Interaksi Simbolik Media
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang berinteraksi yang tidak hanya melulu berinteraksi secara ekslusif antar manusia, tetapi juga inklusif dengan seluruh mikrokosmos. Terkadang manusia dalam interaksi sosialnya di sadari maupun tidak sering menampakkan fenomena-fenomena yang berupa simbol-simbol dan mempunyai banyak pemaknaan yang beragam antar individu. Fenomena berupa simbol-simbol yang bisa ditangkap dan dimaknai di masyarakat merupakan refleksi dari fenomena interaksionisme simbolis. Pemaknaan tersebut didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut.
Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang di maksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum (makhluk simbolis) selain animal sociosus (makhluk berteman, berelasi) dan konsep tentang manusia lainnya. Fokus tulisan ini ialah diri manusia meurut perspektif teori interaksi simbolik.
Apa itu "Teori Interaksi Simbolik"? Teori interaksi simbolik berinduk pada perspektif fenomenologis. Istilah fenomenologis, menurut Natanson, merupakan satu istilah generik yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna obyektifnya sebagai titik sentral untuk memperoleh pengertian atas tindakan manusia dalam sosial masyarakat. Pada tahun 1950-an dan 1960-an perspektif fenomenologis mengalami kemunduran. Surutnya perspektif fenomenologis memberi kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memunculkan teori baru dalam bidang ilmu sosial. Kemudian muncullah teori interaksi simbolik yang segera mendapat tempat utama dan mengalami perkembangan pesat hingga saat ini. Max Weber adalah orang yang turut berjasa besar dalam memunculkan teori interaksi simbolik. Beliau pertama kali mendefinisikan tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada. Sebuah tindakan bermakna sosial manakala tindakan tersebut timbul dan berasal dari kesadaran subyektif dan mengandung makna intersubyektif. Artinya terkait dengan orang di luar dirinya. Teori interaksi simbolik dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau menyebabkan perilaku tertentu yang kemudian membentuk simbolisasi dalam interaksi sosial masyarakat. Teori interaksi simbolik menuntut setiap individu mesti proaktif, refleksif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit dan sulit diinterpretasikan. Teori interaksi simbolik menekankan dua hal. Pertama, manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi sosial. Kedua ialah bahwa interaksi dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung dinamis.
Teori ini akan berhubungan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, Interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Paham interaksi simbolis ditujukan untuk mempelajari cara sekumpulan orang membentuk makna suatu objek. Interaksi simbolis (SI-Symbolic Interactionism) merupakan sebuah cara berpikir mengenai pikiran, individu, dan masyarakat yang memiliki peranan yang cukup besar pada tradisi sosiokultural dalam teori komunikasi. Dengan adanya landasan dalam bidang sosiologi SI menjelaskan bahwa selama seorang individu berinteraksi dengan individu lainnya, mereka tengah bertukar pemahaman mengenai tindakan dan situasi tertentu. Interaksi antarindividu melibatkan suatu pertukaran simbol. KeTika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antara individu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Pada akhirnya interaksi melalui simbol yang baik, benar dan dipahami secara utuh akan membidani lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup manusia.
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang berinteraksi yang tidak hanya melulu berinteraksi secara ekslusif antar manusia, tetapi juga inklusif dengan seluruh mikrokosmos. Terkadang manusia dalam interaksi sosialnya di sadari maupun tidak sering menampakkan fenomena-fenomena yang berupa simbol-simbol dan mempunyai banyak pemaknaan yang beragam antar individu. Fenomena berupa simbol-simbol yang bisa ditangkap dan dimaknai di masyarakat merupakan refleksi dari fenomena interaksionisme simbolis. Pemaknaan tersebut didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut.
Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang di maksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum (makhluk simbolis) selain animal sociosus (makhluk berteman, berelasi) dan konsep tentang manusia lainnya. Fokus tulisan ini ialah diri manusia meurut perspektif teori interaksi simbolik.
Apa itu "Teori Interaksi Simbolik"? Teori interaksi simbolik berinduk pada perspektif fenomenologis. Istilah fenomenologis, menurut Natanson, merupakan satu istilah generik yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna obyektifnya sebagai titik sentral untuk memperoleh pengertian atas tindakan manusia dalam sosial masyarakat. Pada tahun 1950-an dan 1960-an perspektif fenomenologis mengalami kemunduran. Surutnya perspektif fenomenologis memberi kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memunculkan teori baru dalam bidang ilmu sosial. Kemudian muncullah teori interaksi simbolik yang segera mendapat tempat utama dan mengalami perkembangan pesat hingga saat ini. Max Weber adalah orang yang turut berjasa besar dalam memunculkan teori interaksi simbolik. Beliau pertama kali mendefinisikan tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada. Sebuah tindakan bermakna sosial manakala tindakan tersebut timbul dan berasal dari kesadaran subyektif dan mengandung makna intersubyektif. Artinya terkait dengan orang di luar dirinya. Teori interaksi simbolik dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau menyebabkan perilaku tertentu yang kemudian membentuk simbolisasi dalam interaksi sosial masyarakat. Teori interaksi simbolik menuntut setiap individu mesti proaktif, refleksif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit dan sulit diinterpretasikan. Teori interaksi simbolik menekankan dua hal. Pertama, manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi sosial. Kedua ialah bahwa interaksi dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung dinamis.
Teori ini akan berhubungan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, Interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Paham interaksi simbolis ditujukan untuk mempelajari cara sekumpulan orang membentuk makna suatu objek. Interaksi simbolis (SI-Symbolic Interactionism) merupakan sebuah cara berpikir mengenai pikiran, individu, dan masyarakat yang memiliki peranan yang cukup besar pada tradisi sosiokultural dalam teori komunikasi. Dengan adanya landasan dalam bidang sosiologi SI menjelaskan bahwa selama seorang individu berinteraksi dengan individu lainnya, mereka tengah bertukar pemahaman mengenai tindakan dan situasi tertentu. Interaksi antarindividu melibatkan suatu pertukaran simbol. KeTika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antara individu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Pada akhirnya interaksi melalui simbol yang baik, benar dan dipahami secara utuh akan membidani lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup manusia.
PEMBAHASAN
Tokoh-tokoh interaksi simbolik
George Herbert Mead dipandang sebagai tokoh utama dikalangan penganut interaksionisme terdahulu. Mead dipandang sebagai orang pertama yang menjelaskan doktrin filsafat interaksionisme simbolis yang benar-benar konsisten. George Herbert Mead adalah salah satu pencetus paham interaksi simbolis, dan ia mengemukakan bahwa makna atau pemahaman muncul dari proses interaksi manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui tindakan dan tanggapan, kita membentuk makna tentang suatu kata dan tindakan serta memahami suatu peristiwa tertentu.
Tokoh teori simbolik antara laian : George Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Asumsi-asumsi teori:
Tokoh teori simbolik antara laian : George Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Asumsi-asumsi teori:
- Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi.
- Interaksi simbolik mencakup pernafsiran tindakan. interaksi non simbolik hanyalah mencakup stimulus respon yang sederhana.
Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism. Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat. Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.
Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society). Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata ‘kampungan’ tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society). Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata ‘kampungan’ tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
George Herbert Mead
Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau arab. Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentah-mentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.
Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan. Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial. Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the role of the other).
Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.
Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain tersebut untuk dan dalam melihat diri kita. Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language).
Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih personal, yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita sudah jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.
Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat demikian. Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara gamblang.
Proses Penelitian
Dalam pemaknaan interaksi simbolik, bisa melalui proses: (1) terjemah (translation) dengan cara mengalih bahasakan dari penduduk asli dan memindahkan rekaman ke tulisan; (2) penafsiran, perlu dicari latar belakangnya, konteksnya, agar terangkum konsep yang jelas; (3) ekstrapolasi, lebih menekankan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji; (4) pemaknaan, menuntut kemampuan integratif manusia, inderawinya, daya pikirnya, dan akal budi.
Pemaknaan sebaiknya memang tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh. Penafsiran semacam ini menurut Moleong (2001:11) lebih esensial dalam interaksi simbolik. Oleh karena interaksi menjadi paradigma konseptual yang melebihi “dorongan dari dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”, “kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, atau lingkungan fisiknya. Konsep teoritik mungkin bermanfaat, namun hanya relevan sepanjang memasuki proses pendefinisian.
Implikasi interaksi simbolik menurut Denzin (Mulyana, 2002:149) perlu memperhatikan tujuh hal, yaitu: (1) simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas, (2) peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek, (3) peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi, (4) setting dan pengamatan harus dicatat, (5) metode harus mencernunkan proses perubahan, (6) pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik, (7) penggunaan konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional, proposisi yang dibangun interaksional dan universal.
Atas dasar berbagai rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif, melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku.
Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya.
Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi fokus penelitian jnodel interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik.
Oleh karena kemajuan zaman semakin pesat, peneliti juga perlu memperhatikan ketika pelaku budaya berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin sekali mereka berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat dan lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan incaran peneliti interaksionis simbolik. Yang perlu diingat oleh peneliti budaya adalah, bahwa pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama. Karena itu dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam. Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti.
Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadangkadang juga dalam interaksi kecil antar individu.
Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya menggunakan simbol-simbol ,
unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi. Katakan saja, kemenyan dan bunga kantil, keduanya kalau berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun, ketika benda tersebut diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh seorang dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik ‘ itu bermakna.
Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksionis simbolik, yaitu: (1) simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif, (2) pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim, (3) pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku, (4) makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksionis simbolik merupakan model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna prosesi budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan terungkap makna di balik interaksi budaya antar pelaku. Tentu saja, yang diharapkan adalah pengungkapan proses budaya secara natural, bukan situasi buatan.
Memang harus disadari bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksionisme simbolik lebih memahami hal-hal yang.kpnkret dalam interaksi baru ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak tampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemaknaan simbol berdasarkan interaksi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya.
Tiga konsep utama dalam teori Mead adalah ; Masyarakat, Individu, Pikiran
Masyarakat, atau kehidupan kelompok, melibatkan perilaku kooperatif dari anggota masyarakat. Adapun masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial dimana para partisipannya membentuk makna dari tindakan yang dilakukan oleh dirinya dan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol yang muncul. Hubungan masyarakat dapat terjadi karena adanya simbol. Kemampuan untuk menyuarakan simbol membuat kita dapat mendengar suara kita sendiri dan menanggapinya sebagaimana orang lain menanggapi apa yang kita suarakan. Bahkan institusi masyarakat dibentuk dari sejumlah interaksi dilakukan oleh orang-orang yang terlibat didalamnya.
Pengaruh antara memberi tanggapan pada orang lain dan memberi tanggapan pada diri sendiri merupakan konsep penting dalam teori Mead khususnya dalam menghasilkan suatu transisi yang baik terhadap konsep keduanya – individu.
Seorang individu memiliki dua bagian yang memiliki fungsi dasar masing-masing. Aku adalah bagian yang impulsif, tidak terstruktur, tidak memiliki tujuan, dan tidak terduga; sedangkan saya merupakan bagian dari persepsi umum dan menciptakan pola yang terstruktur dan konsisten.
Kemampuan Anda dalam menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menanggapi diri sendiri memungkinkan terjadinya proses berpikir. Berpikir adalah bagian dari konsep ketiga Mead, yaitu pikiran. Pikiran bukanlah suatu objek melainkan proses interaksi yang dilakukan dengan diri sendiri.
Berpikir melibatkan rasa ragu (penundaan suatu tindakan) saat Anda melakukan interpretasi terhadap suatu situasi. Dalam hal ini muncul pertimbangan terhadap situasi tersebut dan hal yang akan terjadi selanjutnya. Hal tersebut menyebabkan munculnya sejumlah alternatif dan jalan keluar.
Kapanpun dua atau lebih manusia dapat berkomunikasi satu sama lain, mereka dapat, berdasarkan persetujuan bersama, menjadikan sesuatu lainnya.
Misalnya, berikut ini adalah dua symbol.
X dan Y
Kita bisa sepakat menggunakan X untuk mewakili kancing dan Y mewakili ikatan simpul; kemudian kita dapat secara bebas mengubah kesepakatan kita menggunakan X untuk mewakili Bandung dan Y untuk mewakili Majalengka. Kita sebagai manusia, secara unik bebas menghasilkan, mengubah, dan menentukan nilai-niali bagi symbol-simbol sesuka kita. Setiap tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari itu muncul dari “aku”, sementara “saya” akan mengendalikan tindakan itu dengan memberikan arahan dan
Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau arab. Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentah-mentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.
Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan. Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial. Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the role of the other).
Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.
Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain tersebut untuk dan dalam melihat diri kita. Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language).
Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih personal, yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita sudah jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.
Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat demikian. Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara gamblang.
Proses Penelitian
Dalam pemaknaan interaksi simbolik, bisa melalui proses: (1) terjemah (translation) dengan cara mengalih bahasakan dari penduduk asli dan memindahkan rekaman ke tulisan; (2) penafsiran, perlu dicari latar belakangnya, konteksnya, agar terangkum konsep yang jelas; (3) ekstrapolasi, lebih menekankan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji; (4) pemaknaan, menuntut kemampuan integratif manusia, inderawinya, daya pikirnya, dan akal budi.
Pemaknaan sebaiknya memang tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh. Penafsiran semacam ini menurut Moleong (2001:11) lebih esensial dalam interaksi simbolik. Oleh karena interaksi menjadi paradigma konseptual yang melebihi “dorongan dari dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”, “kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, atau lingkungan fisiknya. Konsep teoritik mungkin bermanfaat, namun hanya relevan sepanjang memasuki proses pendefinisian.
Implikasi interaksi simbolik menurut Denzin (Mulyana, 2002:149) perlu memperhatikan tujuh hal, yaitu: (1) simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas, (2) peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek, (3) peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi, (4) setting dan pengamatan harus dicatat, (5) metode harus mencernunkan proses perubahan, (6) pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik, (7) penggunaan konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional, proposisi yang dibangun interaksional dan universal.
Atas dasar berbagai rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif, melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku.
Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya.
Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi fokus penelitian jnodel interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik.
Oleh karena kemajuan zaman semakin pesat, peneliti juga perlu memperhatikan ketika pelaku budaya berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin sekali mereka berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat dan lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan incaran peneliti interaksionis simbolik. Yang perlu diingat oleh peneliti budaya adalah, bahwa pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama. Karena itu dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam. Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti.
Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadangkadang juga dalam interaksi kecil antar individu.
Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya menggunakan simbol-simbol ,
unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi. Katakan saja, kemenyan dan bunga kantil, keduanya kalau berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun, ketika benda tersebut diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh seorang dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik ‘ itu bermakna.
Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksionis simbolik, yaitu: (1) simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif, (2) pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim, (3) pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku, (4) makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksionis simbolik merupakan model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna prosesi budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan terungkap makna di balik interaksi budaya antar pelaku. Tentu saja, yang diharapkan adalah pengungkapan proses budaya secara natural, bukan situasi buatan.
Memang harus disadari bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksionisme simbolik lebih memahami hal-hal yang.kpnkret dalam interaksi baru ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak tampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemaknaan simbol berdasarkan interaksi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya.
