SAYA kerap merasa geli dan tertawa sendiri tatkala mengingat masa-masa kecil ketika SMP Negeri 2 Pangkep era tahun 87-an. Kegelian itu muncul saat mengingat dua nama guru bahasa inggris saya, Ibu Agustina dan Pak Munir, dua orang yang punya watak berbeda. Ibu Agus, cantik dan rada seksi hingga ia kerap digoda siswanya sendiri. Sangat pas dengan hadirnya lagu lawas yang hits kala itu “ibu guruku cantik sekali, mengajar kami bahasa inggris..”. Sementara Pak Munir, sosok guru yang ‘inggris banget’, saking tulennya terhadap bahasa Inggris kerap saya mencandai beliau dengan kalimat seperti ini, “Bermimpi sekalipun, Pak Munir menggunakan bahasa Inggris”. Soal Pak Munir, saya amat mengenalnya, sebab beliau adalah kerabat keluarga saya, dan setiap bertemu beliau mewajibkan saya menyapanya dengan berbahasa Inggris. Sebuah ‘perbuatan’ yang membuat saya enggan bertemu beliau (hehehe).
Namun yang pasti, satu kesamaan mendasar antara Ibu Agustina dan Pak Munir adalah sosoknya yang tegas dalam mengajar termasuk dalam memberi tugas ‘PR’ bahasa Inggris ini. Saking tegasnya, kedua guru kesayangan ini rasanya menjelma seperti hantu. Saya baru maklum, jika ketegasan beliau-beliau semata didasari agar kemampuan bahasa Inggris siswanya bisa meningkat dari waktu ke waktu. Namun baru juga saya sadari jika sebenarnya ‘pola ketegasan’ ini secara psikologis memberi dampak buruk pada siswa terutama saya, yang merasakan beban berat ketika berhadapan dengan pelajaran ini. Bahkan dampak itu terasa hingga saat saya bersiap-siap memasuki jenjang pendidikan doktoral di Universitas Indonesia. Mungkin bukan hanya saya, banyak kawan-kawan ‘calon doktor’ juga ikut merasakan Bahasa Inggris ini sebagai ‘hantu akademik’ yang sepertinya bakal menjadi pengganjal dalam menghadapi ujian masuk di kampus terbesar di negeri ini.
Rasanya, saya ingin kembali ke lorong-lorong waktu tatkala masih duduk di bangku SMP, rasanya saya ingin kembali berhadapan dengan Ibu Agustina yang cantik dan galak itu, juga dengan Pak Munir yang setiap harinya ‘berburu’ Bule di Kota Pangkep sekedar untuk menikmati celotehan bahasa Inggris-nya. Saya baru tersadar, jika kemampuan berbahasa Inggris hanya dengan model percakapan ‘pasar’ tak cukup menjadi jaminan seseorang menyandang predikat calon mahasiswa doktor. Apalagi model-model ujiannya juga terasa asing dikuping, dari TOEFL, TOEIC hingga IELF. (entah apa singkatannya..rasanya ini seperti menjelma bak Jin Ifrit. Kok Jin yang dijadikan kambing hitam?)
Sepertinya saya ingin mengkritisi kebijakan kampus (bisa juga pemerintah) yang sepertinya mewajibkan kemampuan berbahasa Inggris seorang calon mahasiswa doktoral. Subjektifitas saya, kita ini orang Indonesia dipaksa mendapatkan selembar score TOEFL hanya untuk pemenuhan standar akademik yang mengikuti gaya barat. Apalagi saya tak pernah bermimpi akan bekerja di ‘negeri Bule’ sana. Mengapa tidak seperti kebijakan ala negara China yang begitu mudah memberi skor TOEFL tinggi bagi calon mahasiswa-nya yang akan kuliah keluar negeri? hitungan mereka sederhana. Apalah arti secarik kertas TOEFL itu? Berikan saja, sebab ketika di luar negeri, maka ia secara otomatis akan beradaptasi dengan bahasa dilingkungannya. Masa’ selama tiga tahun tidak bisa berbahasa Inggris jika dijejali ‘kata-kata’ itu saja. Saya sekalipun yang melihat bahasa Inggris sebagai hantu, lama kelamaan juga tidak ketakutan lagi.
Yah..apa boleh buat, ini resiko akademik yang siap-siap saya hadapi dikemudian hari. Apalagi, saya merasa tersugesti dengan tulisan rekan Yusran Darmawan, seorang anak Buton yang kini tengah menimba ilmu di Amerika sana. Beliau bertutur dalam tulisannya, “tak perlu ragu dengan Bahasa Inggris, sebab seorang Reinald Kasali-pun yang kini seorang guru besar di Universitas Indonesia, selama menimba ilmu di Amerika, bukanlah penutur bahasa Inggris yang baik”. Saya lalu bertanya pada diri sendiri, mengapa harus menjadikannya hantu? Tetaplah optimis sebab pada dasarnya saya cukup memiliki banyak vocabulary yang tentu menjadi modal dasar saya menghadapi ‘hantu blaw’ itu.
Kini saya punya pikiran sendiri. Dua ujian yang siap saya hadapi TPA dan TOEFL salah satunya harus ada yang lebih istimewa. Tentu bisa ditebak, saya lebih memilih fokus ke Tes Potensi Akademik ini. Soal TOEFL-nya biarlah waktu yang akan menjawabnya. Sebab saya sendiri punya keyakinan, jika hantu ini bisa saya beragus dengan sendirinya. “Don’t Worry, yesterday is nice day for you..keep spirit!” (enggak salah lagi nih? Hahahaha)...
Catatan Dihari Jakarta, 11 April 2013.
------
Namun yang pasti, satu kesamaan mendasar antara Ibu Agustina dan Pak Munir adalah sosoknya yang tegas dalam mengajar termasuk dalam memberi tugas ‘PR’ bahasa Inggris ini. Saking tegasnya, kedua guru kesayangan ini rasanya menjelma seperti hantu. Saya baru maklum, jika ketegasan beliau-beliau semata didasari agar kemampuan bahasa Inggris siswanya bisa meningkat dari waktu ke waktu. Namun baru juga saya sadari jika sebenarnya ‘pola ketegasan’ ini secara psikologis memberi dampak buruk pada siswa terutama saya, yang merasakan beban berat ketika berhadapan dengan pelajaran ini. Bahkan dampak itu terasa hingga saat saya bersiap-siap memasuki jenjang pendidikan doktoral di Universitas Indonesia. Mungkin bukan hanya saya, banyak kawan-kawan ‘calon doktor’ juga ikut merasakan Bahasa Inggris ini sebagai ‘hantu akademik’ yang sepertinya bakal menjadi pengganjal dalam menghadapi ujian masuk di kampus terbesar di negeri ini.
Rasanya, saya ingin kembali ke lorong-lorong waktu tatkala masih duduk di bangku SMP, rasanya saya ingin kembali berhadapan dengan Ibu Agustina yang cantik dan galak itu, juga dengan Pak Munir yang setiap harinya ‘berburu’ Bule di Kota Pangkep sekedar untuk menikmati celotehan bahasa Inggris-nya. Saya baru tersadar, jika kemampuan berbahasa Inggris hanya dengan model percakapan ‘pasar’ tak cukup menjadi jaminan seseorang menyandang predikat calon mahasiswa doktor. Apalagi model-model ujiannya juga terasa asing dikuping, dari TOEFL, TOEIC hingga IELF. (entah apa singkatannya..rasanya ini seperti menjelma bak Jin Ifrit. Kok Jin yang dijadikan kambing hitam?)
Sepertinya saya ingin mengkritisi kebijakan kampus (bisa juga pemerintah) yang sepertinya mewajibkan kemampuan berbahasa Inggris seorang calon mahasiswa doktoral. Subjektifitas saya, kita ini orang Indonesia dipaksa mendapatkan selembar score TOEFL hanya untuk pemenuhan standar akademik yang mengikuti gaya barat. Apalagi saya tak pernah bermimpi akan bekerja di ‘negeri Bule’ sana. Mengapa tidak seperti kebijakan ala negara China yang begitu mudah memberi skor TOEFL tinggi bagi calon mahasiswa-nya yang akan kuliah keluar negeri? hitungan mereka sederhana. Apalah arti secarik kertas TOEFL itu? Berikan saja, sebab ketika di luar negeri, maka ia secara otomatis akan beradaptasi dengan bahasa dilingkungannya. Masa’ selama tiga tahun tidak bisa berbahasa Inggris jika dijejali ‘kata-kata’ itu saja. Saya sekalipun yang melihat bahasa Inggris sebagai hantu, lama kelamaan juga tidak ketakutan lagi.
Yah..apa boleh buat, ini resiko akademik yang siap-siap saya hadapi dikemudian hari. Apalagi, saya merasa tersugesti dengan tulisan rekan Yusran Darmawan, seorang anak Buton yang kini tengah menimba ilmu di Amerika sana. Beliau bertutur dalam tulisannya, “tak perlu ragu dengan Bahasa Inggris, sebab seorang Reinald Kasali-pun yang kini seorang guru besar di Universitas Indonesia, selama menimba ilmu di Amerika, bukanlah penutur bahasa Inggris yang baik”. Saya lalu bertanya pada diri sendiri, mengapa harus menjadikannya hantu? Tetaplah optimis sebab pada dasarnya saya cukup memiliki banyak vocabulary yang tentu menjadi modal dasar saya menghadapi ‘hantu blaw’ itu.
Kini saya punya pikiran sendiri. Dua ujian yang siap saya hadapi TPA dan TOEFL salah satunya harus ada yang lebih istimewa. Tentu bisa ditebak, saya lebih memilih fokus ke Tes Potensi Akademik ini. Soal TOEFL-nya biarlah waktu yang akan menjawabnya. Sebab saya sendiri punya keyakinan, jika hantu ini bisa saya beragus dengan sendirinya. “Don’t Worry, yesterday is nice day for you..keep spirit!” (enggak salah lagi nih? Hahahaha)...
Catatan Dihari Jakarta, 11 April 2013.
------