Tidak
sedikit opini yang mempersoalkan fenomena Prabowo Subianto sebagai
pemimpin republik, sebab ia adalah warisan orde baru yang kontroversial.
Menariknya, sejumlah lembaga survey telah mentasbihkan putra begawan
ekonomi bangsa ini sebagai Calon Presiden (Capres) terkuat, terpercaya,
dan memiliki elektabilitas tertinggi dibanding sejumlah tokoh lainnya
pada Pemilu 2014 mendatang. Mengapa hal itu terjadi? Saya memandang Pak
Prabowo sebagai sebuah fenomena sosial tersendiri di publik bangsa ini.
Mengapa
fenomena sosial? Saya menjawabnya dengan logika terbalik, bahwa Pak
Prabowo bukan fenomena politik. Apa bedanya? tentu subjektif jika saya
mengatakan, jika hal itulah yang membedakan Pak Prabowo dengan sejumlah
tokoh politik yang ‘besar’ karena dibingkai oleh kerja-kerja politik
dari sebuah partai yang telah memiliki infrastruktur dan suprastruktur
politik yang kuat pula. Inilah yang sebut dengan istilah fenomena
politik. Sementara fenomema sosial bagi saya adalah, lahirnya satu figur
kuat karena dorongan kuat publik, bukan partai atau lembaga afiliasi
politik lainnya, atau karena sebuah pencitraan yang secara kontinue
berlangsung karena figur tersebut memiliki wadah untuk mencitrakan diri
dan partainya.
Saya melihat ini ada pada diri Pak Prabowo. Ia
tokoh yang tak lepas dari cerita ‘status quo’ Orde Baru, memiliki Partai
masih terbilang ‘seumur jagung’, tetapi sejumlah lembaga survey
mengokohkannnya sebagai figur kuat yang paling dirindukan publik
Indonesia untuk memimpin bangsa ini kedepan. Lalu, apakah sebuah
fenomena sosial akan dikalahkan oleh fenomena politik?
Bagi saya,
ini tugas berat Pak Prabowo jika benar-benar menginginkan posisi sebagai
Presiden RI di 2014 mendatang. Sebab regulasi perpolitikan di Indonesia
cenderung lebih memilih fenomena politik ketimbang fenomena sosial. Hal
ini ditunjukkan dengan regulasi yang menyebutkan, jika seseorang Capres
haruslah diusung oleh Partai Politik yang memenuhi persyaratan
undang-undang, bukan kerja-kerja sosial atau sekedar arus kuat dari
publik. Terbukti Capres dari jalur Independen ditiadakan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Meski demikian, saya tidak menyepelekan kerja politik
Pak Prabowo dengan Partai Gerindra-nya, sebab survey juga membuktikan
jika popularitas Partai Gerindra masih tertinggal dibanding partai besar
lainnya seperti Golkar, PDIP maupun Partai Demokrat. Bagi saya,
seseorang dipastikan bakal bisa merebut posisi sebagai Presiden, jika
seseorang mampu ‘mengawinkan’ antara fenomena sosial dengan fenomena
politik. Atau dengan kata lain bahwa modal fenomena sosial Pak Prabowo
tak cukup untuk mendapatkan porsi sebagai Presiden jika tidak didukung
penguatan politik yang kuat pula.
Tetapi saya juga tidak berani
mengatakan, jika Partai Gerindra sebagai partai besutan Pak Prabowo
memiliki infrastruktur dan suprastuktur politik yang lemah. Saya sekedar
berasumsi, bahwa Gerindra memang masih perlu kerja keras, dan
menyampaikan kepada publik bahwa Prabowo adalah Gerindra, dan Gerindra
adalah Prabowo. Ini bukan pekerjaan yang sulit jika Gerindra mau. Yang
paling sederhana yang bisa dilakukan adalah setiap kelembagaan partai
Gerindra mulai dari pusat hingga ranting selalu memampangkan potret diri
Pak Prabowo. Mungkin ini telah diketahui pihak Gerindra, dianggap bukan
sesuatu yang baru, tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan, partai
sepertinya masih ‘berdiri sendiri’, dan Pak Prabowo juga ‘berdiri
sendiri’. Efeknya, publik masih banyak yang belum mengetahui bahwa
keduanya adalah sama, khususnya publik yang berdiam di wilayah pedesaan.
Fenomena
ini pernah ditunjukkan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 silam. Demokrat
belum dikenal, masih dipandang sebelah mata, dan belum terhitung
sebagai partai idola. Tetapi partai tetap percaya diri memampangkan
potret pak SBY sebagai ‘magnet’ di setiap papan nama partai demokrat
dari pusat hingga ranting. Hasilnya memuaskan, secara instant, demokrat
menjelma sebagai partai besar dan berhasil mengantarkan SBY sebagai
Presiden, mengalahkan ‘incumbent’ saat ini. Saya melihat SBY yang kala
itu sebagai sebuah fenomena sosial mampu mengawinkan partai dan dirinya
dengan sebuah fenomena politik.
Kini, Pak Prabowo telah menjelma
sebagai magnet besar yang dirindukan publik Indonesia sebagai Presiden
2014 mendatang. Pak Prabowo telah menjadi fenomena sosial. Yang terisa,
apakah fenomena politik juga akan berpihak padanya? Masih sebuah tanda
tanya besar. (**)
----------------------------