Tiga konsep utama dalam teori Mead adalah ; Masyarakat, Individu, Pikiran
Masyarakat, atau kehidupan kelompok, melibatkan perilaku kooperatif dari anggota masyarakat. Adapun masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial dimana para partisipannya membentuk makna dari tindakan yang dilakukan oleh dirinya dan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol yang muncul. Hubungan masyarakat dapat terjadi karena adanya simbol. Kemampuan untuk menyuarakan simbol membuat kita dapat mendengar suara kita sendiri dan menanggapinya sebagaimana orang lain menanggapi apa yang kita suarakan. Bahkan institusi masyarakat dibentuk dari sejumlah interaksi dilakukan oleh orang-orang yang terlibat didalamnya.
Pengaruh antara memberi tanggapan pada orang lain dan memberi tanggapan pada diri sendiri merupakan konsep penting dalam teori Mead khususnya dalam menghasilkan suatu transisi yang baik terhadap konsep keduanya – individu.
Seorang individu memiliki dua bagian yang memiliki fungsi dasar masing-masing. Aku adalah bagian yang impulsif, tidak terstruktur, tidak memiliki tujuan, dan tidak terduga; sedangkan saya merupakan bagian dari persepsi umum dan menciptakan pola yang terstruktur dan konsisten.
Kemampuan Anda dalam menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menanggapi diri sendiri memungkinkan terjadinya proses berpikir. Berpikir adalah bagian dari konsep ketiga Mead, yaitu pikiran. Pikiran bukanlah suatu objek melainkan proses interaksi yang dilakukan dengan diri sendiri.
Berpikir melibatkan rasa ragu (penundaan suatu tindakan) saat Anda melakukan interpretasi terhadap suatu situasi. Dalam hal ini muncul pertimbangan terhadap situasi tersebut dan hal yang akan terjadi selanjutnya. Hal tersebut menyebabkan munculnya sejumlah alternatif dan jalan keluar.
Kapanpun dua atau lebih manusia dapat berkomunikasi satu sama lain, mereka dapat, berdasarkan persetujuan bersama, menjadikan sesuatu lainnya.
Misalnya, berikut ini adalah dua symbol.
X dan Y
Kita bisa sepakat menggunakan X untuk mewakili kancing dan Y mewakili ikatan simpul; kemudian kita dapat secara bebas mengubah kesepakatan kita menggunakan X untuk mewakili Bandung dan Y untuk mewakili Majalengka. Kita sebagai manusia, secara unik bebas menghasilkan, mengubah, dan menentukan nilai-niali bagi symbol-simbol sesuka kita. Setiap tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari itu muncul dari “aku”, sementara “saya” akan mengendalikan tindakan itu dengan memberikan arahan dan
Perspektif Interaksi simbolik
Berusaha memahami budaya lewat prilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna “interaksi budaya sebuah komunitas” Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilakan simbol bermakna. Sebagai contoh, dalam film kabayan, tokoh kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar,, maka masyarakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika didesa tempat dia tinggal, masyarakat di sana memperlakukan kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Berinteraksi Melalui Simbol
Pada dasarnya teori interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakikat manusia yang adalah makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila kemudian teori interaksi simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori sosial lainnya. Alasannya idalah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang luar diirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol-misalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang dipakai-bersifat dinamis dan unik.
Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol yang muncul dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup mansuia dan lingkungannya.
Cara Kerja Teori Interaksionisme Simbolis Teori interaksionisme simbolis adalah suatu faham atau aliran yang implementasinya menginterpretasikan pemaknaan dalam interaksi sosial antar individu satu dengan yang lain dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna yang dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain yang bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus respons. Teori ini dicanangkan sebagai studi perilaku individu dan atau kelompok kecil masyarakat melalui serangkaian pengamatan dan deskripsi. Metode ini berlandaskan pada pengamatan atas apa yang diekspresikan orang meliputi penampilannya, gerak-geriknya, dan bahasa simbolik yang muncul dalam situasi sosial. Seperti yang diterangkan Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.
