» » Aku Bangga Lahir dari Rahim Miskin Itu Tante…

Aku Bangga Lahir dari Rahim Miskin Itu Tante…

Penulis By on 26 December 2010 | No comments

AKU belum bisa bercerita banyak tentang kehidupan ini. Entah suatu saat nanti…tak kala air mata kerinduan ini telah mengering… tak kala kerinduan itu telah menjelma menjadi cita-cita dari apa yang Aku impikan…seperti makna dalam nikmat do’a seorang Ibu…Ibu yang telah melahirkanku dari rahim miskin yang Ia  miliki, 37 tahun silam…

Aku hanya bisa menapaktilasi kehidupan masa lalu itu…masa yang begitu membekas dalam benak kehidupan seorang bocah belasan tahun waktu itu. Tak kala Tante Ulfa telah mengeyam pendidikan di bangku perkuliahan di Makassar…tak kala saudara-saudara sepupuku hidup dalam serba cukup…tak kala mereka dimanja dengan kehidupan hedonis, dan Aku hanya bisa bermain dengan tanah dan debu-debu kehidupan yang belum punya makna apa-apa….

Tante…..Rahim miskin itu telah melahirkanku bersama tiga orang adik-adikku…Dia-lah yang bercerita tentang kehidupannya yang serba terbatas…yang terpisah dari kasih sayang kedua orangtuanya sejak kecil karena tragedi hidup yang amat tradisional… lalu kemudian dibesarkan dari belaian seorang Tante (Nenek Ummi) dari Wonokromo Surabaya, Saleh Sungkar-Ampenan hingga kembali negeri leluhurnya…Pangkajene Kepulauan…

Aku hanya membayang bagaimana susahnya menjadi seorang Ibu seperti Ibuku itu… susahnya menjadi ibu sekaligus istri dari seorang suami yang juga tak punya apa-apa…Ibuku dimata keluarga adalah seorang perempuan dengan watak keras…kadang berontak..bahkan konon sangat pencemburu…Aku hanya bisa memendam cerita itu..hingga Aku tumbuh dewasa bersama ketiga adik-adikku….Tapi cerita itu tak pernah luntur dalam ingatan Kami sebagai anak-anaknya, sebab Ibu tak pernah malu untuk berbagi dengan kami..meski mungkin bagi orang lain adalah aib masa lalu….

Ibu yang miskin, yang keras, yang pencemburu adalah cerita-cerita negative yang membesarkan Ibuku…Ibu kerap menitikkan air mata keharuan…ketika membayang masa lalunya…ketika seorang tante telah menjelma menjadi ibu kandungnya di Ampenan sana…tak kala saudara-saudara sepupunya telah menjelma menjadi saudara kandungnya…beliau terharu, karena ternyata masih ada yang bisa ‘menyelematkan’ hidupnya dari kemiskinan materi dan kemiskinan kasih sayang orang-tuanya..karena memang telah meninggalkannya untuk selama-lamanya… dan itu diperolehnya dari seorang saudara ibu kandungnya…itulah Nenek Ummi…Ibu dari tanteku…Maria Ulfa..

Tapi Ibu juga kadang tersenyum, ketika memandang foto sarjana itu terpampang dibilik ruang tamu di gubuk sederhananya …Aku kadang ingin ‘menegurnya’ agar hal seperti itu tak perlu di publis pada orang banyak…tapi mulutku keluh, ketika ‘menangkap’ aroma motivasi kehidupannya…bahwa hidupnya yang miskin, tapi Tuhan tak pernah membatasinya untuk memiliki kebanggaan. …Senyum itu terus melebar tak kala Aku pamit lagi untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta ini…Kota yang mungkin hanya ada dalam hayalannya….senyum itu pun sumringah tak kala adik bungsuku pamit untuk kuliah…dan lebih dari itu..tak kala Kami telah memberinya beberapa orang cucu…

Ketika ‘bercanda’ dengan kemiskinan yang Ibu lalui dari waktu ke waktu…tidak ada yang bisa ia berikan lebih pada Kami anak-anaknya…apalagi materi….Ibuku bukan pewaris harta keluarga…yang kutahu dari cerita seorang Tante pula,,kalau dulu ibu kebagian sepetak sawah yang ukurannya tidak seberapa luas….namun digadaikan kepada saudara kandungnya sendiri…karena butuh sepeser duit. ..Ibu dan ayahku menyadari hal itu…hingga harus pindah dari satu kampung ke kampung lainnya…hingga mereka sampai di tanah Sulawesi Tenggara…
ilustrasi seorang ibu

Kemiskinalah yang membawa mereka ke sana…kadang Aku berpikir kalau kedua orang tuaku itu seorang nomaden, yang tak pernah berhenti berkelana, mencari kehidupan yang bisa membuatnya tenang, dimana ia bisa berdamai dengan kenyataan yang ada…apalagi kami anak-anaknya telah besar, dan butuh tangung jawab lebih besar lagi dari orang tua…. Yang Aku ingat betul, ketika Ibu sempat ribut dengan iparnya (kakak ayahku) yang melarang sekolah. Katanya begini; “sudahlah…untuk apalagi anak-anakmu sekolah…bagusnya bantu-bantu di empang saja..” kata tanteku itu…

