» » Teori Komunikasi Massa, Media Massa dan Budaya Pop

Teori Komunikasi Massa, Media Massa dan Budaya Pop

Penulis By on 16 July 2010 | No comments

Teori Komunikasi Massa
Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan  kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. 
Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi  mengenai komunikasi massa.

Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)

Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori  pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai  dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.

Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal.  Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang  untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain.  Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama  media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

Uses, Gratifications and Depedency

Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka  teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau  komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan  media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap  dasarnya diringkas sebagai berikut :

Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya  pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang  diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya  dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam  memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam  Littlejohn, 1996 : 345).

Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak  dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa  untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan  individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. 

Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh  Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan  kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan  perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera  sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan  mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki.  Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain  mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai  informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan  empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions  sebagai berikut :

Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan  menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara  lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari  pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)

Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses  and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value  theory (teori pengharapan nilai).

Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap  Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada  Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa  situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, 
Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika,  pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak  realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)

Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin  Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal  dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu  pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi  yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini  memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa  dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari  proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki  ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi  ketergantungan khalayak terhadap media massa ?

Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap  media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang  menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan  persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan  menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang  lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak  mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat  pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media  dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan  minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media,  sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.

Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang  dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

Riset Eksperimen
Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah  kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset  eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa  diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi  yang berbeda.

Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di  Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh  tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam  tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di  setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan  berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama  sekali.

Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan  tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga.  Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.

Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena 
sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat 
kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini  kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa  mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity  Straubhaar dan Larose, 1997 :415).

Survey
Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai  metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan  dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang  lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap  lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan  kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh  berikut.

Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual  terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian membuat  variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan  kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa  yang menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya  kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu,  diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).

Riset Ethnografi
Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam  waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan  khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang  lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti  menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan  wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, 
tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan  Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam  wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar  pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).

Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi terhadap  kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di perbatasan Jawa Tengah dan  Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan  peneliti adalah mengamati secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. 

Ikut bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan  komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap,  sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.

TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA


Tidak ada dalam teori media yang telah menyajikan dilema dan perdebatan yang pelik dalam  kajian komunikasi massa selain studi khalayak media atau khalayak (audience). Para pembuat  teori media berada pada posisi yang saling berjauhan mengenai konsensus tentang bagaimana  untuk mengkonseptualkan khalayak dan pengaruh khalayak. Ada dua pandangan yang secara vis a vis berhadapan tentang sifat khalayak telah melibatkan dua dialektika yang berhubungan.

Pertama adalah adanya pertentangan antara dua gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah  publik massa dan di sisi yang lain, gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah komunitas  kecil. Kedua adalah pertentangan antara gagasan yang menyatakan khalayak adalah pasif dan  gagasan yang meyakini bahwa khalayak adalah aktif. Perdebatan di atas kemudian terlihat  dengan jelas mewarnai teori-teori di bawah ini.

Masyarakat Massa Vs Komunitas
Kontroversi mengenai masyarakat massa versus komunitas melibatkan beragam perspektif yang  tidak sama dalam kajian komunikasi massa mengenai keberadaan khalayak. Sebagian kalangan  memiliki perspektif bahwa khalayak sebagai massa yang tidak dapat dibedakan, dan beberapa  yang lain melihatnya sebagai satu kesatuan kelompok kecil atau komunitas yang tidak seragam. 

Pada kaca mata perspektif seperti ini, khalayak dipahami sebagai populasi dalam jumlah yang  besar yang kemudian bisa dipersatukan keberadaannya melalui media massa. Dalam perspektif  kedua, khalayak dipahami sebagai anggota yang mendiskriminasi anggota kelompok kecil yang  terpengaruh paling banyak dari yang segolongan.

Teori masyarakat massa merupakan sebuah konsep yang sangat kompleks sifatnya. Teori  masyarakat massa memberikan suatu gambaran mengenai kehidapan massa di mana kehidupan  komunitas dan identitas etnik telah tergantikan oleh relasi yang mengandung karakter  depersonalisasi seluruh masyarakat.

Para penganut teori masyarakat massa memberi alasan mengenai teori yang mereka bangun.  Alasan yang dikemukakan adalah bahwa perkembangan cepat yang terjadi dalam komunikasi telah  meningkatkan kontak manusia, sehingga pada akhirnya telah membuat masyarakat mengalami  saling ketergantungan yang lebih besar dibandingkan di masa lalu. Namun ternyata saling  ketergantungan ini kemudian mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan yang mempengaruhi  semua masyarakat. Ketidakseimbangan ini berbentuk saling ketergantungan yang secara 
bersamaan membuat manusia semakin teralienasi satu dengan yang lain. Yang terjadi adalah  keterputusan relasi komunitas dan keluarga, serta juga dipertanyakannya nilai-nilai lama.

Sebagai contoh kongkret adalah bagaimana masyarakat Badui di pedalaman Jawa Barat yang masih  teguh memelihara tradisi mereka, dengan menolak kehadiran media massa. Relasi sosial mereka  masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang bersendi nilai-nilai lama. Kondisi yang sangat  berbeda akan kita jumpai dalam masyarakat Sunda yang telah berada di Kota Bandung yang sudah  banyak menerima terpaan media. Relasi sosial mereka, terutama dengan keluarga dan tetangga,  pasti lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi mereka tidak akan  mengenal tetangga yang berada di sebelah rumah. Kondisi ini dapat dengan mudah kita jumpai  di berbagai perumahan mewah yang saling teralienasi satu dengan yang lain.

Sedangkan dalam pendekatan komunitas isi media ditafsirkan di dalam komunitas berdasarkan  makna-makna yang dikerjakan secara sosial di dalam kelompok, dan individu dipengaruhi lebih  oleh sejawat mereka daripada oleh media. Menurut Gerard Shoening dan James Anderson, gagasan  mengenai komunitas dalam kajian komunikasi massa melihat isi media sebagai sesuatu yang  media-interpretif, di mana makna yang dilahirkan oleh pesan media dihasilkan secara  interaktif di dalam kelompok orang yang menggunakan media dengan cara yang sama (Shoening  dan Anderson dalam Littlejohn, 1996 : 332-333).

Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif
Dalam pandangan teori komunikasi massa khalayak pasif dipengaruhi oleh arus langsung dari  media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif  tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa,  teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori  khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori  masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang berkembang dalam studi  komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada khalayak aktif. Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang setelahnya. 

Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan media lebih  cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif, sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti  uses and gratification theory lebih banyak dilandaskan pada khalayak aktif.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing  Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory”  (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang  khalayak aktif versus khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.

Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses 
konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi  media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, kalangan bisnis lebih  berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui  perkembangan dunia bisnis, penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui  hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.

Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan  mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan  tertentu yang mereka miliki.

Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna  penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan  (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka  dalam mengkonsumsi media.

Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh  media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri  (Littlejohn,1996 : 333).

Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif,  karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka  dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.

Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi media cetak  masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di  Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur  sangat populer di kalangan menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah  dijumpai di lapak-lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang  didominasi kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan selektivitas  yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas  yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa dengan tujuan tertentu secara selektif. 
Misalnya, mereka yang aktif dalam kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis  Indonesia dibanding memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena  harian ini lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan langsung  dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa komunitas massa dan  dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu sederhana atau deterministik, karena  konsep-konsep di atas tidak mampu menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi  pada saat tertentu khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi  khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai kapan dan dalam  situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.

Ada Apa dengan Budaya Massa dan Budaya Pop ?

Budaya massa sering diperbandingkan dengan budaya tinggi ( high culture ) yang berciri pada  produk yang memiliki dua ciri khas. Pertama, diciptakan dan berada di bawah pengawasan elit  budaya yang berperan sesuai tradisi estetis, sastra dan ilmu pengetahuan. Kedua standar yang  ketat, yang tidak bergantung kepada konsumen produk mereka dan dilaksanakan secara  sistematis. Sedangkan budaya massa mengacu kepada pengertian produk budaya yang dicitakan  semata-mata untuk pasar. Ciri-ciri lain yang tidak tersurat dalam definisi tersebut adalah  standarisasi produk dan perilaku massa dalam penggunaan produk tersebut (Mc.Quail, 1998 : 38  ). Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk adalah trend atau mode yang sedang  diminati pasar.

Bahkan dalam bukunya yang paling berpengaruh One – Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan  bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif dari seni klasik telah dihapus hanya  sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan keinginanya akan  kebahagiaan diganti dengan kebutuhan yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat  konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir mahzab Frankfurt  (Frankfurt School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer  (popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan populer,  menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis ini  (Marwoto, 2001:37).

Menurut Adorno (dalam Storey [ed], 1994:202), karakteristik fundamental dari budaya populer,  khususnya musik populer, termasuk di dalamnya musik rock adalah standarisasi 
(standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan bentuk high culture yang dianggap  adiluhung.

Kritik terhadap pemikiran para pemikir Mahzab Frankfurt kemudian banyak berasal dari Center  for Contemporary Cultural Studies (CCCS) atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Birmingham  School yang. Para pemikir dari Mazhab Birmingham menyoroti kegagalan analisa para pemikir  Mazhab Frankfurt dalam menganalisis kebudayaan, termasuk media culture dan seni yang  dikandungnya. Kegagalan mahzab Frankfurt adalah disebabkan karena mereka melihat segala  fenomena dari konteks kapitalisme kontemporer (Kellner, 1995 : 35).

Berbeda dengan Marcuse yang memandang rendah budaya populer, para pemikir Mazhab Birmingham  seperti John Fiske menyatakan bahwa terminologi “popular” menunjukan bahwa budaya media  mucul dari “people” (rakyat kebanyakan). Sebagaimana halnya di Amerika Latin, budaya populer  menunjukan seni yang diproduksi dari dan untuk rakyat sebagai satu bentuk oposisi terhadap  budaya yang hegemonik (hegemonic culture) yang berasal dari kelas yang berkuasa (Kellner,  1995 : 34).

Media culture merupakan perwujudan dari industrial culture, yang diorganisasikan atas satu  model produksi massa dan diproduksi untuk audiens massa menurut genre yang diminatinya,  mengikuti aturan (rules), kode (code) dan formula yang konvensional. Ini menunjukan bahwa  media culture merupakan bentuk dari budaya yang komersial (commercial culture) dan  produksinya merupakan komoditi yang diusahakan untuk memperoleh keuntungan (profit) yang  diproduksi oleh korporasi besar yang terlibat dalam usaha akumulasi kapital (Kellner,  1995:1).

Media culture mampu menunjukan siapa yang memegang kuasa (power) dan siapa yang tidak  memegang kuasa (powerless), siapa yang berkuasa untuk melakukan kekerasan dan kekuatan serta  siapa yang tidak berkuasa untuk melakukannya. Mempelajari bagaimana membaca, mengkritisi dan  melakukan resistensi terhadap manipulasi media dapat membantu individu untuk memperkuat  (empower) diri mereka sendiri dalam relasinya kepada ideologi dominan dan budaya dominan  (Kellner, 1995:2).

Musik Rock, Sebuah Analisis Singkat tentang Budaya Pop

Di tahun 1960-an relasi antara rock dan revolusi bukanlah merupakan satu joke. Bob Dylan,  misalnya terpengaruh oleh gerakan sayap kiri sehingga ia sering dimata-matai oleh agen-agen  FBI. Solidaritas politik juga sering dimunculkan dalam berbagai lagu rock dan festival musik  rock yang muncul saat itu, seperti halnya Woodstock Music and Art Fair 1969, yang kemudian  lebih dikenal sebagai Woodstock saja (Frith dalam Lazare [ed],1987 :309)

Perkembangan rock sebagai satu bentuk resistensi terhadap hegemoni kelas dominan yang  berkuasa bermula dari wilayah Pantai Barat Amerika (West Coast) pada tahun 1960-an. Counter  culture yang lahir dari berbagai kota di wilayah Pantai Barat Amerika merupakan gabungan  dari berbagai macam kelompok kultural kelas menengah, seperti hippies, yippies, freaks,  heads, flower generation dan gerakan mahasiswa radikal. Budaya yang berkembang muncul secara  serempak dalam bentuk demonstrasi dan festival musik rock, seperti yang terjadi pada saat  pelaksanaan festival musik Woodstock ’69 pada tanggal 15 Agustus 1969.

Festival ini pada  mulanya diperkirakan hanya akan dihadiri oleh sebanyak 50.000 orang, namun pada kenyataannya  yang hadir dalam festival ini adalah sebanyak 500.000 orang, karenanya Woodstock ’69  dianggap sebagai gerakan terbesar dalam khasanah counter culture (Storey dalam Storey [ed],1994 : 236).

Anggapan bahwa Woodstock merupakan gerakan perlawanan budaya merupakan hal yang tidak  berlebihan. Woodstock ’69 merupakan permulaan segala sesuatu yang merupakan awal dari  realisasi apa yang dinamakan sebagai sayap politik dalam perlawanan budaya terhadap kelas  dominan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa kaum yippies, pada tahun sebelumnya hanya  mampu mengorganisir 10.000 pengikutnya untuk melakukan demonstrasi terhadap Democratic Death  Convention, sedangkan Woodstock ’69 secara fantastis mampu mewujudkan dirinya sebagai medium  perlawanan (resistensi) yang disuarakan oleh 500.000 audiensnya (Storey dalam Storey  [ed],1994 : 236). Perlawanan yang ditujukan pada keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang  Vietnam yang banyak memakan korban generasi muda Amerika (Bannet, 2001:1)

Di samping merupakan perwujudan dari counter culture, festival ini dalam sisi lain 
menunjukan bahwa perluasan dan perkembangan counter culture membuka peluang bagi 
komersialisasi. Di saat khalayak yang datang di Woodstock 1969 merayakan komunitas counter  culture-nya, berbagai perusahaan rekaman merayakan semakin luasnya pasar bagi rekaman yang  mereka produksi (Storey dalam Storey [ed], 1994 : 237)

Di samping anggapan bahwa rock merupakan satu bentuk budaya perlawanan, rock juga dipahami  sebagai musik yang lahir dari spontanitas, karenanya rock merupakan bagian dari budaya  rakyat (folk culture). Pendapat ini muncul di tahun 1960-an ketika rock benar-benar mampu  mewujudkan resistensinya, dan memudar saat tahun 1970-an ketika korporasi media mampu  mengkooptasi musik rock. Saat itu musisi rock memiliki suatu kepercayaan mengenai komunitas  alternatif yang mereka miliki, daripada sekedar industri entertainment semata. Bagi para  musisi yang politis, musik telah menjadi alat untuk memobilisasi massa kelas maupun  organisasi serta merupakan perwujudan solidaritas (Storey dalam Storey [ed],1994 : 323). Hal  ini berpijak dari apa yang dikatakan oleh Chistian Landau, bahwa disaat itu rock  diperdengarkan dan dibuat oleh sekumpulan orang yang sama. Rock tidak berasal dari dalam  bangunan kantor-kantor di New York di mana orang duduk dan menulis apa yang mereka pikirkan  mengenai apa yang ingin didengar khalayak luas. Rock berasal dari pengalaman hidup  sehari-hari (everyday life experience) para musisinya dalam interaksinya dengan audiensnya  yang seusia dengan mereka. Namun jika spontanitas dan kreativitas tersebut kemudian menjadi 
lebih distilisasi dan distrukturisasi, maka akan menjadi lebih mudah bagi para pelaku bisnis  yang merupakan manipulator di belakang layar untuk menstrukturkan pendekatan mereka dalam  menjadikan musik sebagai komoditas (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 311).

Perbedaan antara budaya massa dan budaya rakyat selama ini merupakan wacana yang esensial  bagi teori-teori kiri yang berkaitan dengan seni. Oposisi yang dimaksudkan disini adalah  antara komunitas versus massa, solidaritas versus alienasi, aktif versus pasif. Argumen yang  mendasarinya adalah bahwa budaya rakyat diciptakan secara langsung dari pengalaman komunal 
masyarakat tertentu. Tidak ada jarak antara artis dengan audiens, dan juga tidak dari  perbedaan antara produksi dan konsumsi seni. Basis kultural dari budaya rakyat kemudian  dihancurkan oleh tujuan dari relasi dari produksi artistik di bawah sistem kapitalisme. 

Produk budaya menjadi barang komoditas, diproduksi dan dijual untuk mendapatkan keuntungan  dan saling mengalienasikan antara produser dengan khalayak (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 312).

Diskursus mengenai musik rock sebagai budaya massa dan budaya rakyat, selanjutnya juga tidak  dapat dilepaskan dengan diskursus mengenai budaya populer (popular culture). Budaya populer  sendiri seperti yang telah disinggung di atas merupakan satu konsep yang dapat diwacanakan  ke dalam berbagai definisi.

Dalam relasinya dengan budaya massa, budaya populer dianggap sebagai budaya yang diproduksi  untuk konsumsi massa serta bersifat manipulatif. Sedangkan sebagai budaya rakyat, budaya  populer dianggap sebagai budaya yang berasal dari “rakyat” ( the people) dan ditujukan juga  bagi rakyat. Definisi ini tidak terlepas dari romantisme mengenai adanya budaya kelas  pekerja (proletariat) yang dikonstruksi sebagai sumber utama untuk melakukan protes terhadap  kapitalisme. Permasalahan yang muncul dari pendekatan kedua ini adalah mengenai siapa saja  yang memiliki kualifikasi untuk dianggap sebagai rakyat.

Kemudian muncul permasalahan lain  mengenai sifat dari berbagai sumber dimana budaya dibuat, karena pada kenyataannya budaya  tidak dapat diolah secara langsung dari berbagai material yang bersifat mentah bagi diri  mereka sendiri. Apapun jenis budaya populer yang ada, termasuk musik rock, tidak dapat  melepaskan dirinya dari komersialisasi (Storey,1993 : 12).

Pemikiran selanjutnya mengenai hal perdebatan diatas dapat dianalisis dengan teori hegemoni  yang dikemukakan Antonio Gramsci. Gramsci memakai konsep hegemoni untuk menunjukan metode  yang dilakukan oleh kelas-kelas dominan dalam masyarakat melalui proses kepemimpinan moral  dan intelektual untuk menguasai kelas-kelas yang berada dalam posisi subordinat. Penggunaan  pendekatan ini melihat budaya populer sebagai satu lahan pertarungan (site of strunggle)  antara kekuatan resistensi dari kelas subordinat terhadap kekuatan kelas – kelas dominan. 

Teks-teks yang ada dalam wacana budaya populer selalu bergerak ke dalam apa yang dinamakan  Gramsci sebagai compromise equilibrium. Dengan kata lain analisa neo-Gramscian melihat bahwa  budaya populer juga merupakan pertarungan ideologi antara kelas-kelas dominan dan subordinat  serta budaya dominan dan subordinat (Storey, 1993 : 13).

Musik rock memperlihatkan adanya compromise equilibrium seperti ini, dimana musik rock yang  lahir secara bottom up akhirnya harus mengalami inkorporasi (incorporation). Namun setelah  terjadi inkorporasi ini ternyata masih ada musisi yang secara idealis meyuarakan  pemberontakannya. Kaum punk dengan semangat independensi komunitanya di tengah masyarakat  kapitalis lanjut misalnya, menyuarakan perlawanan kelasnya dengan slogan “do it yourself”  dan tentu saja Rage Against The Machine (RATM) yang bahkan bukan hanya meyuarakan  perlawanannya dari atas panggung, namun juga dengan turun dalam aksi demonstrasi di jalan.  Bahkan RATM memerankan dirinya sebagai agen perubahan (agen of change) dan sekaligus  membuktikan bahwa dibawah pencaplokan perusahaan rekaman besar di bawah naungan sistem  kapitalisme, musik masih mampu menjadi agen perubahan. Namun berbeda dengan komunitas punk  maupun underground yamg memilih untuk bersikap independen dengan tidak mau berada dalam  naungan produksi dan distribusi perusahaan rekaman besar melalui jalur indie label, RATM  dalam sisi lain berada dalam pencaplokan industri rekaman besar, yaitu Sony Music  Etertainment.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments