“Tak ada yang jatuh miskin jika rajin memberi” begitu ungkapan seorang Dedu Purnomo, kawan dekat asal Kendari dalam diskusi saya sore ini di Bogor. Mendengar kata-kata itu saya terenyuh dan melayangkan ingatan ke masa silam tatkala ia masih hidup dalam suasana yang amat terbatas. Bahkan saya berani menyebutnya sangat miskin. Mungkin karena itu, Tuhan bosan melihatnya hidup sengsara, dan kini membalikkan kehidupannya menjadi seorang ‘the have’.
Meski mengenal lama sosok ini, mengenal derajat-derajat perkembangannya hingga meraih sukses sebagai seorang pebisnis, mengenalnya dari kos-kosan hingga rumah gedungan, tapi rasa-rasanya belum percaya dan seolah masih bermimpi jika hidup pria muda ini berbalik 180 derajat. Rasa-rasanya saya tak percaya jika dialah yang kemudian akan menjadi donatur pendidikan saya hingga kelak Tuhan memberi saya anugerah gelar doktor. Lebih tak percaya lagi ketika saya menyebut angka Rp 25 juta sebagai biaya awal, dia hanya berkata; “Insya Allah, semua urusan Pak Hamzah dilancarkan, tidak masalah nanti kita cari solusinya”.
Ia memang belum memberi langsung dana itu, tetapi ia meyakinkan saya untuk selalu percaya dengan miracle kehidupan; dia pulalah yang meyakinkan saya untuk melanjutkan pendidikan doktoral; dan ia pula yang mengatakan, jika memang harta yang dimilikinya ada hak saya disana, maka segala urusan itu dilancarkan. Saya tak paham motivasi apa di benak Pak Dedu itu, mengapa ia begitu mudah untuk memberi bantuan kepada saya, kapanpun saya mau.
Lagi-lagi saya berkata; rasa-rasanya saya tidak percaya, karenanya saya balik bertanya; apakah Pak Dedu merasa tidak saya perbodohi? Apakah Pak Dedu tidak akan saya miskinkan dengan menjadi sponsor pendidikan saya? Ia menjawab dengan apologinya sendiri. “Toh, jika Anda membodohi saya, saya tidak perlu tahu itu. Dan saya tidak akan merasa miskin jika bisa membantu saudara sendiri. Toh kelak saya hidup miskin, saya merasa tak dimiskinkan hanya karena pemberian itu, sebab ini telah diatur Sang Pencipta!” ujarnya.
Saya terenyuh, bahkan jujur merasa ada sebulir air mata sepertinya terjatuh. Terenyuh dengan perubahan sikap pria ini. Saya berpikir seperti itu, karena mengenal betul ritme kehidupannya. Bahkan kemudian ia ‘merewind’ kehidupan masa silam ketika masih sama-sama hidup di Sulawesi Tenggara.
“Saya bisa begini, pak Hamzah bisa kuliah doktor, adalah khayalan-khayalan kita ketika masih kos-kosan di Kendari, masih ingatkan kita ketika kehidupan kita banyak menjadi tertawaan banyak orang? Masih ingatkah ketika dari desa ke kolaka hanya dengan bekal sebagai pembina pramuka? Masih ingatkan ketika dari Kolaka menuju Kendari ketika jadi wartawan, dan masih ingatkah ketika dari Baubau punya hasrat ke Jakarta, dan kita kembali bertemu disini? Semua itu telah diatur Allah SWT” begitu cara Pak Dedu memberi motivasi, dia tahu saya merasa ‘jatuh’ ketika berbicara tentang dana pendidikan doktoral yang membelit dalam kenekatan saya untuk kuliah.
Lagi-lagi saya tak paham mengapa ia berani berinvestasi dengan nasib pendidikan saya? Padahal tak ada hubungan darah, tak ada target politik, tak ada kontrak kerja antara saya dengan perusahaan yang ia pimpin. Pak Dedu hanya berkata; ”saudaraku, jangan selalu menilai hidup Anda seperti dalam ‘frame foto’ saja. Jangan bingkai hidup kita dalam ruang yang terbatas. Biarkan ia merdeka, sebab kemerdekaan itulah yang selalu membuat hidup ini bisa merebut apa yang kita inginkan.
“Subhanallah” saya hanya bisa membatin dan bertanya pada sang Khalik dalam hati? “Apa kehendak-Mu, sehingga Engkau menciptakan manusia seperti seorang Dedu Purnomo? Apakah ini peringatan kepada banyak orang kaya di negeri ini untuk selalu saling berbagi kepada sesamanya? Saya sendiri belum sanggup sepertinya. Sebab hanya ilmu yang saya bisa bagi saat ini, meski hanya melalui catatan kecil seperti ini. Terima Kasih Ya Allah, engkau masih mempertemukan saya dengan orang-orang yang penuh keikhlasan. Ini peringatan-Mu..saya paham itu...
**
Meski mengenal lama sosok ini, mengenal derajat-derajat perkembangannya hingga meraih sukses sebagai seorang pebisnis, mengenalnya dari kos-kosan hingga rumah gedungan, tapi rasa-rasanya belum percaya dan seolah masih bermimpi jika hidup pria muda ini berbalik 180 derajat. Rasa-rasanya saya tak percaya jika dialah yang kemudian akan menjadi donatur pendidikan saya hingga kelak Tuhan memberi saya anugerah gelar doktor. Lebih tak percaya lagi ketika saya menyebut angka Rp 25 juta sebagai biaya awal, dia hanya berkata; “Insya Allah, semua urusan Pak Hamzah dilancarkan, tidak masalah nanti kita cari solusinya”.
Ia memang belum memberi langsung dana itu, tetapi ia meyakinkan saya untuk selalu percaya dengan miracle kehidupan; dia pulalah yang meyakinkan saya untuk melanjutkan pendidikan doktoral; dan ia pula yang mengatakan, jika memang harta yang dimilikinya ada hak saya disana, maka segala urusan itu dilancarkan. Saya tak paham motivasi apa di benak Pak Dedu itu, mengapa ia begitu mudah untuk memberi bantuan kepada saya, kapanpun saya mau.
Lagi-lagi saya berkata; rasa-rasanya saya tidak percaya, karenanya saya balik bertanya; apakah Pak Dedu merasa tidak saya perbodohi? Apakah Pak Dedu tidak akan saya miskinkan dengan menjadi sponsor pendidikan saya? Ia menjawab dengan apologinya sendiri. “Toh, jika Anda membodohi saya, saya tidak perlu tahu itu. Dan saya tidak akan merasa miskin jika bisa membantu saudara sendiri. Toh kelak saya hidup miskin, saya merasa tak dimiskinkan hanya karena pemberian itu, sebab ini telah diatur Sang Pencipta!” ujarnya.
Saya terenyuh, bahkan jujur merasa ada sebulir air mata sepertinya terjatuh. Terenyuh dengan perubahan sikap pria ini. Saya berpikir seperti itu, karena mengenal betul ritme kehidupannya. Bahkan kemudian ia ‘merewind’ kehidupan masa silam ketika masih sama-sama hidup di Sulawesi Tenggara.
“Saya bisa begini, pak Hamzah bisa kuliah doktor, adalah khayalan-khayalan kita ketika masih kos-kosan di Kendari, masih ingatkan kita ketika kehidupan kita banyak menjadi tertawaan banyak orang? Masih ingatkah ketika dari desa ke kolaka hanya dengan bekal sebagai pembina pramuka? Masih ingatkan ketika dari Kolaka menuju Kendari ketika jadi wartawan, dan masih ingatkah ketika dari Baubau punya hasrat ke Jakarta, dan kita kembali bertemu disini? Semua itu telah diatur Allah SWT” begitu cara Pak Dedu memberi motivasi, dia tahu saya merasa ‘jatuh’ ketika berbicara tentang dana pendidikan doktoral yang membelit dalam kenekatan saya untuk kuliah.
Lagi-lagi saya tak paham mengapa ia berani berinvestasi dengan nasib pendidikan saya? Padahal tak ada hubungan darah, tak ada target politik, tak ada kontrak kerja antara saya dengan perusahaan yang ia pimpin. Pak Dedu hanya berkata; ”saudaraku, jangan selalu menilai hidup Anda seperti dalam ‘frame foto’ saja. Jangan bingkai hidup kita dalam ruang yang terbatas. Biarkan ia merdeka, sebab kemerdekaan itulah yang selalu membuat hidup ini bisa merebut apa yang kita inginkan.
“Subhanallah” saya hanya bisa membatin dan bertanya pada sang Khalik dalam hati? “Apa kehendak-Mu, sehingga Engkau menciptakan manusia seperti seorang Dedu Purnomo? Apakah ini peringatan kepada banyak orang kaya di negeri ini untuk selalu saling berbagi kepada sesamanya? Saya sendiri belum sanggup sepertinya. Sebab hanya ilmu yang saya bisa bagi saat ini, meski hanya melalui catatan kecil seperti ini. Terima Kasih Ya Allah, engkau masih mempertemukan saya dengan orang-orang yang penuh keikhlasan. Ini peringatan-Mu..saya paham itu...
**