» » Kontraversial ‘Penumpang Gelap’ Si Poltak

Kontraversial ‘Penumpang Gelap’ Si Poltak

Penulis By on 08 March 2011 | No comments

Penumpang Gelap. Inilah dua kata dari Ruhut Sitompul, saat memulai dialognya di acara ‘Kabar Petang TV One’ yang baru saja usai malam ini saat membahas Monarki Jogjakarta. Politisi asal Partai Demokrat ini menyebut kata tersebut, sebagai idiomatik  yang sepertinya ditujukan pihak-pihak yang mengkritisi pernyataan Presiden seputar Monarki dan keistimewaan Jokjakarta.

Meski tidak gamblang menyebut siapa yang dimaksud ‘penumpang gelap’ ini, namun kalimat ini tentunya menohok pihak-pihak yang cenderung ‘membela’ Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Harusnya Ruhut, sebagai Anggota Yang Terhormat, yang mewakili sebagian rakyat Indonesia di Parlemen, tidak perlu mengeluarkan kata, yang justru semakin melukai kepedulian kita pada Jokjakarta sebagai bagian integral bangsa ini..

Membahas Jokja, sebenarnya tidak perlu ada istilah ‘penumpang gelap’. Siapapun berhak berkomentar, mengkritisi, memberi saran, baik negatif maupun positif. Sebab  Jokja bukan hanya milik Presiden semata, bukan milik Partai tertetu, tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Siapapun dia meski hanya seorang rakyat jelata.

Ada baiknya Ruhut setiap akan tampil di publik Indonesia, membahas .isu-isu strategis, mengkaji baik-baik kalimatnya. Kami tahu Ruhut, juga punya niat baik pada bangsa ini, tapi Ruhut juga harus lebih cermat, dimana Pak Ruhut bisa bicara ‘apa adanya’, dan dimana Pak Ruhut bisa bicara yang menyangkut persoalan bangsa yang lebih besar.

Istilah Penumpang Gelap, sebenarnya lebih cenderung ditujukan kepada hal-hal yang bersifat privaladge, atau pembicaraan pada pihak tertentu, yang tak bisa ’disentuh’ oleh pihak lainnya. Persoalan Jokjakarta, bukan persoalan privasi partai tertentu, bukan bahasan seorang Presiden belaka atau bukan persoalan pihak Keraton semata, tetapi persoalan yang menjadi milik bangsa Indonesia.

Jika menganggap masalah ini ditumpangi penumpang gelap, berarti Ruhut semakin menguatkan opini publik, kalau sebenarnya kontraversial Monarki dan Demokrasi yang merupakan point pernyataan Presiden saat membuka rapat kabinet beberapa hari lalu, adalah semata interest Pak Beye selaku Presiden dan Sri Sultan sebagai Raja Jogja.

Terlepas dari sosok kontraversial pribadi Ruhut Sitompul, Media juga harus lebih selektif dalam mencari sosok nara sumber. Bagaimanapun media adalah ‘tools’ komunikasi yang sangat berperan dalam membentuk opini bangsa. Berita yang baik tidak selamanya berasal dari yang buruk, tetapi Berita baik itu adalah dari hal-hal yang baik.

Salut pada Anis Matta, Pangeran Djoyokusumo dan Menkopolkam
Selain Ruhut Sitompul, ada tiga orang lainnya yang menjadi Nara Sumber, yakni Anis Matta dari PKS, Pangeran Djoyokusumo dari pihak Keraton dan Menko Polkam Joko Suyanto. Satu lagi akademisi dari UGM.

Meski ada perbedaan cara pandang, tapi kalimat-kalimatna tidak menohok dan melukai rakyat yang mencintai jokjakarta.

Anis Matta misalnya, mengatakan Jogja adalah fitur penting dalam pembentukan NKRI. Jokja tidak bisa lagi disebut sebagai Monarki, sebab Kesultanan menjalankan amanah konstitusi yang di produksi oleg republik ini. Begitupun Pangeran Djoyokusumo, yang menyebut, sistem Kerajaan hanya berlaku dalam wilayah Keraton diluar kawasan itu. Sri Sultan hanya seorang Gubernr Biasa.

Menkopolkam Joko Suyanto, sebagai perpanjangan tangan Presiden, sangat arif mencermati masalah Jokjakarta. Beliau mengigatkan agar tetap jernih memikirkan hal-hal yang terbaik bagi bangsa ini. Salut. (**)

                        Jakarta, 1 Desember 2010.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments