Najwa Shihab di acara bedah buku Pak Beye dan Kerabatnya.. |
Selain buku yang menjadi topik pembicaraan, Najwa yang tampil sebagai moderator menemani Mas Wisnu, Kang Pepih (selaku editor), Efendi Gazali (pakar Komunikasi) dan Asvi Adam Warman (sejarawan), terus mengoceh menyedot rasa bak di layar kaca.
Kenapa sulit? Sebagai perempuan Bugis, Nana begitu panggilan Najwa bagi audiensnya bukan sekedar melontar kekaguman akan kecerdasannya mengulas dan mengorek makna dari apa yang menjadi bahasan nara sumbernya. Tetapi Nana, mampu mengajak audiens-ya jauh menerawang dan mengupas Nana secara personal. Padahal, (biasanya) perempuan Bugis ’menabukan’ dirinya menjadi objek personal, apalagi dicandai dengan kalimat-kalimat yang mengarah pada kekaguman akan pesona yang dimilikinya.
Saya dan Najwa Shihab |
sesekali ’nyelekit’ menyerempet mengagumi Nana. Bahkan Efendi Gazali terkadang mengajak audiens untuk memberi aplaus pada diri seorang Nana. Apakah kagum dengan kecerdasannya? Sepertinya bukan itu saja..”Ada yang lain” pikirku menerawang sikap para pakar itu
Sebagai fans Nana di acara Mata Najwa, dan sebagai pria yang se-suku denga Nana, tentu ini moment tepat untuk mengenalnya lebih akrab.
”Anda Bugis juga?” Tanya Nana singkat mendahuluiku saat acara telah berakhir.
”Aku orang Rappang, Anda?” kata Nana lagi.
”Aku Pangkep campur Sidrap” jawabku..
”Waduh, kita sekampung” kata Nana tersenyum.
Baru tiga empat kalimat kami saling mengenal, Ari Budiman lagi-lagi iseng dan mendatangi kami
”Lancar berbahasa Bugis ya? Kata Ari pada Nana.
”Tidak” Nana kontan menjawab ”Tidak”. ”Lancar berbahasa Bugis ya? Kata Ari pada Nana.
Ari langsung kaku dan hanya mencuri pandang sesaat, sambil mengajakku berbicara tentang pribadi Nana.
Disnilah Saya berkesimpulan kalau sulit mejadi diri seorang Nana. Sebagai perempuan Bugis berdarah Arab, tentu ia paham dengan budaya perempuan Bugis yang tabu untuk ’pamer diri’, apalagi ia telah menikah dengan seorang lelaki bernama Ibrahim Assegaf. Lebih dari itu, Nana seorang Putri dari seorang tokoh dan ulama nasional, Quraisy Shihab, Menteri Agama era Kabinet Pembangunan VII, dan juga dikenal sebagai ahli tafsir dalam beberapa kajian-kajian Islam.
Disnilah Saya berkesimpulan kalau sulit mejadi diri seorang Nana. Sebagai perempuan Bugis berdarah Arab, tentu ia paham dengan budaya perempuan Bugis yang tabu untuk ’pamer diri’, apalagi ia telah menikah dengan seorang lelaki bernama Ibrahim Assegaf. Lebih dari itu, Nana seorang Putri dari seorang tokoh dan ulama nasional, Quraisy Shihab, Menteri Agama era Kabinet Pembangunan VII, dan juga dikenal sebagai ahli tafsir dalam beberapa kajian-kajian Islam.
Tetapi Nana yang lahir lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 16 September 1977 silam; bukanlah perempuan pesolek sebagaimana ketika orang telah menjadi figur publik tanah air. Nana saat acara itu tampil dalam balutan kosmetik yang sangat sederhana, juga dengan balutan pakaian yang ’enjoy’. Sangat rileks, se-rileks ia memoderatori acara bedah buku ini. Saya pun kagum dengan kesederhanaan penampilannya.
Nana.... Maafkan Saya.. Saya ingin bercerita kepada publik, bagaimana fisik Nana yang dikenali banyak orang hanya lewat media TV nasional. Menurutku, Nana seorang perempuan yang tingginya tak lebih dari 168 cm..tetapi sepintas telihat ia perempuan tinggi semampai. Letupannya di acara Mata Najwa, juga tidak
segarang saat kita berhadapan langsung dengannya. Nana seorang wanita lembut, namun terasa memiliki kualitas suara yang membuat kita rindu untuk banyak berbicara dengannya.
Saat berbicara, Alis Nana yang memayungi matanya pun ikut mengajak kita larut dengan suasana apa yang
menjadi topik bahasannya. Matanya tajam, seperti elang yang mematuk audiens-nya. Mata dan alisnya sangat ’seirama’ dengan hidung mancung khas darah arab, dan berpadu dengan bibirnya yang tiada berhenti menyunggingkan senyum, meski Nana sangat serius. Semuanya terbungkus rambut kecoklatan dan warna kulit yang putih cerah.
menjadi topik bahasannya. Matanya tajam, seperti elang yang mematuk audiens-nya. Mata dan alisnya sangat ’seirama’ dengan hidung mancung khas darah arab, dan berpadu dengan bibirnya yang tiada berhenti menyunggingkan senyum, meski Nana sangat serius. Semuanya terbungkus rambut kecoklatan dan warna kulit yang putih cerah.
Pastinya fisik Nana juga menjadi bagian yang sangat penting untuk mempesona audiens-nya, meski materi yang dibicarakannya sangat berat. Nana memiliki modal besar untuk menjadi ’peluru’ yang memaksakan audienssnya untuk mengerti materi apa yang sedang dibahasnya.
Memandang Nana membuat Saya berpikir irrasional. Kadang Saya berpikir..kecerdasan seorang wanita tidak cukup bila tidak dibungkus dengan fisik yang memadai. Pesona fisik, tentu menjadi ’pemanis’ dalam memuluskan apa yang menjadi impian seorang wanita. Apakah sebagai figur publik, atau bagi yang sementara mencari pekerjaan.
Saya hanya membayangkan, bila saja Nana bukan putri seorang Qurais Shihab, bila saja Nana bukan alumni
Hukum UI, dan tidak berdomisili di Jakarta, apakah Nana bisa sesukses ini? Bahkan Saya membayangkan, bagaimana nasib Nana bila dia memiliki fisik seperti itu, dan kemudian menjadi TKI di Malaysia atau di Timur Tengah sana? Memandang Nana dan berpikir ke dunia lain, memang bisa memberikan persepsi berbeda tentang seorang Najwa Shihab.
Hukum UI, dan tidak berdomisili di Jakarta, apakah Nana bisa sesukses ini? Bahkan Saya membayangkan, bagaimana nasib Nana bila dia memiliki fisik seperti itu, dan kemudian menjadi TKI di Malaysia atau di Timur Tengah sana? Memandang Nana dan berpikir ke dunia lain, memang bisa memberikan persepsi berbeda tentang seorang Najwa Shihab.
Satu hal yang membuat Saya bertanya besar pada diri seorang Nana. Dia bukan perempuan pemakai jilbab,
sebagaimana perempuan lain yang memiliki darah Bugis-Arab. Apalagi Nana seorang putri Quraisy Shihab, seorang ulama kondang negeri ini. Ya itulah Nana, yang merdeka dari alam pikiran orang lain.
Jakarta di Pagi Hari, 29 November2010