Jangan Panik
Begitulah yang dilakukan rekan almarhum, ia berusaha menghubungi tetangga kontrakan, termasuk mengecek keberadaan komunitas orang-orang Buton di ibukota. Sayang yang muncul hanya sekelompok mahasiswa, yang kemudian mahasiswa inilah yang bergerak menghubungi keluarga besar almarhum, termasuk mempersiapkan pengiriman jenazah ke kampung. Bagi Saya, ini pelajaran berharga ditengah individualis warga Jakarta, sebab mahasiswa yang setiap harinya hanya makan mie instan, uang saku yang terbatas, ternyata bisa mengambil satu keputusan tepat, tanpa perlu rasa panik berlebihan, meski paham, bahwa wafat di Jakarta tentu butuh biaya yang selangit. Merekalah yang kemudian menjadi perencana, pemrogram, dan pengeksekusi, mau diapakan jenazah itu.
Antar ke Rumah Duka
Memang agak sulit mengambil keputusan yang satu ini, sebab bila seseorang meningga dunia bukan di rumah sakit (RS), umumnya RS di Jakarta enggan menerima jenazah, apalagi untuk memperoleh keterangan administrasi terkait dengan sang jenazah. Inilah yang dialami kawan-kawan tak kala menghubungi RS umum terdekat. Untung saja Rumah Duka RS. Sint Corolus Salemba mau menerimanya, tanpa embel-embel.
Awalnya, kami ragu, apakah jenazah bisa terawat sesuai dengan agama yang di anut almarhum (Islam), maklum RS. Sint Corolus Salemba, adalah RS berbasis Katolik yang tentunya pernak-pernik agama tersebut bertebaran di mana-mana. Disinilah mata terbuka, demi bahwa alasan kemanusiaan, agama tentulah bukan sesuatu pembeda, sebab begitu jenazah diterima di rumah duka, manajemen St. Corulus langsung menanyakan riwayat almarhum. Begitu tahu almarhum seorang Muslim, maka saat itu managemen, langsung menghubungi sejumlah kaum muslim terdekat, untuk merawat jenazah sesuai tata cara muslim. Bahkan lebih dari itu, pihak rumah duka menawarkan ‘paket pengiriman’ jenazah hingga ke kampung halamannya via pesawat.
Berani Ambil Keputusan
Memang harga yang diajukan pihak rumah duka bagi kantong mahasiswa harganya selangit, sekitar Rp 20 juta, tapi karena putra almarhum, sudah tiba di Jakarta, maka keputusan itu harus diambil. Harga tersebut, sudah termasuk biaya perawatan jenazah selama di rumah duka, pengantaran jenazah ke cargo Bandara dengan ambulans, hingga biaya paket pengiriman jenazah Jakarta-Kendari via pesawat Garuda plus harga tiket putra almarhum. Memang bila dipikir-pikir, ini sudah harga yang sepadan, mengigat pelayanan yang diterima
Lalu Bagaimana jika dana tak cukup?
Ini memang pertanyaan klasik, ketika berbicara tentang jarak, berbicara tentang biaya perawatan dll. Tapi disinilah kerifan kita memandang sesuatu dan bagaimana mengambil sebuah keputusan. Jujur, ketika diputuskan besar biaya tersebut, tak ada pilihan lain kecuali bisa menerimanya. Berhutang adalah langkah terbaik, apalagi pihak Rumah Duka, tidak mempersoalkan hal ini, yang penting jenazah bisa sampai ke kampung halamannya.
Kami dan putra almarhum serta sejumlah rekan-rekan mahasiswa sejak masuk rumah duka, sudah memikirkan hal ini, berusaha menghubungi siapa saja pihak yang terketuk hatinya, untuk meringankan semua biaya yang timbul. Alhamdulillah, dana ’patungan’ yang terkumpul termasuk dari pihak keluarga bisa menutupi setengah total biaya yang dibutuhkan. Maklum malam makin larut, sehingga ada saja keterbatasan, apalagi jenazah harus diantar ke cargo Bandara pukul 01.00 WIB dinihari.
Perencanaan Waktu
Setelah menyepakati semua perjanjian di rumah duka, jenazah diantar ke bandara via ambulans rumah duka, pukul 01.00 WIB. Sebab jadwal penerbangan pada pukul 06.00 WIB. Memang perencanaan waktu juga menjadi sesuatu yang harus dipikirkan secara matang, sebab mengurus cargo jenazah di bandara butuh waktu sekitar 2-3 jam. Tak usah ragu, disini jenazah juga diperlakukan sesuai dengan agama yang di anut.
Inilah sebuah catatan ringan dan pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa hidup memang perlu saling membantu, tanpa mengenal perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Memang rekan-rekan tak bisa mengantarkan jenazah langsung ke kampung halamannya, sebab putra almarhum sudah ada bersama beliau. Seraya menunggu waktu pemberangkatan, kami masih bisa tertidur sejam di terminal bandara, beberapa rekan kami masih bisa Yasinan dengan mata kantuk. Tentu rasa sedih dan belasungkawa buat almarhum dan keluarganya, tapi rekan-rekan masih bisa tersenyum dari sebuah pelajaran kemanusiaan, yang diperoleh hari ini. Semoga bermanfaat!
Catatan dari Sint Corolus ke Airport Sukarno Hatta, 26 Juni 2011
Baca Indonesia bermartabat disini
3 komentar
Itulah sekelumit romatika ber-Jakarta. Di tengah kompleksitas jakarta,sepatutnya la berpandai2 menyiasati keadaan..
Salut ma postingnya.. The important one is don't loose control...
Salam Hormat utk Kanda...
nice info
:)
Sikap terpuji dan menjadi inspirasi, bagaimana seharusnya yang merupakan bagian dari hidup ini untuk peduli dengan orang lain. God Bless.