Kegunaan Teori iniKegunaan daripada teori ini ternyata sangat berpengaruh dalam kajian komunikasi
- Menggunakan teori ini untuk mengkritik penggambaran gender dalam iklan;
- Mempelajari pengaruh naratif dalam keluarga terhadap kemampuan seseorang untuk berkomunikasi mengenai kematian
- Mempelajari mengenai pilihan manajer untuk berkomunikasi tatap muka, komunikasi tertulis, dan komunikasi secra elektronik
- Menemukan bahwa teori ini membingkai perasaan orang dewasa yang lebih tua mengenai identitas gender
- Mengkaji organisasi sebagai sistem interpretasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik
- mengamati bahwa interaksi simbolik adalah sebuah komunikasi teori bukan satu teori yang sederhana
Kaitan Dengan Ilmu Lainnya
Interaksi simbolik ini kemudian saling bergandengan dengan studi media, cultural studies, fenomenologi, semiotika, posmodernisme, posstrukturalisme, etnografi, etnometodologi, dramaturgi, dekonstruksi, dan berbagai studi lainnya sebagai bagian yang erat dari tubuh komunikasi interaksi dalam memahami manusia dari titik pandang yang khas, meskipun tidak selamanya bisa ditemukan dengan jelas dimana batas antara ilmu yang satu dengan ilmu yang Lainnya.
Kerangka dan asumsi teori
Pentingnya Makna Bagi Perilaku Manusia
Teori interaksi sombolik berpegang pada individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. di butuhkan kontruksi interfretatif di antara orang-orang untuk menciftakan bahkan tujuan dari interaksi adalah menciptakan makna yang sama.
Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka
Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula.
Sebuah Contoh : cincin memiliki makna ketika orang berinteraksi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang penting ”cincin perkawinan dihubungkan dengan cinta dan komitmen”.cincin adalah simbol ikatan resmi dan emosional, dan karenanya kebanyakan orang menghubungkan simbol ini dengan konotasi fositif. Walaupun demikian, ada juga yang melihat pernikahan sebagai sebuah institusi yang operatifoarang tersebut akan memberikan reaksi yang negatif terhadap cincin kawin dan segala simbol lainnya yang meraka anggap sebagai situasi yang merendahkan.
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia
Dalam teori ini kita akan melihat makna ada melalui pemahaman bersama sebagai mana yang diaktakan oleh Mead, Mead menerangkan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut mead, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Pendapat Blumer ada tiga tanda untuk menjelaskan asal sebuah makna”
Pentingnya Makna Bagi Perilaku Manusia
Teori interaksi sombolik berpegang pada individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. di butuhkan kontruksi interfretatif di antara orang-orang untuk menciftakan bahkan tujuan dari interaksi adalah menciptakan makna yang sama.
Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka
Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula.
Sebuah Contoh : cincin memiliki makna ketika orang berinteraksi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang penting ”cincin perkawinan dihubungkan dengan cinta dan komitmen”.cincin adalah simbol ikatan resmi dan emosional, dan karenanya kebanyakan orang menghubungkan simbol ini dengan konotasi fositif. Walaupun demikian, ada juga yang melihat pernikahan sebagai sebuah institusi yang operatifoarang tersebut akan memberikan reaksi yang negatif terhadap cincin kawin dan segala simbol lainnya yang meraka anggap sebagai situasi yang merendahkan.
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia
Dalam teori ini kita akan melihat makna ada melalui pemahaman bersama sebagai mana yang diaktakan oleh Mead, Mead menerangkan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut mead, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Pendapat Blumer ada tiga tanda untuk menjelaskan asal sebuah makna”
- Pertama seatu pendekatan mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik dari benda.
- Asal-usul makna melihat makna itu
- Makna adalah ”produk sosial”
Makna dimodifikasi melalui proses interpretatif Kata blumer bahwa proses interfretatif ini memilki dua langkah , pertama para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna.
Kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna didalam kontek dimana mereka berada.
