TIGA tahun waktu berlalu bersama gemintang Kota Jakarta, meninggalkan kegirangan keluarga kecilku di tenggara Sulawesi membuatku banyak belajar tentang makna hidup, makna tentang ‘komunikasi keluarga’ yang belum tercatat khusus dalam literasi teori ilmu komunikasi. Bahwa membangun perspektif ‘komunikasi keluarga’ tentu dapat dipahami sebagai bagian dari ‘komunikasi interpersonal’, atau bahkan dapat menjadi bagian dari terapan ‘komunikasi kelompok’. Namun begitu ‘komunikasi keluarga’ bagi saya tak lagi sebatas perspektif teori, ia bahkan menjelma sebagai medium baru, yang bisa menjadi ‘panasea’ kehidupan yang lebih berarti. Sesuatu yang bertentangan dengan salah satu ‘prinsip ilmu komunikasi’ itu sendiri yang menyatakan bahwa ‘communication is not panasea’, atau komunikasi bukanlah obat, meski dalam kajian yang lebih besar disebutkan jika komunikasi bersifat ‘omni present’, atau hadir dimana-mana.
Maaf..saya tak ingin terjebak jauh dalam teori-teori itu, saya hanya memulai prakata diatas untuk mengingat pesan yang selalu diberikan si bungsu Noval (8 tahun) dan si Sulung Refa (11 tahun) melalui ponsel ibunya. Noval amat merindukan hadirnya ‘sepatu super’ yang akan menjadi miliknya. Awalnya saya kebingungan bagaimana rupa sepatu ajaib itu. Ia hanya memberi isyarat jika sepatu itu berwarna keemasan, bertali dan punya ikatan atas. Noval tak bercerita jika sepatu impiannya itu, ia tonton melalui seri sinetron sebuah televisi swasta. Sebagai ayah, saya berjanji akan memberi impiannya itu, bahkan dengan jawaban, “tunggu saja, sepatu itu masih sementara dibuat di Jakarta”. Noval tertawa kecil tanda amat senang, meski ini masih sebatas janji. Bagi saya ‘janji’ kepada si bungsu sama pentingnya dengan ‘membangun konsensus’ dalm ilmu pencitraan politik. (hehehe..anak jadi korban teori perkuliahan).
Dalam kegundahan mencari model pesanan si bungsu, sebuah iklan sinetron terpampang besar di kawasan Kampung Melayu, Jatinegara. Isinya pas dengan judul permintaan Noval. ‘Sepatu Super’. Sejenak saya terenyuh jika anak saya jadi korban iklan, tetapi dalam sisi lain, saya banyak belajar bahwa ‘sinetron’ benar-benar telah menjadi cermin kehidupan banyak anak-anak negeri ini. Tentu saya amat takut jika sinetron ‘sepatu super’ ini bisa membuat anak saya menjadi materialistis, dan berprilaku serba instant. Apalagi Noval terang-terangan ingin mengganti namanya menjadi ‘Ramadhan’ tokoh pemilik sepatu ajaib itu. Untuk saja materi sinetron ini punya pesan lain, jika dalam kehidupan selalu saja hal yang tak terduga (jika tak layak disebut mukjizat), yang kerap mengiringi perjalanan kehidupan seseorang.
Beda Noval dengan Refa, kakak sulungnya. Putraku yang sebelas tahun tak pernah menikmati rasa ‘nasi’ ini, punya permintaan sederhana. Ia hanya ingin dibelikan sepasang raket bulu tangkis, yang ia ingin pakai saat-saat istrahat belajar di sekolahnya. Ia minta sepasang agar bisa bermain dengan adiknya sendiri, putri kesayanganku Refi Rabiyatul Adawiyah, yang kali ini tak punya pesanan. Refi kerap bertindak dewasa karena ia anak tengah antara Refa dan Noval. Tetapi ia punya tabiat manja berlebihan, mungkin karena ia anak perempuan sendiri, bahkan terbilang satu-satunya anak perempuan dari cucu-cucu orang tuaku.
Soal raket ini, memang tak seberat mencari sepatu super Noval. Sebab dimana-mana banyak terjual dari yang murahan hingga kelas dunia. Maklumlah negeri ini dikenal karena pemain bulu tangkisnya. Tetapi, intensitas Refa menghubungi saya sebagai ayahnya yang dipisahkan jarak, memberikan banyak pelajaran jika anak-anak saya telah mengajarkan pentingnya ‘komunikasi keluarga’ antara saya, ibunya dan ketiga buah hati ini. Apalagi membangun komunikasi keluarga ini bukanlah barang mahal, sebab teknologi telah menyiapkannya dengan begitu murah. Namun begitu, tersirat amat dalam, jika komunikasi ini tidak sekedar ‘telepon-teleponan’, tetapi intensitas hubungan hati dengan mereka yang ditinggalkan, istriku dan ketiga anak-anakku. Bagi saya ini pelajaran teramat penting dalam egosime pikiran yang selalu ingin sendiri, dan larut dalam sebuah cita-cita yang belum berujung. Namun apapun yang saya lakukan, tentu untuk mereka juga. Minimal ‘membiasakan’ mereka untuk hidup survive, bertahan tanpa ayah, hingga kelak mereka menjadi generasi yang punya ‘need of achievement’, ‘need of success’ , bahwa hidup memang tidak selalu sempurna.
Terima kasih istriku, cini dan buah hatiku, Refa, Refi dan Noval...!
Kalian memberiku satu ilmu baru...
------------------------
Sore hari Jakarta, 12 April 2013
Maaf..saya tak ingin terjebak jauh dalam teori-teori itu, saya hanya memulai prakata diatas untuk mengingat pesan yang selalu diberikan si bungsu Noval (8 tahun) dan si Sulung Refa (11 tahun) melalui ponsel ibunya. Noval amat merindukan hadirnya ‘sepatu super’ yang akan menjadi miliknya. Awalnya saya kebingungan bagaimana rupa sepatu ajaib itu. Ia hanya memberi isyarat jika sepatu itu berwarna keemasan, bertali dan punya ikatan atas. Noval tak bercerita jika sepatu impiannya itu, ia tonton melalui seri sinetron sebuah televisi swasta. Sebagai ayah, saya berjanji akan memberi impiannya itu, bahkan dengan jawaban, “tunggu saja, sepatu itu masih sementara dibuat di Jakarta”. Noval tertawa kecil tanda amat senang, meski ini masih sebatas janji. Bagi saya ‘janji’ kepada si bungsu sama pentingnya dengan ‘membangun konsensus’ dalm ilmu pencitraan politik. (hehehe..anak jadi korban teori perkuliahan).
Dalam kegundahan mencari model pesanan si bungsu, sebuah iklan sinetron terpampang besar di kawasan Kampung Melayu, Jatinegara. Isinya pas dengan judul permintaan Noval. ‘Sepatu Super’. Sejenak saya terenyuh jika anak saya jadi korban iklan, tetapi dalam sisi lain, saya banyak belajar bahwa ‘sinetron’ benar-benar telah menjadi cermin kehidupan banyak anak-anak negeri ini. Tentu saya amat takut jika sinetron ‘sepatu super’ ini bisa membuat anak saya menjadi materialistis, dan berprilaku serba instant. Apalagi Noval terang-terangan ingin mengganti namanya menjadi ‘Ramadhan’ tokoh pemilik sepatu ajaib itu. Untuk saja materi sinetron ini punya pesan lain, jika dalam kehidupan selalu saja hal yang tak terduga (jika tak layak disebut mukjizat), yang kerap mengiringi perjalanan kehidupan seseorang.
Beda Noval dengan Refa, kakak sulungnya. Putraku yang sebelas tahun tak pernah menikmati rasa ‘nasi’ ini, punya permintaan sederhana. Ia hanya ingin dibelikan sepasang raket bulu tangkis, yang ia ingin pakai saat-saat istrahat belajar di sekolahnya. Ia minta sepasang agar bisa bermain dengan adiknya sendiri, putri kesayanganku Refi Rabiyatul Adawiyah, yang kali ini tak punya pesanan. Refi kerap bertindak dewasa karena ia anak tengah antara Refa dan Noval. Tetapi ia punya tabiat manja berlebihan, mungkin karena ia anak perempuan sendiri, bahkan terbilang satu-satunya anak perempuan dari cucu-cucu orang tuaku.
Soal raket ini, memang tak seberat mencari sepatu super Noval. Sebab dimana-mana banyak terjual dari yang murahan hingga kelas dunia. Maklumlah negeri ini dikenal karena pemain bulu tangkisnya. Tetapi, intensitas Refa menghubungi saya sebagai ayahnya yang dipisahkan jarak, memberikan banyak pelajaran jika anak-anak saya telah mengajarkan pentingnya ‘komunikasi keluarga’ antara saya, ibunya dan ketiga buah hati ini. Apalagi membangun komunikasi keluarga ini bukanlah barang mahal, sebab teknologi telah menyiapkannya dengan begitu murah. Namun begitu, tersirat amat dalam, jika komunikasi ini tidak sekedar ‘telepon-teleponan’, tetapi intensitas hubungan hati dengan mereka yang ditinggalkan, istriku dan ketiga anak-anakku. Bagi saya ini pelajaran teramat penting dalam egosime pikiran yang selalu ingin sendiri, dan larut dalam sebuah cita-cita yang belum berujung. Namun apapun yang saya lakukan, tentu untuk mereka juga. Minimal ‘membiasakan’ mereka untuk hidup survive, bertahan tanpa ayah, hingga kelak mereka menjadi generasi yang punya ‘need of achievement’, ‘need of success’ , bahwa hidup memang tidak selalu sempurna.
Terima kasih istriku, cini dan buah hatiku, Refa, Refi dan Noval...!
Kalian memberiku satu ilmu baru...
------------------------
Sore hari Jakarta, 12 April 2013
2 komentar
Ali
Aliran