. Hidup itu adalah skenario yang tak terduga, maka harus di isi dengan sesuatu yang bermanfaat. Bagi saya pendidikan itu tidak ada matinya, Anda bisa melakukannya kapan saja Anda mau..â Begitu ungkapan optimisnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Rasanya malu jika menyimak harapan hidup bapak ini, apalagi membandingkannya dengan ke sia-siaan waktu yang selama ini terabaikan. Pak Sulyus dengan semangat dan kesederhanaannya, seolah menitip pesan pada banyak orang, tentang makna âWal Asyrâ (demi masa). Ia diam dalam bahasa, namun berbicara banyak dalam pesan, bahwa kehidupan manusia akan semakin memiliki makna, jika di setiap detik waktu yang dijalaninya selalu menjadi inspirasi bagi orang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
âJika saya di kampus rasanya awet muda. Di rumah malah bisa diomeli istri..hahahaâ candanya. Begitulah Pak Sulyus, lelaki baya 78 tahun ini bukan sembarang lelaki. Hidupnya yang dulu diwarnai dengan aktivitas di dunia perusahaan, memasuki usia pensiun terjun ke kampus menjadi seorang dosen. Ia juga dikenal sebagai penulis even organizing, yang pernah diterbitkan Penerbit Gramedia-Jakarta. Gambatte! Begitu aktif pria baya ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Masihkah ada kebanggan bagi Pak Sulyus, ketika merebut gelar doktor diusianya uyang mendekati 80 tahun nanti? Apakah sama ekspektasi yang kurasakan hari ini ketika jejak-jejak puncak akademik itu diraih nantinya? Apakah semangat Pak Sulyus sama dengan semangat adik Deddy Kurnia, lelaki 26 Tahun yang kini juga mempertaruhkan hidupnya sebagai seorang doktor?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
âBang Hamzah, saya dan Kang Deddy, sama saja. Selalu harus ada kebanggaan yang terselip dari apa yang kita pertaruhkan hari ini. Kebanggaan itu tidak mengenal masa, tidak mengenal ruang dan waktu. ia selalu hadir ketika seseorang sukses menjalani âprosesâ, dan proses itu hadir pada setiap lapis-lapis waktu seseorang yang pandai memberi warna dalam kehidupannyaâ jawabnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Begitulah cara Pak Sulyus berkomunikasi dengan lingkungannya. Ia jarang menyebut seseorang dengan sematan âNakâ, âAdindaâ dan sebagainya. Ia selalu berusaha menarik dirinya ke dalam âmasaâ kawan diskusinya. Pak Sulyus paham, jika efektifitas berkomunikasi itu akan tercapai jika ada kesejajaran antara komunikator dan komunikannya. Benar-benar menginspirasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Lalu apakah gelar âdoktor; yang diperolehnya nanti, sekedar penghias di nisannya kelak? âJangan bicara kematian, itu urusan Sang Pencipta. Bagi saya menempuh pendidikan, adalah cara memaknai hidup, sebab selalu ada kejutan-kejutan yang kita peroleh. Di sana ada cerita, bahwa pendidikan akan membuat hidup Anda lebih bermakna, sepanjang menjalaninya dengan baik dan tidak instant. Pendidikan itu bukanlah kesia-siaan. Ia bagian dari bentuk kesyukuran saya pada Sang Pencipta. Di sana tak hanya gelar duniawi..di sana ada hati yang berbicara, jika kualitas manusia ditentukansejauh mana ia berproses dalam hidupnya.. â</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Terima Kasih Pak SulyusâŠ</i></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-23426334597737324932016-09-13T18:55:00.002+07:002016-09-16T03:35:45.267+07:009 Teori Dampak Media<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmT6ePHQp4tPPkes2Ssl8DyJcICQXIjD8WVkzCCa2u6tM5dsw_sR-Ce-SwE4UhmTXjvUIF-FIah2SeJ-zp4Pkeomay91GJD5oeKgZq1PWrduGZdyHXguIJS9rBBNQA2AVDmw9XyZEkAl8/s1600/dampak+media.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmT6ePHQp4tPPkes2Ssl8DyJcICQXIjD8WVkzCCa2u6tM5dsw_sR-Ce-SwE4UhmTXjvUIF-FIah2SeJ-zp4Pkeomay91GJD5oeKgZq1PWrduGZdyHXguIJS9rBBNQA2AVDmw9XyZEkAl8/s400/dampak+media.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
9 Teori Dampak Media adalah kumpulan teori yang menjelaskan mengenai efek teknologi komunikasi yang berbentuk media memberikan pengaruhnya terhadap perilaku dan cara berpikir manusia di kehidupan sosialnya dari berbagai perspektif. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Media merupakan suatu organisasi terstruktur, yang menjadi agen penyedia Informasi bagi masyarakat. Media memiliki peran penting dalam proses pembentukan masyarakat yang lebih dewasa dan modern. Unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah, seberapa besar media mempengaruhi masyarakat sebagai penyimak tetap mereka. <br />
<br />
Beberapa ahli percaya, bahwa media memberikan pengaruh yang besar bagi para penontonnya. Sebagai contoh, Adorno dan Horkheimer (1972) melihat propaganda yang sangat kuat datang dari media dalam menjelaskan peristiwa berdarah Holocaust dan peristiwa-peristiwa brutal lainnya yang terjadi ketika Perang Dunia Ke-II. Chomsky dan Herman (1988) melihat bahwa media merupakan kurir yang sangat kuat dalam mempromosikan ideologi baru kepada anggota masyarakat yang memiliki tingkat melek media yang rendah, anak-anak misalnya. <br />
<br />
Dalam menjelasan dampak media, ada dua perspektif yang dapat diambil oleh setiap teori yang ada. Pada umumnya, kebanyakan dari teori menjelaskan dampak media dengan menggunakan perspektif dari perubahan perilaku yang dialami oleh individu ketika berinteraksi dengan media. Ada pula teori lain yang menjelaskan, dampak yang diberikan oleh ,media dengan menggunakan persepektif sosial secara luas, dengan cara menganalisis perubahan budaya apa yang terjadi dalam masyarakat akibat informasi yang datang dari media. Berikut teori-teori yang menjelaskan dampak media bagi masyarakat.<br />
<br />
1 Teori Jarum Suntik<br />
2 Teori Arus Bertahap<br />
3 Teori Proses Selektif<br />
4 Teori Pembelajaran Sosial<br />
5 Teori Kultivasi<br />
6 Teori Priming<br />
7 Teori Penetapan Agenda<br />
8 Teori Katharsis<br />
9 Teori Kritis<br />
10 Teori Dampak Media dan Interaksi Manusia dengan Komputer<br />
11 Referensi<br />
<br />
<b>Teori Jarum Suntik</b><br />
Perang antara Amerika Serikat dengan Spanyol pada tahun 1898, merupakan kejadian yang didorong oleh koran yang diterbitkan oleh William Randolph Hearst. Koran tersebut memberitakan tenggelamnya kapal perang Amerika Serikat yang bernama Maine, di Havana Harbor merupakan ulah tentara Spanyol dengan sangat besar dan terkesan berlebihan, sehingga perang pun tidak dapat terhindarkan (Selanjutnya ditemukan bahwa tenggelamnya kapal perang Amerika Serikat tersebut bukanlah karena serangan tentara Spanyol). Dari contoh diatas dapat dilihat begitu kuatnya media dalam mendorong perubahan pikiran manusia, dengan dampak dan proses yang begitu hebat sepeti jarum suntik (hypodermic) maupun peluru yang meluncur dengan kecepatan tinggi. <br />
<br />
Contoh yang lebih jelas lagi ialah pidato yang dilakukan oleh pemimpin Nazi, Adolf Hitler, melalui radio publik, yang akhirnya menjadi faktor vital memulai Holocaust di Perang Dunia Ke II. Teori ini mencoba menjelaskan bagaimana persuasi yang datang dari media memegang peran penting dalam, mengubah cara manusia berpikir, bertindak, maupun berperilaku. [1]<br />
<br />
<b>Teori Arus Bertahap</b><br />
Teori ini beranggapan bahwa efek media terjadi secara tidak langsung dan termediasi melalui opinion leaders. Opinion Leaders ini memiliki pengertian Individu yang gagasannya dan perilaku menjadi model bagi orang lain yang kemudian mengkomunikasikan pesan dan mempengaruhi sikap dan perubahan perilaku para pengikut mereka.Katz dan Lazarsfeld, 1955, menambahkan bahwa sebagaian besar masyarakat menerima informasi yang datang dari media melalui "media secondhand" yakni pengaruh personal dari opinion leaders. <br />
<br />
Opinion leaders ini merupakan individu yang paling kharismatik dan dipercaya didalam komunitas sosialnya. Opinion leaders ini kurang dipengaruhi oleh media massa publik, pengaruh yang mereka terima, dominannya datang dari elit-elit media yang ada. Sebagai contoh, Opinion Leaders yang datang dari dunia politik, akan menggunakan cara kampanye yang berbeda ketika ingin melakukan komunikasi tentang dirinya dengan penyimak yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi (elite audience),dengan menggunakan penggunaan bahasa yang lebih kompleks dan rumit. Sebaliknya, ketika ingin berkomunikasi dengan masyarakat secara umum dengan tingkat pengetahuan yang sedang bahkan rendah, politikus tersebut akan menjadi lebih rendah hati, dengan menggunakan bahasa yang lebih merakyat dan media yang bisa dijangkau oleh masyarakat secara luas. <br />
<br />
<b>Teori Proses Selektif</b><br />
Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat melakukan suatu proses seleksi sehingga masyarakatlah yang secara selektif menentukan, efek apa yang mereka ingin dapatkan dari informasi yang diberikan oleh media. Masyarakat, pada umumnya akan menghindari informasi yang datang dari media, yang secara fundamental kontradiktif dengan nilai-nilai atau ideologi yang selama ini mereka miliki, dan yakin akan kebenarannnya. Sebagai contoh, kelompok masyarakat yang mendukung invasi Amerika Serikat ke Irak, tidak akan membaca artikel mengenai pembentukan kedamaian di Irak, dan penghapusan perang. Pada tahun 1960, Joseph Klapper berpendapat melalui penelitiannya mengenai efek media pascaperang. Klapper menyimpulkan bahwa media merupakan organisasi yang lemah, media gagal dalam menambah partisipasi politik masyarakat (ataupun Partisipasi dalam pemilu).<br />
<br />
<b>Teori Pembelajaran Sosial</b><br />
Teori pembelajaran sosial adalah teori yang memprediksi perilaku dengan melihat cara lain yang dilakukan individu dalam memproses informasi. Teori ini menjelaskan bahwa contoh dari personal tertentu atau media massa dapat menjadi penting dalam usaha memperoleh perilaku yang baru. Individu melakukan proses imitasi atas apa yang mereka lihat dari media. Teori ini sendiri menekankan pengaruh Televisi secara khusus dalam proses imitasi tersebut. Sebagai contoh, ketika suatu acara ditelevisi menampilkan seorang preman yang akhirnya ditangkap polisi, karena melakukan tindakan kriminal, masyarakat yang menontonnya akan berusaha untuk tidak meniru apa yang telah dilakukan oleh preman tersebut. Secara umum, semakin dekat apa yang kita saksikan dilayar televisi dengan karakter diri yang kita percayai, maka semakin dekat pula, kita dengan proses imitasi tersebut. <br />
<br />
<b>Teori Kultivasi</b>Teori kultivasi (Cultivation Theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah âLiving with Television: The Violence profileâ, Journal of Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang âIndikator Budayaâ dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi.<br />
<br />
Teori ini mendeksripsikan bahwa media menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah "realita". Sebagai contoh, anak-anak yang secara konsisten menyaksikan liputan mengenai penculikan anak, akan menganggap bahwa dimana pun Ia berada penculikan tersebut bisa terjadi, sehingga memiliki rasa ketakutan yang berlebihan, dibandingkan anak-anak yang tidak menonton liputan tersebut.<br />
<br />
<b>Teori Priming</b><br />
Priming adalah proses di mana media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005: 271). Selain itu teori ini juga menjelaskan bahwa media mendorong terbentuknya pikiran yang terhubung dengan apa yang ditampilkan dimedia itu sendiri. Sebaga contoh, adanya kecenderungan untuk meniru adengan-adegan kekerasan yang ditampilkan dimedia pada orang lain di dunia nyata. [5]<br />
<br />
<b>Teori Penetapan Agenda</b>Merupakan sebuah proses dimana figur publik dan peristiwa penting apa yang membantu menentukan konten yang akan disampaikan oleh media. Teori ini juga menjelaskan efek proses tersebut bagi masyarakat penyimak media, dimana dijelaskan bahwa semakin besar ketertarikan masyarakat akan suatu isu, maka semakin besar pula coverage yang dilakukan oleh media atas isu tersebut. Bernard Cohen (1963) berpendapat bahwa:<br />
<br />
<i>âPers lebih daripada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan â</i><br />
<br />
<b>Teori Katharsis</b><br />
Teori Katharsis pertama kali diperkenalkan pada kisaran awal tahun 1960 dalam tulisan berjudul "The Stimulating Versus Cathartic Effect of a Vicarious Aggressive Activity" yang dipublikasikan dalam journal of abnormal social psychology. Konsep teori ini berdiri diatas psikoanalisa Sigmund freud, yaitu emosi yang tertahan bias menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan tersebut.Penyaluran emosi yang konstruktif ini disebut dengan katharsis.Pada masa itu, Freud berpikir bahwa pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi suatu efek terapeutik yang menguntungkan (Corsini & Wedding, 1989). <br />
<br />
Penyaluran emosi dan agresi tersebut, terkadang didasari oleh sebuah tragedy atau peristiwa yang pernah menimpa seseorang dimasa lalu dan menimbulkan rasa trauma. Contohnya, Warga Indonesia yang jenuh melihat kondisi kehidupan Indonesia dengan segala warna kecurangan, korupsi serta tindak ketidak adilan yang dilakukan oleh pemrintah dan polisi, merasa senang dan emosi serta agresinya tersebut tersalurkan ketika menonton film India, yang menceritakan tentang kepahlawanan seorang inspektur polisi membasmi koruptor dan polisi jahat. Musik, film, gambar, peristiwa merupakan contoh dari efek katarsis tersebut. Teori ini menjelaskan juga bahwa konten dewasa dan juga kekerasan yang ditampilkan oleh media memberikan efek positif karena memberikan kesempatan bagi individu untuk meninggalkan sifat anti sosial mereka didalam sebuah dunia fantasi. Teori ini populer pada tahun 1930 hingga 1940, sebelum akhirnya masyarakat secara luas percayan bahwa media memiliki tanggung jawab terhadap penyakit-penyakit sosial yang terjadi didalam masyarakat. [6]<br />
<br />
<b>Teori Kritis</b><br />
Teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 1930-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.Teori kritis memungkinkan pembacaan produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Teori ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang manusia alami dan cara manusia mendefinisikan dirinya sendiri, budaya , dan dunia. Teori ini mempertanyakan teori-teori lain yang digunakan dalam menjelaskan dampak yang dihasilkan oleh media. Teori ini sendiri memfokuskan pembahasannya bukan pada efek perilaku yang diterima Individu dari media, namun melihat perubahan budaya dalam ruang lingkup yang luas yang disebabkan oleh media. <br />
<br />
Teori Kritis ini juga memiliki kemampuan dalam mendeksripsikan secara lanjut hubungan antara budaya dengan media itu sendiri. Teori ini percaya, dampak yang dihasilkan oleh media, bukanlah efek yang terjadi secara monoton, namun sebagai sebuah proses timbal balik. [7]<br />
<br />
<b>Teori Dampak Media dan Interaksi Manusia dengan Komputer</b><br />
Interaksi manusia dengan komputer adalah suatu konsep yang menjelaskan mengenai hubungan antara manusia dengan komputer tidak hanya dalam lingkup yang sempit namun juga dalam jangkauan yang lebih universal. Konsep ini menjelaskan mengenai proses, dialog, dan kegiatan dimana melaluinya pengguna memanfaatkan dan berinteraksi dengan komputer. Interaksi manusia dengan media dapat dikategorikan dalam konsep ini. Manusia yang tidak bisa lepas dari informasi selalu memanfaatkan teknologi komunikasi yang berbasis teknologi komputer dalam kehidupannya. Ketika interaksi tersebut terjadi, maka terjadi pula dampak-dampak yang dihasilkan oleh media dari berbagai perspektif yang ada. Interksi manusia dengan komputer ini merupakan perantara terhadap terjadinya implikasi perubahan perilaku dan sikap manusia dalam proses komunikasi.[8]<br />
<br />
<b>REFERENSI</b><br />
Nuruddin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.</div>
<div style="text-align: justify;">
Straubhaar, Joseph, LaRose, Robert, & Davenport, Lucinda (2010). Media Now: Understanding Media, Culture and Technology, 6th edition. Belmont, CA: Wadsworth (JS).<br />
J. Severin, Werner. W. Tankard, James Jr. 2009. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan didalam Media Massa. Jakarta:Prenada Media Group. TM<br />
^ http://www.eyewitnesstohistory.com/spanishwar.html. Diakses pada 7 April 2012<br />
^ http://www.answers.com/topic/opinion-leader. Diakses pada 7 April 2012<br />
^ http://komunikasi-indonesia.org/2010/12/teori-pembelajaran-sosial/. Ditulis dengan sumber: Dan Lattimore, Otis Baskin, Suzette T.Heiman, Elizabeth L.Toth.2010. Public Relations Profesi dan Praktik,Hal. 58-59. Salemba Humanika. Diakses pada 8 April 2012<br />
^ http://nurudin.staff.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_91.pdf. Diakses pada 8 April 2012<br />
^ http://ekawenats.blogspot.com/2006/12/priming-framing-agenda-setting.html. Ditulis oleh, AG. Eka Wenats Wuryanta, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina, Jakarta,Indonesia. Diakses pada 8 April 2012<br />
^ http://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/2879/2562. Diakses pada 8 April 2012.<br />
^ Kearney,Richard.1994.Routledge History of Philosophy: Continental Philosophy in The 20th Century. Routledge. Halaman 210<br />
^ http://eprints.undip.ac.id/22738/1/Pert4_KonsepIMK.pdf Diakses pada 8 April 2012<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-4618547537141896692016-09-12T14:39:00.001+07:002016-09-16T03:36:03.997+07:00Bupati âSombayyaâ Ri Gowaâ, Melebur Demokratik dan Autoritarian<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA5xDX_HM3_JfqjLItxet-Cd4ZbYIY654UKJECU0m9fH5d3GGqzOnZDknm5jyz-yaHb4798eJZs-av762Rl6_LzeVyWvKpnvYaZcclNhD7Z2_4Wu1LEIEUJSHbxtPcovJ3qatFsVxmMlk/s1600/adnan-foto+tribun.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="223" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA5xDX_HM3_JfqjLItxet-Cd4ZbYIY654UKJECU0m9fH5d3GGqzOnZDknm5jyz-yaHb4798eJZs-av762Rl6_LzeVyWvKpnvYaZcclNhD7Z2_4Wu1LEIEUJSHbxtPcovJ3qatFsVxmMlk/s400/adnan-foto+tribun.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
âKalau menjadi <i>Sombayya</i>, mau <i>mabusung</i>?â, begitu kata Raja Gowa versi Andi Maddusila menyikapi penaubatan Bupati Gowa Adnan Purichta IYL sebagai âSombayya ri Gowaâ pada 8 seprtember 2016 baru-baru ini di pelataran museum Istana Ballalompoa-warisan Kerajaan Gowa masa lalu.<br />
<br />
Peristilahan âSombayya ri Gowaâ memiliki makna dalam bahasa Indonesia sebagai âYang Disembah di Gowaâ. Sebuah istilah yang selalu tersemat dalam raja-raja Gowa secara turun temurun, disakralkan dan setiap pelantikan raja Gowa selalu mengundang kerajaan-kerajaan tetangga di zamannya. Karenanya, pelanggaran terhadap kesakralan ini akan bertuah âmabusungâ yang berarti âterlaknatâ. Artinya bupati muda kelahiran 1986 ini seolah diinterpretasikan sebagai seorang yang terlaknat. <br />
<br />
