» » Kontra Pembangunan Humanisme Post Modern

Kontra Pembangunan Humanisme Post Modern

Penulis By on 12 September 2018 | No comments

Tema ini tentu terlalu akademis bagi publik, bahasa sederhananya ‘kemanusiaan sesudah era modern’. Jika masih terlalu berat di benak maka kalimat tersebut bisa dimaknai jika saat ini manusia telah hidup di sebuah ruang yang melewati batas kemoderenan. Karena itu, cara berpikir dan bertindak pun harus berada di ruang itu. Jika tidak, bersiaplah terlindas suasananya.

Katakanlah seperti ini; Gojek, Grab, dan lain sebagainya adalah aplikasi teknologi khusus transportasi. Tak perlu repot, cukup menggunakan telepon seluler pintar Anda, maka Anda segera didatangi dan mengantarkan ke tujuan. Tak ada lagi tawar menawar harga, sebab sudah terpatok sejak awal, manut saja. Semua serba mudah, dan manusia selalu menyukai kemudahan.

Bagi pengguna konvensional, tentu protes, sebab terbiasa oleh sistem manual, tawar menawar, dan kerap menjengkelkan. Pasti akan ditinggal, sebab manusia tak suka keruwetan. Begitulah kondisi kekinian. Mau tidak mau, semuanya akan berada di ruang itu. Ruang kemudahan, cepat dan tak ruwet. 

Demikian pula menyoal pembangunan kekinian, para pengambil kebijakan bakal terjebak dalam keruwetan jika tak adaptif dengan kondisi post modern itu. Kondisi di mana pembangunan harus melintas pada ruang kemudahan, memanusiakan manusia, memanjakan, dan instan. Repotnya, sistem meregulasi dengan keruwetan, berproses dengan administrasi kertas berlembar-lembar, dan siap-siap di jegal KPK jika salah memperakukan.

Ada teori managemen mengatakan; “kehebatan beradministrasi menyelesaikan 60 persen pekerjaan”. Tampaknya teori ini perlu ditinjau kembali. Perlu keberanian memfalsifikasi. Jika tidak, pelaku-pelaku kebijakan selamanya terjebak dalam ruang strukturalisme yang kuat. Sebab kontra teorinya bisa berkata seperti ini; “Kekuatan beradministrasi juga peluang besar melakukan korupsi”. Prakteknya kertas senilai  Rp. 500.- bakal upcost menjadi Rp. 1.000.- alasannya sederhana; di sana ada pajak, ada honorarium, ada nilai tanda tangan, dan ada mereka yang berpangkat-pangkat, hehehe.

Bila itu benar terjadi, korupsi struktural bakal tak pernah berhenti. Inovasi bakal tak terjadi, karena person dijebak dalam suasana berpikir ‘in frame’, bukan ‘out of the box’. Ujung-ujungnya kita terus berada di ruang ‘sedang berkembang’, sulit untuk maju, apalagi berada di ruang post modern, jangan bermimpi.

Lalu apa sebenarnya pembangunan humanisme post modern? Para pemikir lebih simpel mengungkap keruwetan benaknya. Ia akan berkata bahwa manusia sekarang ini lebih suka situasi ‘simulakra’, sederhananya ‘alam kepalsuan’, tetapi memanjakan dan nyaman. Misal, orang-orang lebih nyaman berbelanja di mall ketimbang pasar-pasar umumnya. Sebab di sana ada prestise dan privalege, kasarnya  gengsi. 

Idealnya para pengambil kebijakan, merunut kebijakannnya dengan perencanaan simulakra, tetapi bukan bermakna kepalsuan apalagi sekedar bercitra. Seorang Ridwal Kamil di Bandung, Tri Rismayani di Surabaya, Dani Pomanto di Makassar membangun daerahnya, jarang sekali terdengar membangun jalan berpuluh-puluh kilometer, atau gedung bertingkat-tingkat, urusan seperti itu urusan Pusat, mereka di daerah mensimulakra dengan kebijakan yang menyentuh langsung ke publik. Sebaliknya mereka terdengar sekadar pembangunan taman, ruang-ruang sosial, juga dengan kekuatan-kekuatan aplikasi. Tetapi mereka berani mengantar daerahnya sebagai kota pintar, atau smart city.

Pertanyaannya sederhana? Setiap instansi bisa membuat pertanyaan seperti ini: program apa yang telah dibuat langsung menyentuh kebutuhan publik? Jangan-jangan lebih banyak program ke instansi sendiri, dari pada ke publik atau masyarakat. Jika jawabannya seperti itu, jangan harap di beri label ‘pembangun humanisme post modern’. Sangat jauh, dan jangan harap di kenal sukses sebagai sebagai pembijak yang hebat. 

Satu hal yang penting dipahami, bahwa di era kekinian kebanyakan publik jauh lebih cerdas dari pembijak itu sendiri. Maka wajarlah jika tiap waktu selalu tersorot oleh wacana-wacana kritis. Selamat berpikir!


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments