Asaldin Gea |
Saya kadang tersenyum kecil ketika rekan-rekan memanggilku ‘Pak Sekjen’. Bukan tidak suka, juga bukan membanggakan diri. Namun posisi sekretaris jenderal pada sebuah organisasi massa berlevel nasional, bagi saya saat ini belum menjadi kebanggaan utuh, meski orang lain melihat posisi ini amat strategis, dianggap mengetahui segalanya, peluang politiknya lebih besar, apalagi berhubungan langsung dengan nama besar seorang calon Presiden di republik ini, Prabowo Subianto. Saya tersenyum setelah mengigat latar belakang saya sebagai aparat yang disekolahkan oleh daerah di ibukota. Tetapi tak mengapa, bagi saya ormas ini adalah laboratorium pendidikan saya di masyarakat. Saya terima, apalagi dapatnya juga gratis! Hehehe..
Ya!, sekarang saya diposisikan sebagai Sekjen di Gerakan Rakyat Dukung Prabowo. Lebih dikenal dengan nama Gardu Prabowo. Entah siapa yang mendorong nama saya untuk menduduki posisi ini, saya tidak tahu. Saya hanya menyakini jika tentu ‘pembisik’ yang mendekatkan nama saya dengan seorang Prabowo Subianto. Saya menduga pembisik itu adalah Asaldin Gea, akrab dengan sapaan Bang Gea, seorang lelaki Nias, mantan Kopasus, cukup gagah dan ajudan Pak Prabowo semasa di militer.
Entah apa yang ada dalam pikiran Bang Gea saat mendorong nama saya sebagai Sekjen di depan Pak Prabowo Subianto. Saya hanya meyakini jika Bang Gea punya niatan tulus untuk menemaninya membesarkan nama Pak Prabowo di publik Indonesia melalui Ormas Gardu Prabowo. Maklum ia salah satu Ketua di ormas ini membidangi Organisasi, Kaderisasi dan keaggotaan (OKK), sebuah pos yang amat strategis dalam merekrut massa sebanyak-banyaknya. Apalagi Bang Gea berkata pada saya,”Bang, utang kita pada Pak Prabowo dan Partai Gerindra, adalah merekrut 11 juta jiwa pemilih, khusus dari Gardu Prabowo, ini tugas utama kita,” katanya tegas.
Ya!, sekarang saya diposisikan sebagai Sekjen di Gerakan Rakyat Dukung Prabowo. Lebih dikenal dengan nama Gardu Prabowo. Entah siapa yang mendorong nama saya untuk menduduki posisi ini, saya tidak tahu. Saya hanya menyakini jika tentu ‘pembisik’ yang mendekatkan nama saya dengan seorang Prabowo Subianto. Saya menduga pembisik itu adalah Asaldin Gea, akrab dengan sapaan Bang Gea, seorang lelaki Nias, mantan Kopasus, cukup gagah dan ajudan Pak Prabowo semasa di militer.
Entah apa yang ada dalam pikiran Bang Gea saat mendorong nama saya sebagai Sekjen di depan Pak Prabowo Subianto. Saya hanya meyakini jika Bang Gea punya niatan tulus untuk menemaninya membesarkan nama Pak Prabowo di publik Indonesia melalui Ormas Gardu Prabowo. Maklum ia salah satu Ketua di ormas ini membidangi Organisasi, Kaderisasi dan keaggotaan (OKK), sebuah pos yang amat strategis dalam merekrut massa sebanyak-banyaknya. Apalagi Bang Gea berkata pada saya,”Bang, utang kita pada Pak Prabowo dan Partai Gerindra, adalah merekrut 11 juta jiwa pemilih, khusus dari Gardu Prabowo, ini tugas utama kita,” katanya tegas.
Kader-kader Ormas Gerakan Rakyat (Gardu) Prabowo |
11 juta pemilih? Ini sangat fantastis! Pikirku. Sebab ini bukanlah ‘mimpi’ yang mudah diwujudkan. Sebab SBY saja tampil sebagai Presiden hanya bermodal 7 juta suara? Saya memandang Bang Gea sebagai sosok loyalis Pak Prabowo, yang punya mimpi besar. Mungkin saja ini angan-angan, tetapi mimpi besar Bang Gea menggambarkan dirinya sebagai seorang petarung sejati yang tak banyak jenisnya di negeri ini. Saya pikir-pikir, mengapa orang sekelas Bang Gea tidak melintas di Partai Gerindra saja, mengapa harus lewat Ormas? Atau mengapa Pak Prabowo tidak menariknya di Partai sebagai Ketua OKK? Saya belum mendapat jawabannya. Saya hanya bisa ikut larut dalam mimpi-mimpi itu, mempelajari segala apa yang menjadi tanggung jawab saya sebagai Sekjen, tentu dengan segala keterbatasan saya.
Tetapi sebuah pelajaran besar saya peroleh dari lelaki muda ini. Pelajaran tidak sekedar loyalitas, tetapi juga energitas, kemampuan mempengaruhi orang banyak, serta kepercayaan diri membangun jejaring di publik yang maha luas di nusantara ini.
“Bang, jangan foto saya di atas Abang. Abang kan Sekjen? Saya hanya Ketua OKK. Saya dibawah Abang? Malu nanti dilihat kawan-kawan,” Ujar Bang Gea pada saya ‘memprotes’ foto-foto komposisi kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Gardu Prabowo yang terpampang di ruang kerja saya di Kendal Menteng-Jakarta Pusat.
Mendengar kata-kata Bang Gea, saya terenyuh dan menatapnya dalam-dalam. Saya sebenarnya melakukan uji psikologis padanya, untuk menjawab bagaimana Bang Gea memaknai sebuah pergerakan organisasi massa. apakah posisi saya sebagai Sekjen, hanyalah pelengkap di Ormas ini, ataukah boneka pergerakan politik yang kini dibangunnya? Saya tidak melihat itu. Saya memaknai jika seorang Asaldin Gea, benar-benar mesin perekrut massa seorang Prabowo Subianto.
Brutus Politik
Tentu Bang Gea sebagai manusia biasa punya celah dan kekurangan. Tapi saya kurang suka membahas kekurangan seseorang. Saya suka sisi-sisi positifnya untuk dipedomani dan menjadi telaahan banyak orang. Sebab saya meyakini pikiran positif menjadi milik orang-orang beruntung!. Hanya saja, kita tidak boleh juga mengesampingkan effek negative yang bakal tercipta dari sebuah dinamika organisasi, dan efek negative dari sebuah loyalitas dan dedikasi yang tinggi. Seperti apa yang ditunjukkan Bang Gea pada seorang Prabowo Subianto.
Loyalitas dan dedikasinya kepada Prabowo Subianto, dengan gaya khas militer Bang Gea, masih sangat terasa. Gea seorang yang tegas, bersuara lantang dengan sorot mata tajam. Sisi positifnya, orang-orang akan patuh dan menjadikannya sebagai panutan dan teladan dalam bekerja sesuai mekanisme organisasi. Namun saya juga harus jujur, jika cara bekerja seperti ini juga, akan melahirkan ‘brutus-brutus politik’ jika Bang Gea tidak menyadarinya. Brutus, saya terjemahkan sebagai orang ‘plin-plan’ yang hanya bisa bekerja jika tokoh sentralnya hadir saat bekerja, hanya tunduk pada tokoh sentralnya, dan mengesampingkan peran-peran strategis orang lain. Jika syahwat politiknya tidak terlayani, maka orang yang berjiwa Brutus ini, akan menyikut kawan sendiri, tak ingin tersaingi, dan selalu mencari jalan untuk meng-ekselusifkan diri sendiri. Saya sendiri takut ‘tercipta’ sebagai Brutus Politik, akibat ketegasan dan loyalitas seorang Asaldin Gea. Satu-satunya cara untuk mencegah lahirnya ‘brutus-brutus’ ini adalah memangkas langsung dan tidak membiarkan gejala ini tumbuh, jika kita sudah merasakannya. Semoga saja ini tidak hadir di ormas Gardu Prabowo ini. Saya masih percaya itu!
Banyak orang berkata, lahirnya person berijiwa ‘brutus-brutus’ adalah bagian dari teori manajemen konflik. Tetapi saya tidak melihatnya seperti itu, saya justru menangkapnya telah melintas masuk dalam ‘permainan konflik’. Tetapi hal seperti ini tidak akan memberikan hasil positif jika jiwa-jiwa ini terpelihara. Maka salah satu cara untuk menghindari hal ini adalah, selalu berfikir positif, membangun komunikasi interpersonal yang kuat dengan bagian organisasi lainnya, tidak merasa menjadi yang terbaik dari orang disekitar kita, sekecil apapun peran itu.
Yang pasti, sebagai penggiat ilmu komunikasi, saya banyak belajar dengan posisi saya saat ini. Belajar membangun etika berkomunikasi dalam organisasi, belajar memahami orang lain, dan belajar untuk membuat keputusan ditengah dinamika organisasi yang tinggi, dan tentunya belajar loyalitas dari seorang Asaldin Gea. Maaf saya tak mengkultuskan pribadi Bang Gea, saya hanya ingin memaknai setiap jengkal kehidupan orang-orang yang saya kenal. Seperti saya memahami bagaimana pergerakan air yang ada di daun talas. Juga belajar bagaimana menjadi sari kelapa yang dibungkus cangkang dan serabut yang kokoh. Toh, suatu saat saya tererjenkang dari permainan ini, saya memaknainya pula sebagai sebuah pelajaran penting!. Selamat berjuang kawan!! Allah SWT merakhmati. Merah Putih!!
Sebongkah catatan dari Kendal-Menteng (**)
Tetapi sebuah pelajaran besar saya peroleh dari lelaki muda ini. Pelajaran tidak sekedar loyalitas, tetapi juga energitas, kemampuan mempengaruhi orang banyak, serta kepercayaan diri membangun jejaring di publik yang maha luas di nusantara ini.
“Bang, jangan foto saya di atas Abang. Abang kan Sekjen? Saya hanya Ketua OKK. Saya dibawah Abang? Malu nanti dilihat kawan-kawan,” Ujar Bang Gea pada saya ‘memprotes’ foto-foto komposisi kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Gardu Prabowo yang terpampang di ruang kerja saya di Kendal Menteng-Jakarta Pusat.
Mendengar kata-kata Bang Gea, saya terenyuh dan menatapnya dalam-dalam. Saya sebenarnya melakukan uji psikologis padanya, untuk menjawab bagaimana Bang Gea memaknai sebuah pergerakan organisasi massa. apakah posisi saya sebagai Sekjen, hanyalah pelengkap di Ormas ini, ataukah boneka pergerakan politik yang kini dibangunnya? Saya tidak melihat itu. Saya memaknai jika seorang Asaldin Gea, benar-benar mesin perekrut massa seorang Prabowo Subianto.
Brutus Politik
Tentu Bang Gea sebagai manusia biasa punya celah dan kekurangan. Tapi saya kurang suka membahas kekurangan seseorang. Saya suka sisi-sisi positifnya untuk dipedomani dan menjadi telaahan banyak orang. Sebab saya meyakini pikiran positif menjadi milik orang-orang beruntung!. Hanya saja, kita tidak boleh juga mengesampingkan effek negative yang bakal tercipta dari sebuah dinamika organisasi, dan efek negative dari sebuah loyalitas dan dedikasi yang tinggi. Seperti apa yang ditunjukkan Bang Gea pada seorang Prabowo Subianto.
Loyalitas dan dedikasinya kepada Prabowo Subianto, dengan gaya khas militer Bang Gea, masih sangat terasa. Gea seorang yang tegas, bersuara lantang dengan sorot mata tajam. Sisi positifnya, orang-orang akan patuh dan menjadikannya sebagai panutan dan teladan dalam bekerja sesuai mekanisme organisasi. Namun saya juga harus jujur, jika cara bekerja seperti ini juga, akan melahirkan ‘brutus-brutus politik’ jika Bang Gea tidak menyadarinya. Brutus, saya terjemahkan sebagai orang ‘plin-plan’ yang hanya bisa bekerja jika tokoh sentralnya hadir saat bekerja, hanya tunduk pada tokoh sentralnya, dan mengesampingkan peran-peran strategis orang lain. Jika syahwat politiknya tidak terlayani, maka orang yang berjiwa Brutus ini, akan menyikut kawan sendiri, tak ingin tersaingi, dan selalu mencari jalan untuk meng-ekselusifkan diri sendiri. Saya sendiri takut ‘tercipta’ sebagai Brutus Politik, akibat ketegasan dan loyalitas seorang Asaldin Gea. Satu-satunya cara untuk mencegah lahirnya ‘brutus-brutus’ ini adalah memangkas langsung dan tidak membiarkan gejala ini tumbuh, jika kita sudah merasakannya. Semoga saja ini tidak hadir di ormas Gardu Prabowo ini. Saya masih percaya itu!
Banyak orang berkata, lahirnya person berijiwa ‘brutus-brutus’ adalah bagian dari teori manajemen konflik. Tetapi saya tidak melihatnya seperti itu, saya justru menangkapnya telah melintas masuk dalam ‘permainan konflik’. Tetapi hal seperti ini tidak akan memberikan hasil positif jika jiwa-jiwa ini terpelihara. Maka salah satu cara untuk menghindari hal ini adalah, selalu berfikir positif, membangun komunikasi interpersonal yang kuat dengan bagian organisasi lainnya, tidak merasa menjadi yang terbaik dari orang disekitar kita, sekecil apapun peran itu.
Yang pasti, sebagai penggiat ilmu komunikasi, saya banyak belajar dengan posisi saya saat ini. Belajar membangun etika berkomunikasi dalam organisasi, belajar memahami orang lain, dan belajar untuk membuat keputusan ditengah dinamika organisasi yang tinggi, dan tentunya belajar loyalitas dari seorang Asaldin Gea. Maaf saya tak mengkultuskan pribadi Bang Gea, saya hanya ingin memaknai setiap jengkal kehidupan orang-orang yang saya kenal. Seperti saya memahami bagaimana pergerakan air yang ada di daun talas. Juga belajar bagaimana menjadi sari kelapa yang dibungkus cangkang dan serabut yang kokoh. Toh, suatu saat saya tererjenkang dari permainan ini, saya memaknainya pula sebagai sebuah pelajaran penting!. Selamat berjuang kawan!! Allah SWT merakhmati. Merah Putih!!
Sebongkah catatan dari Kendal-Menteng (**)
2 komentar
MERAH PUTIH !!!
Mantap...bang Gea sukaes