» » Pesan Ibu Dalam Derai Airmatanya

Pesan Ibu Dalam Derai Airmatanya

Penulis By on 29 May 2013 | 1 comment

“Syukur Alhamdulillah, universitas itu semua sama Nak, mutunya tergantung dari kita sendiri Nak”.  Ini sebait kalimat pesan singkat dari ibu yang telah melahirkanku kuterima di ponselku usai magrib hari ini.  Pesan kecil yang membuat mata saya terasa berair setelah saya memberinya kabar jika saya dinyatakan diterima di Sekolah Pascasarjana Univeritas Sahid Jakarta. Kampus dimana saya akan mengarungi bahtera ilmu sekedar merebut doktor di bidang ilmu Komunikasi Politik.

Sebenarnya saya tak menyangka ibu bisa memberi kalimat support seperti itu, saya tak menyangka ibu bisa menyebut kata ‘universitas’, sebab selama ini hanya satu kata dibenak ibu, yakni ‘kuliah’. Ibu tak paham mana sarjana, magister dan doktor. Saya membatin ibu saya mulai cerdas, mungkin kata ‘universitas’ yang melekat dipikirannya setelah beliau menyaksikan prosesi wisuda magister saya tahun lalu, dimana ibu baru pertama kalinya duduk di kursi VIP menyaksikan penganugerahan terbaik yang saya terima waktu itu. Disanalah berkali-kali kata ‘Universitas’ ia dengar. Waktu wisuda sarjana beberapa tahun silam, yang hadir hanya ayah saya, ibu tak sempat karena bertugas menjaga ‘warung kecil’ dirumahnya di pelosok desa di Kolaka nun jauh di sana. Warung kecil yang menjadi penyambung hidup orang tua saya hingga saat ini.

Saya tak puas hanya dengan SMS, saya menelpon dan ternyata ibu tak bisa bicara apa-apa, hanya suara haru yang terdengar, ibu menangis. Saya paham jika tangisan ini bukanlah dosa putranya, tetapi tangisan penyemangat atas kegagalan saya ketika tes ujian masuk di doktoral UI sebulan lalu. Tapi bisa jadi ibu ‘merewind’ ingatannya ke masa silam tatkala saya masih kanak-kanak. Waktu itu ibu hendak memasukkan ke SMP tetapi tak punya uang, dan mencoba meminta pinjaman uang kepada family lainnya, namun tertolak dengan alasan yang menurut ibu tak masuk akal. 

Tak masuk akal  sebab yang ia dapatkan bukan pinjaman, tetapi saran family jika saya tak perlu lanjut SMP, cukup kerja di pasar ikan sebagai pemecah ‘es balok’ di waktu subuh atau ikut ayah sebagai seorang kuli-kuli bangunan. “itu lebih baik supaya kamu dan anak-anakmu bisa makan” begitu saran family itu. Ibu sangat emosional kala itu dan balik menjawab, “seandainya saya bisa ‘menjual diri’ untuk sekolah anak-anak saya, maka itu akan saya lakukan”.

Saya tak mengerti apa arti kata ‘menjual diri’ saat itu, lalu kemudian mencari tahu maknanya melalui seorang guru saya di SD, ternyata sangat memalukan, sebab baru tahu jika maknanya adalah ‘Melacur’. Untungnya Ayah mendapat gaji hariannya sehingga masih bisa lanjut SMP. Alhamdulillah!, saat itu pula tertanam dalam ingatan saya dalam satu janji, jika seandainya Tuhan memberi umur panjang, maka saya harus bersekolah hingga jenjang pendidikan itu berakhir, dan kini langkah awal itu setapak mulai terlihat. Kini saya resmi menyandang status sebagai mahasiswa doktoral (s3), jenjang pendidikan formal akhir di bumi ini. Tentu saya bersyukur atas anugerah ini.
                                                                                      **

Ada satu hal pula yang tak bisa terlupakan di hari ini, pesan terakhir Prof. Dr. Harsono, Ph.D, penguji proposal disertasi saya waktu wawancara akhir test masuk Doktoral Universitas Sahid siang tadi, beliau berkata; “Hamzah, saya paham kamu baru saja belum beruntung masuk di UI bulan lalu, karena saya penguji kamu juga waktu itu, sebenarnya saya tak menyangka kamu tidak lulus, tetapi ini jalan Tuhan yang mungkin terbaik untuk kamu. Ingat kegagalan waktu itu, bisa saja bukan karena hal-hal akademik, mungkin karena faktor lain, mungkin lupa ibu yang telah melahirkanmu, sehingga lupa pula mendoakan kamu. Mungkin hari ini ibumu begitu kuat berdoa, sehingga kami memutuskan saudara untuk menjadi mahasiswa program doktoral di kampus ini. Selamat dan jangan lupa menghubungi ibumu dan istrimu”

Sebenarnya ketika saya tahu jika yang mewawancara itu ‘lagi-lagi’ Prof Harsono, saya mulai ketakutan dengan seribu kata ‘jangan-jangan tidak lulus lagi’, sebab materi proposal tidak berbeda dengan materi yang saya bawa di UI. Saya lupa jika profesor alumni Cornell Amerika ini tak sekedar menyandang sebagai ‘Ketua Prodi Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid’ tetapi ternyata ia juga mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, dan masih dosen senior di kampus itu serta menjadi penguji utama saat test akhir di UI. Tetapi kegagalan saat itu menjadikan saya banyak memiliki ‘trik’ untuk mensiasati pertanyaan-pertanyaan Professor berusia 70-an tahun ini. Alhamdulilah beliau tersenyum dan berkata “kamu ternyata belajar dengan kegagalan kamu, itu sebenarnya bukan kegagalan Hamzah, hanya Tuhan punya skenario lain dalam hidup kamu” begitu supportnya.

Istri Saya Sakit

Tentu kegembiraan ini akan saya bagi ke istri di kampung halaman, sayangnya beliau masih belum sehat, beberapa hari ini kondisinya drop dan suaranya sangat keluh, beliau hanya menjawab kata-kata saya dengan kata singkat ‘Alhamdulillah, selamat!’. Saya paham, kalimat pendek itu adalah kegembiraan tertinggi yang dimilikinya. Istri saya memang terbilang wanita tak banyak bicara, tidak terlalu mengatur apalagi menekan, itulah mengapa ia sangat percaya meski ia paham sekali ‘kenakalan gaya hidup’ saya. Itu juga mengapa saya tak pernah memandangnya rendah dan mendustakan kasih sayangnya. Senakal apapun saya, istri adalah segalanya buat hidup saya, karena beliaulah peneguh hidup saya dan anak-anak saya.

Sabar sayang, suatu saat kelak dirimu dan anak-anakmu juga akan menjadi bagian dari ibukota Jakarta ini. Tetaplah dalam doa-doamu, tetaplah bersama batin anak-anakmu, saya tahu ini berat untuk kamu jalani, selalu dipisahkan jarak dan waktu. Tapi saya amat yakin, jika kamu adalah penghuni surga Tuhan karena menjadi peneguh suamimu yang selalu hidup dalam keegoisan menimba ilmu. Semoga Allah mengabulkan impian-impian kita. Salam rinduku buatmu dan anak-anak. Shalatlah, berpuasalah, dan jangan lupa berbuat kebaikan setiap hari pada orang lain.

                                                                                  **





Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments

1 komentar:

Rini Rien May 30, 2013 at 7:33:00 PM GMT+7

Selamat Papa reva...Semangat terus...
Do'a orang tua, mertua, istri tercinta dan anak2 nan jauh disana menjadi bekal kekuatan utama menempuh hidup di Jakarta...