POLITIK PENCITRAAN
DAN PENCITRAAN POLITIK
(Perspektif Ilmu Komunikasi Politik, Sebuah Kajian Pustaka)
I. Pendahuluan
Prof. Dr. H. Anwar Arifin, pakar komunikasi politik di Indonesia[1] mengemukakan banyak stigma pemikiran terkait dengan ‘politik pencitraan’ dan ‘pencitraan politik’ bagi seseorang, kelompok maupun organisasi. Hal tersebut terjadi seiring perkembangan dinamika ilmu komunikasi dan ilmu politik yang telah hadir dimana-mana (omni present) dalam berbagai sendi kehidupan manusia.
Sebelum membahas jauh pemahaman tentang ilmu Komunikasi Politik, dimana di dalamnya include persoalan ‘politik pencitraan’ dan ‘pencitraan politik’, maka perlu ada kesepahaman mendasar tentang definisi Komunikasi Politik itu sendiri. Anwar Arifin menarik benang merah dalam sejumlah kepustakaan komunikasi dan politik, bahwa Komunikasi politik adalah pembicaraan untuk memengaruhi dalam kehidupan bernegara. Komunikasi politik dapat juga merupakan seni mendesain apa yang mungkin (art of possible) dan bahkan dapat merupakan seni mendesain yang tidak mungkin (art of impossible)[2].
Karenanya, menjadi salah satu tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra dan opini publik, mendorong partisipasi publik, memenangi pemilihan, dan mempengaruhi kebijakan politik negara atau kebijakan publik.[3] Begitu pentingnya bidang ilmu ini menjadi menarik perhatian kalangan akademisi untuk ikut andil dalam memaknai setiap jengkal pendalaman disiplin ilmu ini, mengingat tidak sedikit pemahaman yang ‘mencampur-adukkan’ pengertian ‘Politik Pencitraan’ dan ‘Pencitraan Politik’ yang sebenarnya keduanya berbeda secara esensial.
Pentingnya uraian pendefenisian antara ‘Politik Pencitraan’ dan ‘Pencitraan Politik’ dikandung maksud agar para akademisi di bidang ini, terlebih khusus para pemerhati politik, konsultan politik, konsultan komunikasi atau bahkan penggiat politik itu sendiri mampu memilah, mendefenisikan secara detail bahasan dari masing-masing ilmu tersebut. Apalagi sifat ‘serbahadir’ (omni present) sebagaimana diungkap sebelumnya dengan sendirinya merefleksikan sifat komunikasi politik yang ‘serbahadir’ pula, yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahakan dari pemahaman tentang ‘politik pencitraan’ maupun ‘pencitraan politik’.
II. Defenisi Dasar
Sebelum memulai pembahasan tentang defenisi ‘politik pencitraan’ dan ‘pencitraan politik’, terlebih dahulu perlu pemaknaan masing-masing suku kata dimaksud, yakni defenisi tentang ‘politik’ dan defenisi ‘pencitraan’ dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini dimaksudkan agar para akademisi dengan mudah mengetahui dimana ‘letak’ dan ‘analisis’ termasuk kajian kedua kata dimaksud jika telah membentuk kalimat ‘politik pencitraan’ dan ‘pencitraan politik’.
a. Politik
Aristoteles (dalam Anwar Arifin: 2011) misalnya menyebut bahwa Politik merupakan hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam karyanya politics yang ditulis 335 SM, menyatakan bahwa manusia secara alamiah adalah mahluk yang berpolitik (zoon politicon) atau man is by nature a political animal. Selain itu politik juga dapat diartikan sebagai aktivitas-aktivitas manusia dalam masyarakat.
Politik juga sering diungkapkan sebagai perjuangan mengangkat penguasa yang berfungsi menetapkan kebijakan pemerintah. Namun politik juga tidak hanya menyangkut tentang perjuangan, tetapi politik juga berkaitan dengan kerjasama. Selain itu politik tidak hanya berkaitan dengan pengangkatan penguasa dan penetapan kebijakan, tetapi politik juga berkaitan dengan distribusi kekuasaan, implementasi kebijakan dan pengalokasian nilai-nilai otoritatif. Politik juga selalu berkaitan dengan kelompok manusia dalam bentuk assosiasi.[4] Secara singkat, politik itu letaknya pada ‘manusia-nya’[5]
(Gambar 1. didistribusi penulis dari pemikiran Anwar Arifin : 2011)
b. Pencitraan
Berasal dari kata ‘Citra’ dalam Bahasa Jawa yang berarti ‘Gambar’, kemudian dikembangkan menjadi gambaran sebagai padanan perkataan image dalam Bahasa Inggris.[6] Citra merupakan sesuatu yang abstrak dan konpleks serta melibatkan aspek emosi (afeksi) dan aspek penalaran (kognisi). Justru itu citra mengandung unsure emosi dan rasional sekaligus, sehingga secara serentak memiliki sifat subjektif dan objektif. Citra pada khalayak terbentuk sebagai dampak afeksi dan kognisi dari komunikasi.
Pada hakikatnya citra dapat didefenisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi khalayak terhadap individu, kelompok atau lembaga yang terkait dalam kiprahnya dalam masyarakat. Citra biasa juga diartikan sebagai cara anggota organisasi dengan melihat kesan atau persepsi yang ada di benak orang.
Sedang ‘Pencitraan’ merupakan proses pembentukan citra melalui informasi yang diterima oleh khalayak secara langsung melalui melalui media sosial atau media massa. Hal itu berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap pesan yang menyentuhnya atau merangsangnya. Citra yang melekat di benak seseorang itu dapat berbeda dengan realitas objektif atau tidak selamanya merefleksikan kenyataan yang sesungguhnya. Demikian juga citra dapat merefleksikan hal yang tidak wujud atau imajinasi yang mungkin tidak sama dengan realitas empiris[7].
Citra memiliki 4 (empat) fase. Baudrillard dalam Arifin (2011:1993) menyebut keempat fase tersebut ialah; (1) representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; (2) ideologi di mana citra menyembunyikan atau memberikan gambaran yang salah akan realitas; (3) citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas; dan (4) citra tidak memiliki sama sekali hubungan dengan realitas apapun.
III. Pembahasan
Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka akan dengan mudah memberikan perbedaan mendasar antara letak, analisis dan kajian dari ‘Politik Pencitraan’ dan ‘Pencitraan Politik’, dengan penjelasan sebagai berikut;
a. Politik Pencitraan
Secara gamblang dapat dijelaskan bahwa pada hakikatnya ‘Politik Pencitraan’ itu terletak pada sumber pesan (komunikator), karenanya analisis yang digunakan adalah ‘analisis kontrol’. Analisis kontrol yang dimaksud terkait dengan pengendalian pada pesan-pesan yang disampaikan, dan banyak berhubungan dengan sumber pesan itu sendiri dalam membangun manajemen pencitraan yang terbaik baik sesesorang. Oleh sebab itu, hal yang tidak bisa dilepaskan dari ‘politik pencitraan’ itu sendiri adalah ‘strategi’ pencitraan yang dibangun.
(Gambar 2. didistribusi penulis dari pemikiran Anwar Arifin : 2011)
Strategi pencitraan yang dimaksud bagi seorang komunikator (dalam hal ini partai politik dan tokoh-tokohnya) tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan memerlukan waktu yang lama, karena khalayak, publik atau rakyat ingin mengetahui kesesuaian dirinya dengan ideology, visi, misi serta kinerja dan reputasi suatu partai politik dan tokoh-tokohnya. Rakyat juga ingin mengetahui konsistensi dan integritas suatu partai politik. Jika suatu partai politik tidak memiliki konsisten dan integritas, maka citra yang terekam dan melekat di benak publik menjadi tidak utuh dan bahkan bisa menjadi buruk.[8]
Anwar Arifin (2003:145) menyebut strategi itu sebagai keseluruhan keputusan kondisional pada saat ini tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan pada masa depan. Justru itu menurut Anwar Arifin, merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan dalam melakukan komunikasi politik, akan merupakan keputusan yang paling tepat saat ini bagi komunikator untuk mencapai tujuan kedepan yaitu, citra yang baik, opini public yang positif dan memenangkan pemilihan umum.
Para politikus atau pemimpin politik sangat berkepentingan dalam pembentukan citra politik dirinya melalui komunikasi politik dalam usaha menciptakan stabilitas sosial dan memenuhi tuntutan rakyat. Karenanya, para politikus harus berusaha menciptakan dan mempertahankan tindakan politik yang membangkitkan citra yang memuaskan, supaya dukungan opini public dapat diperoleh dari rakyat sebagai khalayak komunikasi politik.[9]
Dengan demikian esensi mendasar dari ‘Politik Pencitraan’ itu adalah upaya dari komunikator untuk menumbuhkan ‘Partisipasi politik’ khalayak selanjutnya memberikan pilahan pada dirinya.
b. Pencitraan Politik
Sementara terkait dengan ‘pencitraan politik’ terletak pada khalayak, sehingga analisa yang digunakannya adalah ‘analisis khalayak’. Mengapa? Karena pada dasarnya, ‘khalayak itu kepala batu’ (the osbinate audience) sebuah pemahaman yang kemudian berkembang menjadi teori yang disebut ‘teori khalayak kepala batu’ (the osbinate audience Theory[10], yang merupakan koreksi dari Teori Peluru (The Ballet Theory) dan Teori Jarum Hipodermik (Hypodermik Needle Theory) dimana selama ini berpendapat bahwa khalayak itu pasif.[11]
Pencitraan politik sangat terkait dengan sosialisasi politik, karenanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Semakin intens sosialisasi politik itu dilakukan, semakin tinggi kepercayaan khalayak dan pada gilirannya khalayak menentukan pilihannya.
Lahirnya Teori Khalayak Kepala Batu ini, maka fokus perhatian dan penelitian bergeser dari komunikator politik kepada khalayak. Para pakar terutama pakar psikologi dan kemudian pakar sosiologi dan komunikasi, mencurahkan perhatiannya kepada individu. Lizen dalam Anwar Arifin (2008:89) misalnya telah menulis bahwa tiap-tiap manusia mempunyai watak dan sifat tertentu yang menjadi senjata bagi dirinya terhadap pengaruh sosial dari luar. Hampir tidak ada seorang pun yang menjadi bola permainan orang lain belaka.
(Gambar 3. didistribusi penulis dari pemikiran Anwar Arifin : 2011)
Oleh karena itu, tiap-tiap individu juga sadar akan dirinya, dan dari kesadaran itu ia hidup dan mengumpulkan kekuatan rohani untuk bertindak sendiri. Sejalan dengan itu Anwar Arifin (1985) menyebutkan bahwa tiap individu memiliki kesadaran ‘Aku’, yang menjadi kekuatan baginya dalam menghadapi pengaruh dari luar. Kesadaran ‘Aku’ itu bersumber dari kerangka referensi (frame of reference) dan pengalaman lapangan (field of experience).[12]
Dari penjelasan ini pula maka dapat diperoleh kejelasan bahwa pencitraan politik sangat terkait dengan opini publik, sebagai ‘effect’ dari komunikasi politik, yang merupakan hasil perpaduan dari sejumlah kekuatan yang bekerja dalam masyarakat. Dalam menentukan sikap dan opini individu-individu yang menjadi khalayak selain memiliki kekuatan menyeleksi secara internal berdasarkan kekuatan ‘Aku’, juga memperoleh pengaruh eksternal dari kelompok masyarakat serta pengaruh rangsangan dari pesan lainnya. Itulah sebabnya publik dipandang memiliki filter konseptual (seperti motif, kepentingan, ideology) yang membuatnya tidak mudah membentuk opini.[13]
Opini publik sendiri baru akan tercipta jika ada realitas sosial yang menjadi pendapat dari pendapat rata-rata individu dalam masyarakat sebagai hasil diskusi langsung yang dilakukan untuk memecahkan persoalan sosial terutama yang dioperkan media massa. Jadi opini public hanya terbentuk jika ada isu yang dikembangkan oleh media massa seperti suratkabar, radio dan televisi. (Anwar Arifin:1998:115). Dengan ini memberikan gambaran bahwa ‘Pencitraan Politik’ juga akan terbentuk jika ada ‘kesamaan wartawan’ dalam membangun opini itu sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan realitas media, di mana media massamemiliki kekuatan yang kuat untuk membentuk persepsi politik dan citra politik khalayak.
Noelle Neumann membuktikan adanya semacam ‘lingkaran kebisuan’ (die schwigesperale) atau the spiral silence dalam masyarakat. Lingkaran kebisuan itu adalah masyoritas khalayak (public majority) yang membisu atau diam meskipun pro atau setuju terhadap sebuah kebijakan, bamun dapat dikalahkan oleh kelompok minoritas (public minority) yang anti terhadap kebijakan itu, tetapi selalu ditonjolkan oleh media massa. Suara minoritas itu tidak saja membentuk citra yang keliru, tetapi dapat terwujud dalam bentuk keputusan, nilai-nilai dan norma-norma.
***
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Arifin, Komunikasi Pilitik. Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011
--------------, Opini Publik, Pustaka Indonesia, Jakarta. 2008
--------------, Pencitraan dalam Politik, Pustaka Indonesia, Jakarta 2006.
--------------, Pers dan dinamika Politik, Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta,2010
--------------, Sistem Komunikasi Indonesia, Simbiosa, Bandung, 2011
[1] Selain menjadi guru besar di bidang ilmu komunikasi poltik, Anwar Arifin dikenal pula sebagai mantan anggota DPR-RI kurun waktu 10 tahun (2 periode) dari Sulawesi Selatan, aktif terlibat dalam berbagai perancangan perundang-undangan di Indonesia, pernah aktif anggota Dewan Pers Republik Indonesia. Di bidang ilmu komunikasi, Anwar Arifin salah satu pencetus dari 7 teori pers di dunia, yang dikenal dengan ‘Teori Pers Pancasila’, sebuah teori pers yang mengedepankan jati diri dan karakter khas Indonesia. (dari berbagai sumber)
[2] Anwar Arifin, Komunikasi Pilitik. Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011. p.1
[3] ibid. p.177
[4] Ibid. 4
[5] Kesimpulan penulis
[6] Anwar Arifin, Pencitraan dalam Politik, Pustaka Indonesia, Jakarta 2006.p.1
[7] Anwar Arifin, Komunikasi Pilitik. Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011. p.178
[8] Ibid.
[9] ibid
[10] Sebuah teori yang dikembangkan oleh Pakar Psikologi Raymond Bauer (1964), yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh I.A. Richards sejak tahun 1936, dan telah dipraktekkan oleh ahli-ahli retorika pada zaman Yunani dan Romawi 2000 tahun yang lalu. (Anwar Arifin:2008)
[11] Anwar Arifin, Opini Publik, Pustaka Indonesia, Jakarta. 2008. P.88-89
[12] Ibid.
[13] Ibid.