Diksi âterlaknatâ pada konten ini adalah bentuk kajian yang jauh dari perspektif positivisme, dan hanya bisa didekati dengan metode teologis. Sebagaimana penjelasan âhukum tiga tahapâ dari Auguste Comte, filsuf Prancis kelahiran 1798. Comte mengatakan ide besar teologis bertumpu pada kepercayaan supranatural serta figur religius berwujud manusia, dan lembaga ketuhanan yang menjadi pusat segalanya. (Arisandi, 2015:31).<br />
<br />
Memang, kita tidak sedang mempersoalkan apakah Bupati Adnan akan terlaknat oleh leluhur raja-raja kerajaan Gowa atau tidak, karena sematan gelar âsombayyaâ atau âyang disembahâ. Tetapi kita sedang berada dalam tontonan kekuasaan dengan jalur berpikir berbeda, bahwa posisi Adnan sebagai kepala daerah yang terpilih melalui medium demokratis, secara tidak sadar meleburkan dirinya pada konsep-konsep kuasa autoritarian â yang memfilosofi penguasa itu sebagai pusat kebenaran â penguasa wakil dari tuhan.<br />
<br />
Memang bupati Adnan tidak eksplisit menyebut dirinya seorang Raja Gowa, tetapi pengukuhannya sebagai âsombayyaâ oleh Lembaga Adat Daerah (LAD) Gowa yang dilakukan oleh Ketua DPRD setempat, dan kemudian mengukuhkan seluruh camat di wilayahnya sebagai ketua LAD masing masing wilayah, adalah simbolisasi pengintegrasian kekuasaan adat formal ke dalam kekuasaan pemerintahan pada satu genggaman kuasa, kuasa seorang kepala daerah. <br />
<br />
Hal Ini yang menjadi tidak lazim dalam sejarah peradaban kekuasaan raja-raja di Nusantara, sebab raja-raja umumnya turun temurun dan outoritarian. Pun jika ada konflik, juga berasal dari kalangan mereka, sebagaimana konflik âRaja Gowaâ antara Andi Kumala Ijo dan Andi Maddussila, dua sanak saudara yang saling klaim sebagai Raja Gowa ke-37. Demikian pula konflik di Keraton Solo beberapa tahun silam, adalah contoh konflik eksistensi diri yang dapat dipandang sebagai âpertaruhanâ komunikasi politik antara âdunia penguasa kerajaanâ masa lalu dengan realitas sosial kekininan. Di sini peran pemerintah sebagai fasilitator dibutuhkan, bukan mencebur diri masuk ke dalam kubangan masa lalu itu. Sebab esensi ber-Indonesia sejak menjadi republik salah satunya terbentuk dari kesadaran masing-masing raja-raja untuk ber-Indonesia, bukan sebaliknya. <br />
<br />
Jika menjadi alasan Bupati Adnan menjadi âSombayya ri Gowaâ ini adalah merapikan lembaga adat, memelihara peninggalan kerajaan, memelihara adat budaya, atau menengahi konflik yang tak berkesudahan (baca : pembelaan Bupati Gowa: ada yang sesatkan arti pengukuhan saya di LAD â TribunGowa.com, 12 september), maka alasan-alasan tersebut cenderung kurang bijak jika melihat posisi Adnan sebagai seorang kepala daerah, yang menjadi âcentrum solutionâ di wilayahnya. <br />
<br />
Jika diteropong lebih jauh, maka ânekat-nyaâ Bupati Adnan menjadi âSombayyaâ dan menugaskan camat sebagai ketua LAD di masing-masing kecamatan, menyembunyikan ideologi kuasa yang lebih jauh dan dalam. Bisa jadi, Adnan ingin masyarakat Gowa selalu bersatu kuat dalam otorisasi pemerintahannya, sehingga sewaktu-waktu kekuatan itu dapat dimanfaatkan saat waktunya dibutuhkan. Bisa di arena politik atau di arena lainnya. Memang tak haram, tetapi tak lazim. Pun jika dilazimkan, maka konsep âmabusungâselalu hadir dalam pikiran massa.<br />
<br />
Jika alasan lain yang digunakan, bahwa dulu ketika Kerajaan Gowa melebur ke RI, maka kepemimpinan Giwa diserahkan ke Bupati, pada hakekatnya juga bukan pendapat yang keliru. Namun yang penting dipertimbangkan bahwa mengusung konsep âSombayya ri Gowaâ tentu tidak dapat disepadankan dengan konsep âkepala daerahâ di masa kekinian. Sombayya meneguhkan makna hermenutik yang menggiring ingatan bahwa kekuasaan Sombayya ri Gowa masa lalu, dimana kekuasaan meliputi wilayah-wilayah Gowa dan wilayah ekspansinya. <br />
<br />
Pada perspektif Ilmu komunikasi, terlihat jelas jika konteks khalayak antara penguasa seorang âbupati; dan penguasa seorang âsombayyaâ, menjadi sesuatu yang berbeda. Oleh karena itu penaubatan Adnan Purichta sebagai seorang komunikator politik gagal paham dalam menempatkan etos, phatos dan logos-nya. Maka tak heran pesan-pesannya pun selalu bias dan menuai pro-kontra, sebab ia menggunakan dua medium yang jelas berbeda konteks pada satu waktu bersamaan; medium bupati dan medium sombayya.<br />
<br />
Apapun itu, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan tindakan Bupati Adnan, sebab regulasi sebagai seorang kepala daerah cukup luas untuk terlibat di arena seperti itu. Boleh jadi Adna Purichta, setali tiga uang dengan pikiran semua kepala daerah di Indonesia, otonomi di gemgaman, apapun bisa dilakukan sepanjang secara struktural semua tunduk pada pucuk pimpinan. <br />
<br />
Lalu ke mana pewaris Kerajaan Gowa mengadu, jika kekuasaannya telah direbut penguasa formalnya? Refleksi atas tindakan selama ini adalah jawabannya; sama pula dengan Bupati Adnan Purichta, saatnya membasuh muka agar ia bisa melihat utuh, jika kedua tangannya menggemgam dua kuasa, formal dan informal. Berpikirlah!<br />
------------------<br />
Jakarta, 12 September 2016</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-79920922446396438612016-09-12T11:05:00.001+07:002016-09-16T03:36:15.021+07:00Sekilas Komunikasi Interpersonal<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidki-dL4qDbD15A0TloqTypP8ZzvFpv0xSFF_s3ZqMTcAcESeze2-QqRhVG6k1JvwuF0BabN_t0MuZfyHtT564FbPBYeQuOWFw_ZoRKKvI9KG_qeSazUhhUS88qWb53rxxB9U9yujTFe0/s1600/interpersonal.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidki-dL4qDbD15A0TloqTypP8ZzvFpv0xSFF_s3ZqMTcAcESeze2-QqRhVG6k1JvwuF0BabN_t0MuZfyHtT564FbPBYeQuOWFw_ZoRKKvI9KG_qeSazUhhUS88qWb53rxxB9U9yujTFe0/s320/interpersonal.jpeg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi intrapersonal ( proses pengolahan informasi ) meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Persepsi yaitu proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru atau dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respon.<br />
<br />
<b>Sensasi</b><br />
Tahap paling awal dalam penerimaan informasi ialah sensasi. Sensasi berasal dari kata sense yang artinya alat pengindraan yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbol, konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.<br />
<br />
Apapun devenisi sensasi, fungsi alat indera dalam menerima informasi dari lingkungan yang sangat penting. Melalui alat indera, manusia dapat memahami kualits fisik lingkungannya. Lebih dari itu, melalui alat inderalah manusia memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunianya.<br />
<br />
Mungkin benar anggapan filosof John Locke bahwa tidak ada apa-apa dalam jiwa manusia kecuali harus lebih dulu lewat alat indera. Begitupun dengan anggapan filosof Berkeley, bahwa andaikan manusia tidak mempunyai alat indera maka dunia ini tidak akan ada. Kita tidak akan tahu ada harum rambut yang baru disemprot dengan hairspray bila tidak ada indera pencium.sentuhan lembut tidak akan disadari jika indera peraba sudah mati. Kita tidak mendengar ada yang mebisikkan ucapan kasih jika indera pendengaran tidak ada. Kita mengenal lima alat indera atau pancaindera. <br />
<br />
Psikologi menyebut sembilan alat indera yaitu penglihatan, pendengaran, kinestesis, vestibular, perabaan, temperatur, rasa sakit, perasa, dan penciuman. Kita dapat mengelompokkannya pada tiga macam indera penerima sesuai dengan sumber informasi. Sumber informasi boleh berasal dari dunia luar atau dari dalam diri individu sendiri. Informasi dari luar diindera oleh eksteroseptor misalnya telinga atau mata. Informasi dari dalam diindera oleh interoseptor misalnya sistem peredaran darah. Selain itu, gerakan tubuh kita sendiri diindera oleh proprioseptor misalnya organ vestibular.<br />
<br />
Apa saja yang menyentuh alat indera baik dari dalam atau dari luar, disebut stimuli. Jika saat ini anda sedang membaca (stimuli eksternal), padahal pada pikiran anda sedang diganggu oleh perjanjian utang yang jatuh tempo hari ini (stimuli internal), anda serentak menerima dua macam stimuli. Alat penerima anda segera mengubah stimuli ini menjadi energi saraf untuk disampaikan ke otak melalui proses transduksi. Agar dapat diterima oleh alat indera anda, stimuli harus cukup kuat. Bata minimal intensitas stimuli disebut ambang mutlak ( Absolute threshold). Mata misalnya, hanya dapat menangkap stimuli yang mempunyai panjang gelombang cahaya antar 380 sampai 780 manometer.<br />
<br />
Sampai di sini, kita hanya membahas faktor situasional yang mempengaruhi sensasi. Ketajaman sensasi juga ditentukan oleh faktor-faktor personal.<br />
<br />
<b>Persepsi</b><br />
Jika anda sekarang sedang membaca sebuah novel, letakkan novel tersebut dalam keadaan terbuka dengan jarak kira-kira 50 cm di hadapan anda. Anda melihat huruf-huruf yang kabur. Perlahan-lahan anda dekatkan jarak buku tersebut ke hadapan anda. Sekarang huruf-hurufnya sudah tampak jelas. Inilah sensasi. Ketika anda melihat huruf lalu merangkaikannya dalam kalimat dan mulai menangkap arti sari apa yang anda baca, terjadilah persepsi.<br />
<br />
Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Namun demikian, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektasi. motivasi, dan memori. Persepsi, seperti juga sensasi yaitu ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional.<br />
<br />
<b>Perhatian</b><br />
Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indera kita, dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Faktor Eksternal Penarik Perhatian</b><br />
Apa yang kita perhatikan ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Gerakan. </b>Seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang bergerak. Kita senang melihat huruf-huruf dalam display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan. Pada tempat yang dipenuhi oleh benda-benda mati, kita akan tertarik hanya kepada tikus kecil yang bergerak.<br />
<br />
<b>Intensitas Stimuli. </b>Kita akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. Warna merah pada latar belakang putih, tubuh jangkung di tangah-tengah orang pendek, suara keras di malam sepi, sukar lolos dari perhatian kita.<br />
<br />
<b>Kebaruan. </b>Hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda, akan menarik perhatian. Beberapa eksprimen juga membuktikan stimuli yang luar biasa lebih mudah dipelajari atau diingat. Karena alasan inilah maka orang mengejar novel yang baru terbit, film yang baru beredar, atau kendaraan yang memiliki rancangan mutakhir. Pemasang iklan sering memanipulasikan unsur kebaruan ini dengan menonjolkan yang luar biasa dari barang atau jasa yang ditawarkannya. Media massa juga tidak henti-hentinya menyajikan program-program beru. Tanpa hal-hal yang baru,stimuli menjadi monoton, membosankan, dan lepas dari perhatian.<br />
<br />
<b>Perulangan. </b>Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian. Perulangan juga mengandung unsur segesti yaitu mempengaruhi bawah sadar kita. Bukan hanya pemasang iklan yang mempopulerkan produk dengan mengulang-ulang. Kaum politisi juga memanfaatkan prinsip pengulangan.Tokoh aliran publisistik Emil Dofivat bahkan menyebut pengulangan sebagai satu diantara tiga prinsip penting dalam melakukan massa.<br />
<br />
<b>Faktor Internal Penaruh Perhatian</b><br />
Suatu ketika di Goettingen berkumpul para psikolog dan ilmuwan lainnya. Ditengah-tengah persidangan, tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pria berpakaian pelawak masuk ruangan. Disusul kemudian orang kulit hitam yang memakai jas warna hitam, dasi merah, dan celana putih. Kedua orang itu bertengkar dan berkelahi di hadapan peserta konferensi. Terdengar tembakan lalu keduanya melarikan diri lewat pintu yang terbuka. Kejadian ini sudah direncanakan, diatur, dan difoto secara diam-diam. Setelah itu pimpinan sidang memohon para ilmuan untuk menuliskan laporan lengkap apa yang mereka dengar dan lihat, unutk digunakan buat kepentingan penyidikan polisi. Empat puluh ilmuwan menuliskan laporan kesaksian itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak seorangpun yang menyajikan laporan yang lengkap.Hanya enam orang yang tidak salah dalam menyebutkan fakta. Dua belas diantaranya menuliskan laporan yang tidak menyebutkan 50 persen fakta yang terjadi. Peristiwa ini bukan saja menunjukkan betapa lemahnya alat indera kita, tetapi juga menunjukkan perhatian yang tidak selektif (selctive attention). Apa yang menjadi perhatian kita lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Ada kecenderungan kita melihat apa yang ingin kita lihat dan kita mendengar apa yang ingin kita dengar. Perbedaan perhatian ini timbul dari faktor-faktor internal dalam diri kita. Inilah beberapa contoh faktor yang mempengaruhi perhatian kita :<br />
<br />
<b>Faktor-faktor Biologis. </b>Dalam keadaan lapar, seluruh pikiran didominasi oleh makanan. Karena itu, bagi orang yang lapar yang paling menarik perhatiaanya adalah makanan. yang kenyang akan menaruh perhatiannya pada hal-hal lain.<br />
<br />
<b>Faktor-faktor Sosiopsikologis. </b>Berikan sebuah foto yang menggambarkan kerumunan orang banyak di sebuah jalan sempit. Tanyakan apa yang mereka lihat. Setiap orang akan melaporkan berbeda. Tetapi seorangpun tidak akan dapat melaporkan berapa orang yang terdapat pada gambar itu. Kecuali kalau sebelum melihat foto itu mereka memperoleh pertanyaan itu. Bila kita ditugaskan untuk meneliti berapa orang pelajar berada di kelas, kita tidak akan dapat menjawab berapa orang diantara mereka yang berbaju marah. Motif sosiogenis, sikap, kebiasaan, dan kemampuan akan mempengaruhi apa yang kita perhatikan. (**)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-415165920263976168.post-85193451747058666782016-09-10T23:26:00.001+07:002016-09-13T15:26:08.054+07:00Sallo Inji Kamase, Telusur Jejak Pilgub Sulsel<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaXBMixySfXBT_ORssTzc6jdnk0LtakErsIXGWQnQJ9jvdpWFv80tLI0yai2c7gjJ82fW0GoTjtEECQa62sT88ok7KAqlWCntcx0pvWHp80wQaM7i_-YDrGKvzr4NkaWEDVZSODpQjYpU/s1600/kacaping.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="160" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaXBMixySfXBT_ORssTzc6jdnk0LtakErsIXGWQnQJ9jvdpWFv80tLI0yai2c7gjJ82fW0GoTjtEECQa62sT88ok7KAqlWCntcx0pvWHp80wQaM7i_-YDrGKvzr4NkaWEDVZSODpQjYpU/s320/kacaping.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
PASTINYA ini bukan sesuatu yang prematur membahas pilkada gubernur Sulsel yang masih berbilang tahun. Apalagi menohok kepemimpinan Sahrul Yasil Limpo (SYL) yang baru berakhir di tahun 2018. Ini hanya sekelumit rasa yang seolah berjalan di titian, hati-hati dan cemas terpeleset. Sebab memetakan suksesi kepemimpinan di Sulsel rada berbeda dengan pilgub lainnya di Indonesia, setidaknya ketika membahas siapa-siapa kandidatnya, politik identitasnya, pula siapa saja yang menjadi juragan dalam politik ijon yang kerap hadir di even-even politik seperti ini.<br />
<br />
Sulsel seolah mentasbihkan dirinya sebagai sesuatu yang beda (politiknya) dengan daerah lainnya di Indonesia. Beda dengan Jakarta yang sudah memanas, saling intip, dan media massa (dominan televisi) seolah menjadi pengatur suhu. Mau hangat, dingin hingga panas sekalipun, media seolah pemegang remot kontrolnya. Plus keramaian penggiat media sosial dalam merespon babak-babak politik itu. Bisa pula karena Jakarta berpesta politik di 2017 sementara Sulsel setahun kemudian.<br />
<br />
Bicara media massa konvensional dalam kapasitas seperti itu, seolah hal biasa di reformasi ini. Jangan berharap independensi di sana, sebab secara praktikal memang media menggeser dirinya dari posisi âwatch dogâ menjadi âcar dogâ. Dari pemantau kekuasaan, menjadi pemain di kekuasaan. Di sini tafsir teori dari Shumacher and Rase (1997) seolah menemukan kebenarannya. Ia menjelaskan jika media (massa) tak lagi independen, sebab ia bergantung pada ideologi pemiliknya. Tak heran, mengapa media berbeda framing dalam meneropong tubuh-tubuh berita politik dan juga elitenya.<br />
<br />
Kembali ke soal pilgub Sulsel, cukup banyak pembeda dengan ibukota negara itu. Sulsel pun menerima keragaman meski belum ada etnis Cina yang menyatakan diri akan tampil di gelanggang ini, seperti Ahok di Jakarta. Sebab Sulsel dominan masih dibekap politik identitas antara etnis Bugis dan etnis Makassar. Tetapi soal ini bukan karena minim belaian ilmu berdemokrasi, sebab telah ada tokoh etnis lain di Indonesia yang berperan di pusaran politik daerah ini. Sebut saja Walikota Makassar, Dani Pomanto yang dikenal berdarah Gorontalo, dan ketua Bawaslu Sulsel- L Arumahi yang berasal dari kepulauan Buton. Keduanya bisa disebut sebagai pembaca cerdas bekapan politik identitas di Sulsel.<br />
<br />
Lainnya, yang cukup terasa adalah minimnya tokoh yang cukup familiar di telinga publik nasional untuk masuk ke arena Pilgub ini. Ada beberapa yang muncul seperti Nurdin Abdullah (Bupati Banteng), Rusli (Bupati Sidrap), Irjen Burhanuddin Andi (Polri), tetapi hitung-hitungan kasar baru Nurdin Abdullah yang sering dicorongkan media nasional. Lainnya masih berseliweran pada konteks lokal di Sulsel. Ini pula karena mereka yang berlabel âpetarung-petarung lamaâ seperti Abdul Azis Qahar Mudzakkar (DPD-RI) belum berbunyi, halnya dengan Ilham Arif Sirajuddin (IAS-mantan walikota Makassar) yang masih tersandera persoalan hukum.<br />
<br />
Tokoh lainnya saya masih rabun, sebab baru sepekan ini mengamati hiruk pikuk Kota Makassar sebagai sentral poin politik daerah ini. Menunggu nama mantan ketua KPK-Abraham Samad juga terasa kelamaan, demikian halnya dengan trah Yasin Limpo; pun belum berbunyi nyaring, Husain Abdullah-Jubris Wapres JK pun begitu dan beberapa nama lain yang sempat melintas media masih terkesan menyimpan energi. Paling tidak ada ungkapan, âSallo inji kamase- masih lama, masih dua tahunâ. Bahkan tokoh-tokoh nasional Bugis-Makassar di Jakarta sekelas Wapres Jusuf Kalla amat minim bertutur tabir politik Sulsel di masa depan. Mungkin karena beliau telah menjadi salah satu guru bangsa di negeri ini. Dari unsur akademisi pun, setali tiga uang.<br />
<br />
Fenomena itu memunculkan sekelumit pertanyaan; apakah politik Sulsel mengalami degradasi wacana politik karena kejenuhan? Ataukah Sulsel punya bingkai tersendiri menemukan figur pemimpinnya sebagaimana konsep panoptikonik-Jeremy Bentham yang banyak dibicarakan Foucault? Entahlah, paling tidak pertanyaan ini hanya ingin melepas paradigma pikir yang mengklaim jika politik kepemimpinan di Sulsel, berfilosofi permainan âsepak ragaâ. Bola baru diberikan kepada yang lain, jika bola sudah terjatuh. Semoga tidak!<br />
------------------------------------------<br />
Sungguminasa Gowa, 19 Juli 2016</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/16811752361063571372noreply@blogger.com