Impian besarku untuk menatap kehidupan diluar anganku kini membenam dipikiranku. Jakarta, sebuah kata yang semasa kecilku dan bagi keluargaku hanyalah khayalan yang mungkin tak bakal pernah kesampaian. Tapi kini, kuharus bertarung didalamnya, menatapi kehidupannya, meratapi tangisannya, serta meraba bias bayang-bayangnya. Dan kata akhirku, menggapai khayalan semua orang, menaklukkannya!.
Ya..Jakarta.. Kota yang tak sekedar menjadi kunjungan bagiku, kunjungan para kapitalis, kunjungan kaum borjuis dan kunjungan anak negeri yang hidup dengan selimut-selimut kepedihan. Kini, Jakarta menjelma menjadi ‘kampung halamanku’. Kampung raksasa yang penuh dengan hiruk-pikuk yang bakal memojokkan siapa saja yang tak mampu berpijak diatasnya.
Aku menatap kelangit Jakarta. Memandang kepongahan dua kata di ujung sana. Sulawesi Tenggara. Ya, dua kata itu terpampang diantara polusi Jakarta, ditebing gedung yang menjulang tinggi di pusat jantung Indonesia. Di Menara Global. Disanalah, kulabuhkan hidupku menggampai angan, setelah secarik kertas kuterima di kota kecil mungil di Pulau Buton sana. Bau-bau.
Secarik kertas itu melambungkan anganku jauh kemasa silam. Seolah nafas ini tiada pernah berhenti. Secarik kertas ini membuat spasi kehidupanku dengan istriku, Cini Eshaya menjadi berjarak. Secarik kertas itupun juga membuat spasi jarak dengan dewa-dewiku. Nafasku yang membalut dalam raga putra-putriku, Moch. Refa, Refi dan Moch. Noval harus terantara jarak. Walau sebenarnya makna secarik kertas itu untuk mereka, keempat pujaan hatiku.
Sebenarnya...asa keempat nyawa yang menyertai langkahku dipusaran megapolitan Indonesia membuatku menjadi betah bergumul dengan haru biru Jakarta. Mereka seolah berpesan, taklukkan badut-badut politik itu...taklukkan ngarai-ngarai kehidupan itu....taklukkan mata-mata yang selalu terpampang di layar kaca sana...dan taklukkan asa kecil di pojok Sulawesi sana...Pulanglah dan jemput kami...bawa kami berempat menggapai Langit-langit Jakarta itu.... Itulah janjiku pada empat nafas penegak kehidupanku....
-------------------------------------------------------------------------------------
Catatan di Siang bolong, 5 Ramadhan 1431 H---15 Agustus 2010