» » Kampung Makasar Jakarta, Magnet Sejarah Yang Sunyi

Kampung Makasar Jakarta, Magnet Sejarah Yang Sunyi

Penulis By on 02 June 2013 | No comments



Di Jakarta Timur terdapat wilayah bahkan kini nama sebuh kecamatan, namanya Kampung Makasar. Bisa ditebak jika wilayah ini mungkin dulunya dihuni orang-orang Makassar. Seperti nama wilayah lainnya di ibukota ini seperti Kampung Melayu, Kampung Ambon, Manggarai dan sebagainya.  Menjadi pertanyaan besar, bagaimana orang Makassar bisa berafiliasi dengan orang Betawi sehingga bisa dapat ‘jatuh kampung’ di Batavia ini? Apakah dulunya ada ‘bedol desa’ antara Gowa dan Batavia sehingga nama  Makassar bisa eksis di Jakarta?

Menyusuri jejak Makassar di Kampung Makassar Jakarta Timur sepertinya menggantang asap, sebab tak ada pemukiman khusus orang Makassar yang menjadi penanda mengapa wilayah ini bernama seperti itu. Tak ada pula ‘dialeg khusus’ yang menjadi ciri khas orang makassar seperti akhiran kata ‘ji’, ‘mi’, ‘tonji’ atau kelebihan atau kekurangan huruf ‘g’ dalam percakapan orang-orang Sulawesi Selatan yang biasanya para remaja mengistilahkannya dengan sebutan ‘okkot’.

Sebagai seorang bersuku ‘Bugis-Makassar’, istilah penamaan wilayah ‘Kampung  Makassar’ di Jakarta ini sebuah jejak sejarah yang sunyi, sebab minimnya informasi tentang itu. Satu-satunya penanda yang dikira-kira bisa menjadi awal mula nama wilayah ini adalah keberadaan makam tua di Kramat Jati, wilayah yang dulunya pemekaran dari Kecamatan Kampung Makasar. Makam itu konon pesohor asal Makassar-Sulawesi Selatan, namanya Dato’ Tonggara. Siapa beliau? Amat sulit menjelaskannya.

Cerita orang-orang di Kampung Makassar dan Kramat Jati, Dato Tonggara dulunya seorang ulama asal Makassar yang banyak memberi peran di Batavia dan punya kedekatan khusus Pangeran Jayakarta, penguasa Batavia. Tetapi menjadi aneh jika mencari letaratur sejarah Bugis-Makassar, sebab tak satupun nama tokoh Dato Tonggara, yang ada semisal ‘Karaeng Segeri Tomatinrowe Ri Batavia’ atau jejak-jejak sejarah Arung Palakka di kawasan Sunda Kelapa.

Meruntut sebutan ‘Dato’ pada nama Dato’ Tonggara, lebih cenderung kemelayu-melayuan.  Sebab bisa ditebak nama Dato dekat dengan sebutan ‘Datuk’, gelar terhormat di tanah Melayu. Tetapi soal Melayu di Sulawesi Selatan bukan barang baru, di Pangkep misalnya, terdapat afiliasi antara Melayu dengan suku Bugis-Makassar di sana, itulah mengapa ada sebutan nama ‘Ince’ pada beberapa nama di kampung halaman saya itu. Keluarga besar saya sendiri memanggil nama kakek dari garis Ibu dengan panggilan Dato’. Halnya dengan Ince yang banyak mengasumsikan sebagai samaran dari sebutan ‘Encik’, panggilan pada bangsawan-bangsawan Melayu.

Kembali ke soal nama Dato Tonggara, beberapa penduduk di Kramat Jati dan Kampung Makasar mengaku jika mereka adalah turunan Dato Tonggara asal Makassar itu, namun mereka telah ‘mati obor’, istilah penduduk di sana untuk mengungkapkan jika mereka tak mengetahui silsilah mereka, kehilangan sejarah dan lain-lain, sebab telah lama menjadi warga Jakarta, dan bahkan telah merasa menjadi suku Betawi asli, penduduk asli Jakarta.

Yang menjadi cerita sedih bagi ‘Dato Tonggara’ ini adalah, meski ia penyambung ‘garis keturunan’ orang-orang Makassar di Batavia, tetapi makamnya yang dikeramatkan penduduk itu jutru tak amat jarang dikunjungi oleh-oleh orang Bugis-Makassar itu sendiri. Dato Tonggara sepertinya hanya terbaring dalam kesediriannya, tak ada sejarah di Sulawesi Selatan yang pernah menuliskan kisahnya, tak ada perlakuan khusus orang-orang dari sukunya sendiri. Boleh jadi, jika saja Jakarta semakin padat, maka makam Dato Tonggara yang dikeramatkan itu bisa saja bernasib sama dengan makam-makam tua lainnya di Ibukota, digusur dan semakin kehilangan jejak.

Satu-satunya penghormatan pada Dato Tonggara di ibukota, yakni namanya telah diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kramat Jati. Jalan Raya Dato Tonggara, kemudian dipecah-pecah lagi menjadi beberapa bagian, jalan Dato Tonggara I, II dan seterusnya. Jalan ini juga mnejadi perujuk menuju makam beliau. Semoga saja beliau tetap menjadi aulia di sisi-Nya. Amin.

                                                                             **
Publikasi Media
Dato Tonggara asal Makassar, Penyebar Islam di Betawi
Makamnya tak Pernah Diziarahi Orang Makassar

Jiwa tualang orang Bugis - Makassar sangatlah besar. Sejarah mencatat, salah satu penyebar Islam di Betawi merupakan orang Makassar. Dato Tonggara.

Sejarah masa lalu tak mendetail menceritakan tentang sosok Dato Tonggara. Bahkan, cerita di masyarakat-pun yang didapati hanya sepenggalan kisah yang mereka dapat turun temurun dari keluarganya.

Di Kelurahan Kramat Jati, salah satu tokoh masyarakat, Muhammad Saman menuturkan kalau Dato Tonggara merupakan pejuang Islam yang bertualang melawan penjajah sambil berdakwah. Dikatakannya, kalau Dato Tonggara sebelum menetap di Tana Betawi sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang dari Timur Indonesia.

Tidak diketahui tepatnya, tahun berapa Dato Tonggara meninggalkan Makassar, Sulawesi Selatan untuk berdakwah bersama dengan pasukannya. Namun, menurut tokoh masyarakat di Kramat Jati, kalau Dato Tonggara meninggalkan seorang istri dan dua orang anak di tanah kelahirannya.

Siapa istri dan anak-anaknya, juga tidak diketahui. Lebih jauh, Samad menceritakan wialayah yang pertama di singgahi oleh Dato Tonggara dalam pengembaraannya adalah Flores. Dari situ, dia bersama dengan pasukannya kemudian bergerak ke Nusa Tenggara Timur (NTT) lalu menyeberang ke Pulau Jawa.

Di Pulau Jawa, Dato Tonggara kemudian memperdalam ilmu agamanya dengan berguru kepada Pangeran Jayakarta. Kemudian, dengan beberapa dato-dato lainnya yang sudah berada di Betawi menyebarkan Agama Islam.

Dalam catatan sejarah masyarakat Betawi, tokoh penyebar Islam di Betawi pada 1418 - 1527 M sangat gencar melakukan dakwah. Sehingga, pada masa itu, penyebaran Islam di Betawi mendapatkan perwlawanan keras dari penganut agama lokal.

Akibatnya, terjadi peperangan antara pihak Islam dengan penganut agama lokal dibawa pimpinan Prabu Surawisesa. Tercatat, pada masa penyebaran Islam di Betawi terjadi 15 kali peperangan.

Selain pasukan Dato Tonggara, juga yang terlibat dalam peperangan itu yakni Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke. Pada peperangan itulah, pasukan Dato Tonggara banyak yang wafat. Sampai satu waktu, Dato Tonggara kehabisan pasukan.

Setelah pasukannya tiada, Dato Tonggara pergi ke hutan jati (sekarang Kramat Jati, red) yang jauh dari pusat kota. Kesendiriannya cukup lama, hingga dia menguasai kawasan tersebut mulai dari Kampung Makassar, Halim, Kramat Jati hingga Pondok Gede.

Wilayah kekuasaannya itu tak berpenghuni kecuali dirinya. Setiap ada orang yang hendak masuk ke wilayahnya, mendapat teguran dari dia. Karena, setiap malam hari dia beraptroli seorang diri di wilayah itu.

Tak lama kemudian, setelah lama menyendiri, Dato Tonggara mulai mempersilahkan orang menempati daerah kekuasaannya, hingga menjadi sebuah perkampungan. Sepenggal cerita itulah yang hingga saat ini diketahui masyarakat sekitar makam Dato Tonggara yang letaknya di Kelurahan Kramat Jati. Tidak diketahui secara pasti kapan Dato Tonggara wafat, karena tidak ada tanda-tanda yang menandakan itu.

Makam Dato Tonggara sendiri saat ini dipugar beberbentuk sebuah rumah dengan satu pintu. Disamping makam itu, Ibu Cucun (63) yang bertindak sebagai kunjen/juru kunci tinggal dengan sebuah gubuk berdindingkan atap-atap bekas.

Cucun yang juga juru kunci, tak tahu banyak tentang cerita Dato Tonggara. Dia hanya mengatakan kalau yang tahu banyak tentang cerita Dato Tonggara sudah meninggal dunia, H Damad. Dia menjadi kunjen makam itu hanya karena sebelumnya yang menjadi kunjen adalah ibunya, Raizah.

Dia tak bercerita banyak ketika penulis berkunjung ke makam. Dia hanya membuka makam, kemudian duduk sejenak lalu kembali masuk ke rumahnya. Setelah melihat-lihat di makam itu, penulis kembali menemui Cucun yang duduk di depan rumahnya. Katanya, yang kerap datang mengunjungi makam itu hanya warga Kramat Jati saja, dan beberapa kali warga dari Cirebon.

"Saya belum pernah mendapati orang Makassar yang datang berziarah di makam ini. Hanya orang-orang disini saja yang datang, saya tidak tahu apakah mereka tahu dan tidak datang atau memang mereka tidak tahu tentang keberadaan Dato Tonggara. Padahal, Dato Tonggara kami yakini sebagai seorang yang memiliki ilmu agama yang cukup dalam, sampai-sampai ada yang menyebutnya waliyullah (wali)," tuturnya. (sms/fmc)


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments