Seorang kawan mengingatkan satu catatan waktu di 14 Juli 2012 pekan depan. Catatan tentang hari kelahiran sekaligus ingatan peristiwa tentang akhir pergumulan studi pascasarjana di ibukota ini. Tentu saya bangga, sebab tak semua orang bisa merasakan kegembiraan besar secara bersamaan di saat ia menggenapi umur kelahirannya. Kawan saya lalu berkata; “Selamat, umur Anda akan memasuki masa 39 tahun, dan sejatinya Anda akan memasuki sebuah fase baru sebagai seorang terpelajar. Semoga ini awal ‘hidup’ Anda yang sebenarnya!”
Saya terenyuh seraya menatap dalam-dalam pantulan cahaya gelap dari hotmiks jalanan ibukota. Cahaya itu seolah mengajarkan sebuah makna besar, bahwa sebenarnya hidup saya tak lebih cahaya gelap, yang belum bisa memberi terang pada orang-orang terdekat saya. Istri dan anak-anak. Saya masih egois mencari jati diri dengan harapan mengemgam gelar doktoral yang masih berada di awang-awang di masa depan. Saya egois, karena belum bisa menggemgam kata syukur yang sejati. Saya masih egois karena merasa diri usia baru 25 tahun yang harus terus memburu kekebasan duniawi saya. Padahal setahun kedepan umur telah genap 40 tahun. Istri pun berkata “ Kak, Anda telah berjalan di separuh umur”.
Saya tak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran istri saya. Tetapi saya memaknainya sebagai sebuah ingatan, jika sebenarnya saya harus lebih dekat dengan Sang Pencipta. Sebab setinggi apapun cita-cita itu, tak akan bermakna apa-apa jika jiwa terasa kosong. Istri saya benar! Sebenar angan-angan anak-anak saya yang selalu menelpon dengan kalimat tanya; kapan Ayah pulang!...
Saya kembali merenungi kalimat-kalimat kawan saya. Ia mengingatkan tentang usia yang masih bergemuruh, dengan kata “Selamat, setahun lagi Anda akan berjalan di usia 40 tahun. Pekan depan baru tepat 39 tahun”. Tentu ini sebuah alur catatan waktu, apakah Tuhan memang masih memberi keleluasaan waktu untuk menggapai hal itu? Saya terdiam dan membiarkannya, jika itu adalah takdir, dimana semua orang tak bisa menebaknya. Saya juga mengingat kata kawan yang selalu mengingatkan jika usia itu adalah ‘awal’ kehidupan saya yang sebenarnya. Entah apa maksudnya, tetapi saya memaknainya bila ini adalah ingatan untuk lebih dewasa dan pandai mengambil kesimpulan terbaik dan penuh kematangan.
Saya kembali teringat kata kawan saya. “Zah, jalanilah hidup, nikmatilah hidup dan jangan egois dengan kehidupan Anda. Sebab seungguhnya hidup Anda adalah milik keluarga Anda”. Rasanya kalimat-kalimat ini bak belati menikam jiwa. Dingin dan terasa membenam jauh ke sel-sel darah merah yang terus mengalir dan memberi saya ‘nyawa’ untuk terus berlari dalam angan-angan masa depan. Saya bertanya dalam kebingungan, apakah ini awal atau akhir? Mungkin ini yang namanya pergulatan tanpa tepi.
Tuhan..di malam ini Aku berdoa pada-Mu. “Genggamkan cita itu tanpa lara, genggamkan asa itu dengan cinta, dan kuatkan saya dalam menapaki setiap jengkal kehidupanmu, sebab sesungguhnya hidupku adalah hidup istri dan anak-anakku...”
Cikini, I Love You
Saya terenyuh seraya menatap dalam-dalam pantulan cahaya gelap dari hotmiks jalanan ibukota. Cahaya itu seolah mengajarkan sebuah makna besar, bahwa sebenarnya hidup saya tak lebih cahaya gelap, yang belum bisa memberi terang pada orang-orang terdekat saya. Istri dan anak-anak. Saya masih egois mencari jati diri dengan harapan mengemgam gelar doktoral yang masih berada di awang-awang di masa depan. Saya egois, karena belum bisa menggemgam kata syukur yang sejati. Saya masih egois karena merasa diri usia baru 25 tahun yang harus terus memburu kekebasan duniawi saya. Padahal setahun kedepan umur telah genap 40 tahun. Istri pun berkata “ Kak, Anda telah berjalan di separuh umur”.
Saya tak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran istri saya. Tetapi saya memaknainya sebagai sebuah ingatan, jika sebenarnya saya harus lebih dekat dengan Sang Pencipta. Sebab setinggi apapun cita-cita itu, tak akan bermakna apa-apa jika jiwa terasa kosong. Istri saya benar! Sebenar angan-angan anak-anak saya yang selalu menelpon dengan kalimat tanya; kapan Ayah pulang!...
Saya kembali merenungi kalimat-kalimat kawan saya. Ia mengingatkan tentang usia yang masih bergemuruh, dengan kata “Selamat, setahun lagi Anda akan berjalan di usia 40 tahun. Pekan depan baru tepat 39 tahun”. Tentu ini sebuah alur catatan waktu, apakah Tuhan memang masih memberi keleluasaan waktu untuk menggapai hal itu? Saya terdiam dan membiarkannya, jika itu adalah takdir, dimana semua orang tak bisa menebaknya. Saya juga mengingat kata kawan yang selalu mengingatkan jika usia itu adalah ‘awal’ kehidupan saya yang sebenarnya. Entah apa maksudnya, tetapi saya memaknainya bila ini adalah ingatan untuk lebih dewasa dan pandai mengambil kesimpulan terbaik dan penuh kematangan.
Saya kembali teringat kata kawan saya. “Zah, jalanilah hidup, nikmatilah hidup dan jangan egois dengan kehidupan Anda. Sebab seungguhnya hidup Anda adalah milik keluarga Anda”. Rasanya kalimat-kalimat ini bak belati menikam jiwa. Dingin dan terasa membenam jauh ke sel-sel darah merah yang terus mengalir dan memberi saya ‘nyawa’ untuk terus berlari dalam angan-angan masa depan. Saya bertanya dalam kebingungan, apakah ini awal atau akhir? Mungkin ini yang namanya pergulatan tanpa tepi.
Tuhan..di malam ini Aku berdoa pada-Mu. “Genggamkan cita itu tanpa lara, genggamkan asa itu dengan cinta, dan kuatkan saya dalam menapaki setiap jengkal kehidupanmu, sebab sesungguhnya hidupku adalah hidup istri dan anak-anakku...”
Cikini, I Love You