Pentingnya konsep diri
Tema kedua ini fokus kita kepada konsep diri ( self-concept), atau seperangkat persepsi yang relatif setabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Ketika roger (atau setiap para aktor sosial) menyatakan pertanyaan ” Siapa kah diri saya? ” maka jawabannya berhubungan dengan konsep diri, dan ini di akui oleh roger tentang ciri-ciri fisiknya, peranan, talenta, keadaan emosi, nilai, keterampilan, dan keterbatasan sosial, intelektualitas, dan seterunya membentuk konsep dirinya.
Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain
Pada konsep ini percaya bahwa orang-orang tidak lahir dari konsep diri, mereka belajar melalui interaksi mengasumsikan bahwa kita membangun perasaaan akan diri (sense of self) tidak selamanya dengan orang lain
Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku
Sebuah prinsip penting pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri memengaruhi perilaku.menurut Mead karena manusia memilki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berintraksi dengan dirinya sendiri, mekanisme ini yang menuntun perilaku dan sikap dan Mead melihat diri sebagai suatu proses bukan struktur. Memilki diri memaksakan orang untuk mngkontruksi tindakan dan responnya, daripada sekedar mengepresikannya. Kemudian dari proses itu baru pada tahap pemenuhan diri (self-fulfilling prophecy)
Hubungan antar individu dan masyarakat Tema yang terakhir berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Mead dan Blumer mengambil posisi di tengah untuk pertanyaan ini. Meraka mencoba untuk menjelskan baik mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah sebagai berikut:
- orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial
- Struktur Sosial dihasilkan melalui interaksi Sosial
Orang dan kelompok Dipengaruhi oleh Proses Sosial dan Budaya Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma membatasi perilaku individu. Contoh , ketika roger bersiap untuk hari pertama ditempat kerjanya yang baru, ia memilih jas biru tua, kemeja oxford putih, dan dasi berwarna merah tua dngan garis biru. Padahal kesukaaannya adalah celana jins dan kemeja flaned, tetapi dia lebih memilih pakaian yang diranya lebih pantas secara sosial dengan konteks kerjanya. Selain itu budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita angga penting dalam konsep diri.
Kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna didalam kontek dimana mereka berada.
Pentingnya konsep diri
Tema kedua ini fokus kita kepada konsep diri ( self-concept), atau seperangkat persepsi yang relatif setabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Ketika roger (atau setiap para aktor sosial) menyatakan pertanyaan ” Siapa kah diri saya? ” maka jawabannya berhubungan dengan konsep diri, dan ini di akui oleh roger tentang ciri-ciri fisiknya, peranan, talenta, keadaan emosi, nilai, keterampilan, dan keterbatasan sosial, intelektualitas, dan seterunya membentuk konsep dirinya.
Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain
Pada konsep ini percaya bahwa orang-orang tidak lahir dari konsep diri, mereka belajar melalui interaksi mengasumsikan bahwa kita membangun perasaaan akan diri (sense of self) tidak selamanya dengan orang lain
Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku
Sebuah prinsip penting pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri memengaruhi perilaku.menurut Mead karena manusia memilki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berintraksi dengan dirinya sendiri, mekanisme ini yang menuntun perilaku dan sikap dan Mead melihat diri sebagai suatu proses bukan struktur. Memilki diri memaksakan orang untuk mngkontruksi tindakan dan responnya, daripada sekedar mengepresikannya. Kemudian dari proses itu baru pada tahap pemenuhan diri (self-fulfilling prophecy)
Hubungan antar individu dan masyarakat Tema yang terakhir berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Mead dan Blumer mengambil posisi di tengah untuk pertanyaan ini. Meraka mencoba untuk menjelskan baik mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah sebagai berikut:
- orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial
- Struktur Sosial dihasilkan melalui interaksi Sosial
Orang dan kelompok Dipengaruhi oleh Proses Sosial dan Budaya Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma membatasi perilaku individu. Contoh , ketika roger bersiap untuk hari pertama ditempat kerjanya yang baru, ia memilih jas biru tua, kemeja oxford putih, dan dasi berwarna merah tua dngan garis biru. Padahal kesukaaannya adalah celana jins dan kemeja flaned, tetapi dia lebih memilih pakaian yang diranya lebih pantas secara sosial dengan konteks kerjanya. Selain itu budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita angga penting dalam konsep diri.
Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial
Asumsi menengahi posisi yang diamil oleh asumsi sebelumnya. Dan memertnyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situai sosial.
Contohnya, banyak tmpat kerja diamerika serikat mempunyai ketentuan ”jum’at kasual,’’ ketika karyawan memakai pakaian yang lebih kasual dibandingkan dengan pakaian kantor yang telah disepakati secara sosial. Dengan demikian, para partisipan dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak secara penuh dibatasi oleh hal tersebut. Dengan kata lain teoritikus percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan.
PENUTUP Teori interaksi simbolik adalah tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau menyebabkan perilaku tertentu yang kemudian membentuk simbolisasi dalam interaksi sosial masyarakat yang menuntut setiap individu mesti proaktif, refleksif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit dan sulit diinterpretasikan.
Bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Cara kerja teori ini berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan. Interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial, Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982).
Inti dari teori ini dalam aplikasi kehidupan sehari-hari: Mencoba mengajarkan individu untuk selalu bersipat empati (memahami perasaan dan pikiran orang lain, mengerti, memahami, Memposisikan diri kita sesuai dengan apa yang sedang orang lain rasakan) Karena dengan seperi itu hubungan sosial akan terjalin dengan baik, dan akan banyak kebaikan yang terlahir karena ini, serta dunia ini akan damai.
Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah pada intinya sebuah kerangka refensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini sebaliknya, membentuk perilaku manusia,” dengan argumen ini kita bisa melihat ketergantungannya antara individu dan masyrakat. Pada kenyataaannya teori ini membenutuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial. Sebagaimana diamati Kenneth J. smith dan linda beragumen bahwa masyarakat dibuat menjadi ”nyata” oleh interaksi individu-individu, yang hidup dan bekerja untuk membuat dunia sosial mereka bermakna” dan argumen ini sesuai dengan Mead bahwa individu adalah partisipan yang aktif dan reflektif terhadap kontek sosial.
Asumsi menengahi posisi yang diamil oleh asumsi sebelumnya. Dan memertnyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situai sosial.
Contohnya, banyak tmpat kerja diamerika serikat mempunyai ketentuan ”jum’at kasual,’’ ketika karyawan memakai pakaian yang lebih kasual dibandingkan dengan pakaian kantor yang telah disepakati secara sosial. Dengan demikian, para partisipan dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak secara penuh dibatasi oleh hal tersebut. Dengan kata lain teoritikus percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan.
PENUTUP Teori interaksi simbolik adalah tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau menyebabkan perilaku tertentu yang kemudian membentuk simbolisasi dalam interaksi sosial masyarakat yang menuntut setiap individu mesti proaktif, refleksif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit dan sulit diinterpretasikan.
Bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Cara kerja teori ini berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan. Interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial, Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982).
Inti dari teori ini dalam aplikasi kehidupan sehari-hari: Mencoba mengajarkan individu untuk selalu bersipat empati (memahami perasaan dan pikiran orang lain, mengerti, memahami, Memposisikan diri kita sesuai dengan apa yang sedang orang lain rasakan) Karena dengan seperi itu hubungan sosial akan terjalin dengan baik, dan akan banyak kebaikan yang terlahir karena ini, serta dunia ini akan damai.
Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah pada intinya sebuah kerangka refensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini sebaliknya, membentuk perilaku manusia,” dengan argumen ini kita bisa melihat ketergantungannya antara individu dan masyrakat. Pada kenyataaannya teori ini membenutuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial. Sebagaimana diamati Kenneth J. smith dan linda beragumen bahwa masyarakat dibuat menjadi ”nyata” oleh interaksi individu-individu, yang hidup dan bekerja untuk membuat dunia sosial mereka bermakna” dan argumen ini sesuai dengan Mead bahwa individu adalah partisipan yang aktif dan reflektif terhadap kontek sosial.