Tapi ibuku tetap ngotot dan menjawab. “Bagaimanapun caranya, anak-anakku harus tamat SMA dulu…setelah itu terserah, mau apa mereka” kata Ibu di depan kakak iparnya……

Kata ibu inilah yang teringat bahkan mungkin tak pernah Aku lupakan hingga akhir ajalku kelak. Andai saja saat itu Ibuku menuruti permintaan saudara iparnya…mungkin Aku tak pernah membayang bagaimana berhadapan dengan seorang Guru Besar…mungkin aku tak pernah merasakan bagaimana cerita kuliah di Ibukota Negara…bahkan mungkin aku tak pernah punya mimpi untuk bercita-cita merebut gelar doctor di Luar Negeri….walau mungkin memang susah…

Satu hal kalimat motivasi dari seorang ibu yang keras, miskin dan pencemburu itu…katanya begini…”Nak, mencapai cita-cita itu tidak cukup dengan kerja keras…harus punya mimpi besar dan keyakinan kuat untuk memperolehnya”…Mungkin karena itulah…Ibu kerap membuaiku dengan mimpi-mimpi sederhana…kadang Ibu berkata…”bagaimana rasanya terbang dengan pesawat?…bagaimana rasanya tidur di hotel…??”. Mungkin kalimat itu baginya hanya sekedar hayalan, tapi ternyata Ibu telah memberi motivasi dan pelajaran yang sangat berharga….

Ketika Aku menceritakan dan mengajaknya untuk menggunakan pesawat dan sekedar menikmati kehidupan Hotel…Ibu pun berkata dengan lugu…”Jangan boros Nak, kuliah dan cita-citamu masih panjang…adikmu masih kuliah..dan anak-anakmu sudah mulai besar….kalau kamu sudah mendapatkan semuanya..barulah Ibumu ingin merasakannya..walau sekejap saja…”…sebuah pelajaran bermakna yang justru Aku dapatkan dari seorang perempuan miskin yang telah melahirkanku…

Apapun cerita orang…apapun cerita keluargaku nun jauh di sana..Aku dan adik-adikku sangat bangga dengan Ibu…bangga dengan kemiskinannya…tapi kemiskinan itulah yang membuatnya lebih dewasa…toleran dalam berpikir..dan telah menghargai perbedaan…sesuatu yang mungkin tidak beliau peroleh, ketika Kami masih ‘menyatu’ dengan keluarga di kampung halaman.

Untuk Tante Ulfa….

Maaf Tante…Aku sengaja menghadirkan ‘wajah’ ibuku dalam benak pemikiran Tante…Aku hanya ingin menghadirkan ibuku dalam romantika kehidupan Tante ketika hidup bersama di Ampenan sana…Aku hanya ingin mengenalkan,,,bila kakak tante itu tidaklah sepongah dengan henonisme keluarga yang besar dengan topangan kehidupan yang memadai….Ibuku kini masih hidup dalam kesahajaan…tapi kaya dengan cinta akan kehidupannya…

Tentu Saya ingin mewakili Ibuku mengucapkan terima kasih pada Nenek Ummi dan Kakek Arif yang telah membesarkan ibuku di masa lalu…dan juga pada Tante bersaudara yang menganggap ibuku sebagai saudara kandung sendiri…bagaimanapun..Tante sekeluarga telah memberi warna dalam jiwa ibuku…yang kemudian membesarkan Aku dan adik-adik dengan segala keterbatasannya…

Maaf Tante…semalam, pelajaran besar itu telah kuterima…telah melambungkan Aku ke masa silam, untuk kembali merenungkan arti sebuah kehidupan…telah memberiku inspirasi untuk berjuang dan menyelesaikan pendidikan seperti apa yang Tante lakoni saat ini…Aku kagum betul pada Tante sekeluarga…sebab keluarga Tantelah-lah yang menurutku satu-satunya keluarga yang sangat berdedikasi dalam pendidikan…yang memberiku virus-virus kehidupan yang lebih baik…

Maria Ulfa..begitu nama adik ibuku ini…mungkin Kakek dan Nenekku dulu terinspirasi dengan nama seorang Qariah nasional…Uztadzah Hj Maria Ulfa…atau entah apa..Aku kurang paham…tapi Aku berharap seperti itu….

Aku sangat bangga punya tante Maria Ulfa…wanita yang rela berpisah sementara keluarga kecilnya hanya untuk sebuah cita-cita…beliau rela melambungkan asa-nya …menembus angan…menyambut nyanyian hati…mendermakan hidup untuk sebuah kenyataan hidup…..

Tante….Maaf…Aku menjanjikanmu sebuah tulisan…tapi Aku belum bisa menuliskannya…esok atau lusa…secepatnya Aku buat….Aku hanya ingin menghadirkan wajah Ibuku dalam benak Tante..semoga tak pernah lekang diingatan Tante…Wassalam…

Catatan di pagi hari, Jakarta, 26 Desember 2010
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments