Keinginan Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (pur) Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono (Pak Beye) untuk merekonstruksi nilai-nilai demokrasi di Jogjakarta, dengan pernyataannya yang menyebutkan, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan., tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi. Adalah sebuah kalimat panjang Pak Beye yang bakal ’mengakhiri’ ke istimewaan Jokjakarta. Sekaligus mematikan satu titik ’keindonesiaan’ kita.
Jogja sebentar lagi akan berakhir. Kesimbangan value yang terpelihara berabad-abad lamanya, dengan menempatkan seorang Raja sebagai centrum kultural dan kepemimpinan, juga bakal runtuh. Saya memandang Pak Beye, seperti layaknya Mustafa Kemal At-ttaturk di Turki, yang memotong garis kekhilafaan Islam, hanya untuk eksisnya sebuah demokrasi. Pak Beye, tentu bakal populer sebagai pencatat sejarah baru di Indonesia bahkan di dunia. Seperti Mustafa Kemal itu, dan tentunya dikenang generasi sepanjang masa dalam berbagai persepsi yang berbeda.
Kalau RUU ini jadi, dengan memangkas ’kekuasaan’ seorang Raja yang merangkap Kepala Daerah (Gubernur/wakil Gubernur) di Jogjakarta, maka yang terbayang adalah, Jokjakarta bakal senasib dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan Buton, Kerajaan Gowa dan Bone, Kesultanan Palembang dan lain sebagainya.
Raja dan para Sultan itu, hanya duduk sebagai simbol, yang dihormati rakyatnya hanya dalam acara-acara tertentu. Nasib mereka layaknya mati segan hidup tak mau.Yang menjelma menjadi Raja justru para kepala daerah itu sendiri. Raja dan segala aksesori istananya hanyalah sebuah museum tua yang menggantung hidupnya dari hasil ’sumbangan celengan’ para pengunjung. Mungkin tidak secepat itu, tapi lambat laun bakal terjadi.
Mempertahankan eksistensi Kesultanan Jogjakarta Hadiningrat dengan segala keistimewaannya, bukan berarti membedakan Jogja dengan daerah-daerah eks kesultanan-kerajaan lainnya di Indonesia. Justru semakin mengokohkan Indonesia sebagai negara yang benar-benar demokrasi. Kenapa? Sebab Indonesia, adalah negara satu-satunya di dunia, yang menghargai adanya ’wilayah kerajaan’ yang eksis dalam bingkai negara kesatuan. Itu nilai demokrasi besar yang kita miliki Pak Beye!.
Roh Keistimewaan Jokjakarta
Sekedar ingatan kecil, Jogjakarta itu diberi hak istimewa oleh NKRI, karena kesukarelaannya menjadi bagian dari republik ini. Keistimewaan itu diberikan terutama kepada tata cara pemilihan kepala daerah. Khusus untuk Yogyakarta, negara memberi kehormatan kepada Sultan Yogyakarta untuk menjabat sebagai Gubernur, sementara Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.
Sama negara ini memberikan keistimewaan kepada Nanggroe Aceh Darussalam atas dasar keagamaan, kepada Papua diberikan atas dasar suku bangsa. Ada lagi satu pemberian daerah khusus kepada Jakarta Raya, karena ia merupakan ibu kota negara.
Seperti di DKI Jakarta, seorang wali kota tidak dipilih secara langsung, karena ia ditunjuk oleh gubernur. Berbeda dengan daerah lainnya, wali kota di Jakarta tidak mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II. Perwakilan rakyat hanya ada di tingkat provinsi. Lalu kenapa Pak Beye melihatnya sebagai pelanggaran sistem demokrasi?
Juga sekedar ingatan kepada kita semua, Presiden RI sebelumya tidak ada yang penah mengutak atik Jogjakarta. Ir, Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati, lebih konsen pada hal lain yang lebih bermakna.
Ir Soekarno misalnya, beliau langsung merespon dan tidak mengusik keistimewaan pada Jogjakarta karena menghargai jasa Keraton Hadiningrat yang pada waktu itu adalah sebuah ’negara berdaulat’ di Pulau Jawa, tapi rela mengakui kedaulatan RI, bahkan menyatakan ikut bergabung, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Apalagi?
Begitu juga Pak Harto, kalau beliau mau. Maka Jogja sudah lama ’tidak istimewa’. Orang boleh mencerca Pak Harto sebagai diktator, tapi Jogja tetap dihormatinya sebagai ’rumah kultur’ yang tidak boleh diganggu gugat. Kabarnya, bila Pak Harto masuk Keraton, maka beliau tetap sungkem, layaknya rakyat Jawa masuk Keraton. Tapi soal pemerintahan, ketika Sultan ke Istana Negara, maka Sultan tetap menempatkan dirinya sebagai Gubernur, yang terikat dengan protokoler istana. Disinilah kebanggaan sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai demokrasi itu.
Mungkin Karena KPK tidak bisa periksa Sultan.
Kalau dalam kajian ketatanegaraan, dengan menyamaratakan sistem yang berlaku antara satu daerah dengan daerah lainnya, maka Saya berpikir, sebenarnya Pak Beye (kajian subjektif penulis) hanya ingin menyamakan posisi Sri Sultan, sama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota lainya di Indonesia. Yang bisa diperiksa KPK, yang bisa digelandang ke kejaksaan. Karena kalau masih berposisi sebagai ’Raja’, maka kekuasaannya mutlak, melebihi kekuasaan seorang Presiden. Hehehehe..sungguh naif.
Sepertinya keinginan Pak Beye, hanya ingin mengambil agar jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur itu dipisahkan dari jabatan seorang Raja. Kepala daerahnya harus dipilih oleh rakyat. Mungkin ada benarnya Pak Beye disini...tapi bila benar terjadi, maka Jogjakarta akan segera berakhir, dan hanya akan menggunakan nama propinsi dengan sebutan Provinsi Jogjakarta saja. Tidak perlu lagi kata Daerah Istimewa. Maka siap-siaplah Jokjakarta tidak se istimewa asal muasalnya.
Bukan Merdeka, Tetapi Memisahkan Diri
Kalau sudah seperti itu, dan kalau republik ini tidak lagi menghargai nilai-nilai keragaman yang ada di Jogjakarta, maka atasa nama demokrasi pula, maka tidak ada salahnya kalau para petinggi keraton Jogja berpikir untuk melepaskan diri dari NKRI., Jokjakarta kembali ke asalnya, menjadi sebuah negara tersendiri dengan nama ’Jokjakarta Hadingrat’. Sebuah negara berdaulat. Bertetangga dengan Indonesia, sama seperti roh Timor Leste itu, yang pernah masuk dalam wilayah NKRI.
Sebenarnya jika Jogja melakukan itu, maka ini bukan bentuk Pernyataan ’Kemerdekaan’ sebab Jogjakarta memang tidak pernah terjajah oleh Indonesia. Yang ada adalah ’kesadaran’ sebagai bangsa se-kultur, dan menyatakan bergabung bersama Republik Indonesia. Inilah yang dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII di tahun 1945. Sebuah sikap yang menjadi kekayaan besar sebagai anak bangsa yang tidak boleh dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Dan perlu diingat, bergabungnya Jokjakarta dalam bingkai NKRI, bukan hasil lobi dari Presiden Soekarno, juga bukan karena jajahan Indonesia. Tetapi ’rasa’ toleran dan kesadaran dengan menghargai latar belakang masing-masing, yang menjadi roh utamanya.
Jogjakarta Never Ending Asia, inilah branding Jokjakarta yang sangat populer. Tapi rasanya, bila keistimewaan itu dihapuskan, maka branding itu bakal menjelma menjadi, Jokjakarta, Not Never Ending Asia.....
Pak Beye. Jangan teruskan Niat itu. Biarlah Jogja seperti sekarang ini, Jogja bukan Gayus, bukan Century, dan bukan cerita dalam Buku Gurita Cikeas....
Pak Beye teruslah memimpin bangsa ini dengan hati...
Pak Beye teruslah menjadi pemimpin yang bijak dan arif...
Pak Beye, Jogja itu juga milikmu...rawatlah Dia sebaik mungkin...
Pak Beye, selamat bekerja.....Jangan tersinggung!!.
Jakarta, 30 November 2010.