Saya tak ingin menyoal sejauhmana peringatan Hari Pahlawan 10 November yang diperingati Negara hari ini. Apa para petinggi kita masih merayakannya atau tidak? No Problem!, satu hal yang menarik menurut subjektifitas Saya adalah kemampuan Presiden Barrack Obama dalam membakar semangat nasionalisme Bangsa Indonesia, lewat pidatonya di Balairung UI Depok Jawa Barat hari ini (10/11).
Obama seolah paham dengan realitas psikologi Bangsa Indonesia yang kekentalan semangat ‘ber-Indonesia-nya’ mulai menipis . Hanya lewat ungkapan; Pulang Kampung, Bagian dari Indonesia, Bakso, Sate dan kata pamungkas ‘Bhinneka Tunggal Ika’, 6000-an hadirin bergemuruh, bahkan mungkin jutaan pemirsa TV di Indonesia berdecak kagum menyaksikan kepiawaian Obama dalam berorasi. Obama berhasil menyihir bangsa ini, Obama bagai Bung Tomo di Surabaya yang membakar semangat arek-arek Suroboyo dalam melawan sekutu saat itu.
Presiden Barrack Hussein Obama (dok. campagne obama) |
Ketika mendengar pidato Obama, sejenak hadirin melupakan derita bencana Merapi, Mentawai dan Wasior, sama ketika Bung Tomo meneriakkan kata ‘Allahu Akbar dan Merdeka’, Arek-arek Suroboyo terus bergerak maju dan melupakan bila yang dihadapinya adalah peluru tajam dan bayonet. Pidato Obama seolah membenarkan Model Teori Opinion leadher, bahwa apapun yang dibicarakannya adalah sebuah kebenaran, apapun yang diperbuatnya adalah sebuah keniscayaan. Bahkan mungkin bisa disebut model Teori Peluru dalam Ilmu Komunikasi. Apa itu? Sebuah teori dimana komunikator menembaki khalayak dengan pesan-pesan persuasive yang tidak dapat mereka tahan.
Kenapa justru Obama yang bisa melakukan itu semua? Kenapa bukan Pak Susilo Bambang Yudhoyono (maaf saya kurang suka dengan singkatan SBY), Pak Presiden kita sendiri? Padahal boleh jadi, pidato-pidato Pak Susilo jauh syarat makna ketimbang pidato Obama yang lebih cenderung bernostalgia dengan masa kecilnya di Jakarta. Bahkan ketika menyebut ‘Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity’ Obama seolah membangun kejayaan Indonesia masa lalu sesaat Presiden Suharto berkuasa. Ini yang telah banyak dilupakan generasi kita saat ini, bahkan mungkin secara sengaja para pemimpin negeri ini melupakannya.
Meski kehadiran Obama yang over protektif dan membuat lalu lintas Jakarta ‘kacau balau’. Tapi Jakarta seolah memaafkannya. Mengeluh tetapi masih bisa menerima kondisi itu. Jakarta telah menjadi kota pemaaf bagi seorang Obama, tentu dengan sejuta alasan yang melekat pada privasi seorang Presiden Barrack Obama. Obama pula telah mengingatkan Saya cerita ketokohan seorang Presiden Seoharto semasa berkuasa, saat beliau berkunjung ke Thailand. Apa itu? Saat Garuda mendarat di Bandara Internasional Bangkok, semua orang di Bandara terdiam dan ingin melihat seperti apa seorang Soeharto. Karena senyap, yang dominan terdengar hanya suara tak-tik-tuk sepatu Pak Harto.
Obama juga telah mengingatkan Saya akan cerita-cerita heroik Orasi seorang Presiden Soekarno, dimana pidatonya mampu membakar semangat nasionalisme bangsa ini. Bahkan seorang Presiden Rusia pun saat itu hanya melongo mendengar pidato-pidato Bung Karno. Artinya, Bangsa Indonesia sejak dulu memiliki tokoh-tokoh yang sangat hebat, yang tentu harus kita kenang di momentum Hari Pahlawan, hari ini.
Memang kedekatan emosional Presiden Obama dibanding mantan presiden Amerika lainnya bagi Indonesia tentu berbeda. Apalagi Obama juga mengakui kalau Indonesia adalah negeri keduanya. Negeri yang telah mengajarkannya sebuah keragaman yang berbeda. Negeri yang telah memperkenalkannya akan kenikmatan Bakso, nasi goreng, emping dan sebagainya. Bahkan Obama juga ingin bernostalgia dengan Menteng Dalam, Masjid Istiqlal, Bundaran HI hingga Sarinah.
Obama seolah tahu benar, kalau Orang Indonesia sesungguhnya bangsa yang suka mengagung-agungkan masa lalu, namun telah melupakan apa yang harus dilakukan kedepan. Obama juga tahu, kalau ‘negeri keduanya’ itu Nasionalisme-nya telah porak-poranda karena-nya perlu ‘dibangunkan’ dengan cerita-cerita sederhana, tak perlu bermutu, namun sederhana untuk dicerna. Itu mungkin yang disebutnya dengan Carakter Building.
Obama juga seolah tahu benar, bila Amerika itu sebuah ‘hope’ bagi Indonesia saat ini, sehingga dia juga menggelontorkan tawaran belajar ke Amerika. Sebuah mimpi generasi, termasuk Saya. Sayang, Saya belum memiliki channel, duit untuk ke sana.
Obama bahkan mungkin paham sekali, kalau Bangsa besar yang konon disebut sebagai Benua yang hilang itu, pernah memiliki budaya toleransi, semangat saling menghargai, saling menerima perbedaan, namun kini tergerus dalam silang pendapat yang tak kunjung selesai. Makanya wajarlah kemudian jika Ibu Negara Michelle, harus menggunakan pakaian tertutup, lengkap dengan kerudung, saat mengunjungi Masjid Istiqlal. Boleh jadi, Obama mengajarkan kita akan sebuah metode, bagaimana cara untuk kembali menjadi bangsa yang disegani dunia.
Selebihnya, Obama seolah menjadikan dirinya simbol kemajuan dunia ketiga, dimana seorang kulit hitam, mampu menjadi Presiden di Negara Adi Daya sekelas Amerika. Juga memberi contoh kalau sebenarnya sosok Presiden itu adalah ‘pengatur’ bukan subjek yang harus diatur.
Tentu banyak hal yang bisa dipetik dari perjalanan singkat Presiden Obama di Indonesia. Bukan sekadar ber-negatif thinking dan menganggap diri sendiri sebagai yang terbaik. Obama adalah sebuah realitas yang telah ‘mengetuk’ ke Indonesian kita, yang kaya dengan kemajemukan, kaya dengan keindahan, kaya dengan semangat kegotong-royongan.
Tapi Obama sama sekali tidak menyinggung bencana yang belakangan ini menimpa Bangsa Indonesia. Apakah ia lupa Erupsi Merapi? Lupa Tsunami Mentawai? Dan lupa Banjir banding Wasior? Bisa jadi tidak! Mungkin Obama ingin mengajarkan kita sikap optimistis untuk bisa bangkit dari keterpurukan, bagaimana menangani masalah tanpa perlu popular ke dunia luar. Bagaimana menangani bencana tanpa harus menuding, ini salah siapa?.
“Terima Kasih, Assalamualaikum” kata Obama diakhir pidatonya (**)
Yang menguntit dibalik rumitnya melihat wajah Obama. 10 November 2010.