TEORI INTERAKSI SIMBOLIK DAN SIMBOLIK ORGANISASI
a. Sejarah dan Tokoh
Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931)[1]. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).
Menurut Fitraza (2008), Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.
Banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan banyak memberikan kontribusi intelektual, diantaranya John Dewey, Robert E. Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Rogers. 1994: 168).
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers. 1994: 171).
b. Penjelasan Teori Interaksi Simbolik
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Barbara Ballis Ball menyimpulkannya sebagai berikut[2]
1) Orang membuat keputusan dan bertindak dlm persetujuan dgn “pemahaman subyektif” mereka atas situasi yg mereka alami/temukan’.
2) Kehidupan sosial terbentuk dari proses interaksi dalam struktur dan proses tersebut senantiasa mengalami perubahan.
3) Orang memahami pengalaman mereka melalui makna yg mereka temukan dlm simbol-simbol group utama mereka dan bahasa merupakan unsur yang esensial dalam kehidupan.
4) Dunia menciptakan obyek-obyek sosial yang diberi nama dan secara sosial menentukan makna.
5) Tindakan-tindakan orang didasarkan atas interpretasi mereka atas obyek yang relevan dan tindakan dalam situasi itu dipahami dan didefinisikan.
6) Seseorang (self) adalah obyek yang significant dan sebagaimana semua abyek sosial, maka didifiniskan melalui interaksi sosial dengan pihak lain.
3. Implikasi Dalam Ilmu/Teori Dan Metodologi
Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa teori atau ilmu dan metodologi berikut ini, antara lain: Teori sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis Abraham (1982) dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini menjabarkan interaksi simbolik sebagai perspektif yang bersifat sosial-psikologis.
Beberapa implikasi dari Interaksi Simbolik diantaranya :
a) Perspektif Interaksional (Interactionist perspective), mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan pendekatan tertentu, mempelajari lebih jauh dari interaksi sosial masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol-simbol yang pada akhirnya akan dimaknai secara kesepakan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka.
b) Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakan implikasi dari konsep interaksi simbolik mengenai interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas (1968) dalam Hendariningrum (2009).
c) Konstruksi sosial (Social construction) merupakan implikasi berikutnya dari interaksi simbolik yang merupakan buah karya Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann, dimana konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsirkan peristiwa dan membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas dibangun secara sosial melalui komunikasi (LittleJohn. 2005: 308).
d) Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut pandangan Mead (West-Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik
e) Teori diri (Self theory) dalam sudut pandang konsep diri, merupakan bentuk kepedulian dari Ron HarrÄ›, dimana diri dikonstruksikan oleh sebuah teori pribadi (diri). Artinya, individu dalam belajar untuk memahami diri dengan menggunakan sebuah teori yang mendefinisikannya, sehingga pemikiran seseorang tentang diri sebagai person merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan-gagasan tentang personhood yang diungkapkan melalui proses komunikasi (LittleJohn. 2005: 311).
f) Teori dramatisme (Dramatism theory) merupakan implikasi yang terakhir yang akan dipaparkan oleh penulis, dimana teori dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik, dan tokoh yang menggemukakan teori ini adalah Kenneth Burke (1968).
f)
d. Kritik Terhadap Teori Interaksi Simbolik
Kritik terhadap teori interaksi simbolik ada beberapa hal, diantaranya :
a) Interaksi simbolik memiliki banyak implikasi-implikasi, sehingga teori ini paling sulit untuk disimpulkan.
b) Interaksi simbolik tidak dianggap cukup heuristik (pemaparan melalui proses pertanyaan-pertanyaan dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara sistematis), sehingga memunculkan sedikit hipotesis yang bisa diuji dan pemahaman yang minim.
c) Para peneliti interaksi simbolik dianggap kurang terlibat dalam suatu proses penelitian, sehingga dalam menjelaskan konsep-konsep kunci dari observasi, dimana pada akhirnya akan menyulitkan si-peneliti dalam melakukan revisi dan elaborasi.
d) Interaksi simbolik dalam proses penelitian dianggap meremehkan ataupun mengabaikan variabel-variabel penjelas yang sebenarnya cukup penting, seperti emosi individu yang diteliti. Intraksi simbolik berhubungan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, dimana organisasi sosial atau struktur menghilangkan prerogatif individu.
e) Interaksi simbolik bukanlah suatu teori yang utuh karena memiliki banyak versi, dimana konsep-konsep yang ada, tidak digunakan secara konsisten. Dan pada akhirnya berdampak pada konsep-konsep seperti I, Me, Self, Role, dan lain sebagainya menjadi bias dan kabur (tidak jelas).
d. Kesimpulan
Ciri khas dari teori interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam proses saling menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masing-masing, untuk mencapai kesepakatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
2. LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).
3. Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
4. Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press. 5. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
TEORI DAN MODEL KOMUNIKASI KELOMPOK
- Teori Perbandingan Sosial
- Teori Percakapan Sosial
- Teori Pertukaran Sosial
Prinsip Dasar Komunikasi Kelompok
Kelompok merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan sehari-hari.
Melalui kelompok memungkinkan kita dapat berbagi informasi, pengalaman, pengetahuan kita dengan anggota kelompok lainnya.
Kelompok Primer : Keluarga.
Kelompok Sekunder : sekolah, lembaga agama, tempat pekerjaan dan kelompok-kelompok lainnya yang sesuai minat dan ketertarikan kita[3].
Pengertian Komunikasi Kelompok
Michael Burgoon dan Michael Ruffner :
Komunikasi Kelompok sebagai interaksi tatap muka dari 3 atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagai informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat.
Ada 4 (empat) elemen yang tercakup dalam defenisi tersebut :
- Interaksi Tatap Muka
- Jumlah partisipan yang terlibat dalam interaksi
- Maksud dan tujuan yang dikehendaki.
- Kemampuan anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya.
3 (Tiga) Kategori Norma Kelompok
1) Norma Sosial, mengatur hubungan diantara para anggota kelompok.
2) Norma Prosedural, mengurai secara rinci bagaimana kelompok beroperasi.
3) Norma Tugas, memusatkan perhatian pada bagaimana suatu pekerjaan harus dilaksanakan.
Fungsi Komunikasi Kelompok
1) Fungsi Hubungan Sosial : perekat sosial antar anggota kelompok.
2) Fungsi Pendidikan : alat pertukaran pengetahuan dan pengalaman
3) Fungsi Persuasi : melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
4) Fungsi untuk memecahkan masalah atau membuat keputusan.
5) Fungsi terapi seperti pada kelompok konsultasi perkawinan, kelompok penderita narkoba dan lain-lain.
KOMUNIKASI KELOMPOK DALAM PERSPEKTIF TEORITIS
1. TEORI PERBANDINGAN SOSIAL
Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory) Tindak komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu untuk membandingkan sikap, pendapat, dan kemampuannya dengan individu-individu lainnya.
Dalam teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul ketidaksetujuan yang berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa; kalau tingkat pentingnya peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok (group cohesiveness) juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, setelah keputusan kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut.
Teori perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau penurunan.
2. TEORI PERTUKARAN SOSIAL (THIBAUT DAN KELLEY)
Teori Pertukaran Sosial dari Thibaut dan Kelley[4] Dalam buku mereka yang berjudul The Social Psychology of Groups, Thibaut and Kelley memusatkan perhatiannya pada kelompok yang terdiri dari dua orang anggota atau diad. Mereka merasa yakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari kelompok-kelompok besar mungkin dapat diperoleh dengan cara menggali pola hubungan diadis (2orang). Meskipun pola penjelasan tingkah laku mereka tentang diadis bukan sekedar suatu pembahasan tentang proses komunikasi dalam kelompok dua-anggota, beberapa rumusan mereka mempunyai relevansi langsung tentang komunikasi kelompok.
Model Thibaut dan Kelley mendukung asumsi-asumsi yang dibuat oleh Homans dalam teorinya tentang proses pertukaran sosial, khususnya bahwa interaksi sosial manusia mencakup pertukaran barang dan jasa, serta bahwa tanggapan-tanggapan individu-individu yang muncul melalui interaksi di antara mereka mencakup baik imbalan (rewards) maupun pengeluaran (cost). Apabila imbalan tidak cukup, atau bila pengeluaran melebihi imbalan, interaksi akan terhenti atau individu yang terlibat di dalamnya akan merubah tingkah laku mereka dengan tujuan mencapai apa yang mereka cari.
3. TEORI PERCAKAPAN KELOMPOK
Teori Percakapan Sosial / Kelompok (Group Achievement Theory) Teori percakapan kelompok sangat berkaitan erat dengan produktivitas kelompok atau upaya-upaya untuk mencapainya melalui pemeriksaan masukan dari anggota (member inputs), variabel-variabel yang perantara (mediating variables), dan keluaran dari kelompok (group output).
Masukan atau input yang berasal dari anggota kelompok dapat diidentifikasikan sebagai perilaku, interaksi dan harapan-harapan (expectations) yang bersifat individual. Sedangkan variabel-variabel perantara merujuk pada struktur formal dan struktur peran dari kelompok sperti status, norma, dan tujuan-tujuan kelompok. Yang dimaksud dengan keluaran atau output kelompok adalah pencapaian atau prestasi dari tugas atau tujuan kelompok.
Produktivitas dari suatu kelompok dapat dijelaskan melalui konsekuensi perilaku, interaksi dan harapan-harapan melalui struktur kelompok. Perilaku, interaksi, dan harapan-harapan (input variables) mengarah pada struktur formal struktur formal dan striktur peran (mediating variables) yang sebaliknya variabel ini mengarah pada produktivitas, semangat, dan keterpaduan (group echievement).
DAFTAR PUSTAKA
1. LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).
2. Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
3. Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press. 4. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
5. Lukiati Komala, Ilmu Komunikasi Perspektif, proses dan konteks, widya padjajaran, bandung 2009. h.175-177
TEORI KOMUNIKASI MASSA
- Asumsi Dasar Komunikasi Massa
- Teori Difusi Informasi
- Teori Agenda Setting
- Teori Spiral of Silence
- Use and Gratification
- Teori Information Gap
- Teori depedency Media
- Teori Massifikasi Media
- Teori Efek Media dll
a. Asumsi Dasar Komunikasi Massa
Asumsi dasar adanya teori ini karena zaman terus berkembang dimana manusia semakin kritis dan perkembangan teknologi tidak bisa dan tidak boleh dihentikan. Informasi semakin mudah diciptakan dan didapatkan karena perkembangan media massa yang sedemikian pesat
Pesatnya perkembangan teknologi di bidang komunikasi massa mau tak mau akan memberikan banyak efek yang beragam bagi setiap individu yang menerimanya, efek ini dapat membuat pintar publik namun dapat juga menyebabkan pembodohan terhadap publik.
Namun demikian, komunikasi massa tetap menjadi sebuah perwujudan dari perkembangan zaman yang seharusnya dilihat dan dijaga agar tetap selalu berefek positif sesuai dengan fungsi dari komunikasi massa itu sendiri.
Berikut ini adalah fungsi-fungsi dari komunikasi massa, antara lain :
- Fungsi Pengawasan meliputi :
Pengawasan Peringatan dan Pengawasan Instrumental
- Fungsi interpretasi
- Fungsi hubungan (linkage)
- Fungsi sosialisasi
- Fungsi hiburan
b. Teori Difusi Informasi
Teori ini berasal dari sosiolog Everest M Roger, sebagai tokoh difusi[5] .Difusi adalah proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam penyebaran informasi melalui ruang dan waktu, dari satu agen ke agen yang lain. Salah satu saluran komunikasi yang penting adalah media massa, karena itu model difusi mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada waktu yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai mempengaruhi adopsi atau rejeksi (penerimaan dan penolakan).
c. Teori Agenda Setting
Agenda Setting Thoery (Teori Penataan Agenda) pertama kali dikenalkan oleh M.E. Mc. Combs dan D.L. Shaw[6] dalam“Public Opinion Quarterly”. Kedua pakar ini memberikan penekanan pada suatu peristiwa dimana media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pembahasan yang ada dalam teori ini, yaitu media massa tidak menentukan “what to think” tetapi “what to think about”.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Agenda Setting Theory dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Bagaimana sebuah media massa menyajikan peristiwa, itulah yang disebut sebagai agenda media. David H. Heaver dalam karyanya yang berjudul “Media Agenda Setting and Media Manipulation” pada tahun 1981 mengatakan bahwa pers sebagai media komunikasi massa tidak mereflesikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya seperti sebuah kaleidoskop yang menyaring dan membentuk cahaya.
Mengenai Agenda Setting lebih banyak menjelaskan apa yang terjadi di dunia pilitik, Alexis S. Tan menyimpulkan bahwa media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara, yaitu :
- Media secara efektif menginformasikan peristiwa politik kepada khalayak.
- Media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik.
d. Teori Spiral of Silence
Teori Spiral of Silence dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle Neuman, seorang sosiolog Jerman, pada tahun 1974. Dalam teori terdapat jawaban bagaimana dalam komunikasi massa, komunikasi antarpersona, dan persepsi individu terhadap pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori ini adalah pemikiran sosio-psikologi 1930-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan / diharapkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan / anggap sebagai pendapat dari orang lain.
Dalam spiral of silence dijelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa orang akan mengamati lingkunganya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer. Maksudnya adalah jika seseorang merasa pandangannya tergolong
dalm jumlah yang minoritas maka ia akan cenderung sulit untuk mengekspresikan apa yang ia inginkan karena perasaan takut akan diisolasi. Sedangkan kebalikannya yaitu seseorang akan merasa semakin kuat dan luas untuk mengekspresikan dirinya karena pendapatnya termasuk pada jumlah mayoritas. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan hubungan tersebut.
e. Use and Gratification
Pertama kali dikemukakan oleh Elihu Katz pada tahun 1959. Adanya teori ini diawali dari dari pernyataan Katz pada sebuah artikel untuk menanggapi apa yang dikatakan oleh Bernard Berelson. Pada saat itu, Bernard menyatakan bahwa komunikasi akan mati, namun Katz menganggap pernyataan itu tidak benar karena yang sedang dalam kondisi tidak baik adalah komunikasi massa, karena pada saat itu komunikasi massa hanya dianggap sebagai sebuah persuasi.
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?”[7]
Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa [8]
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya.
Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar.[9]
Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian.
f. Teori Information Gap
Teori kesenjangan informasi (information gap) banyak memotivasi pelaku media massa untuk menyajikan informasi dan memperjuangkannya sebagai tindakan pembangunan.
Di Indonesia, para praktisi media misalnya menjadikan pemerataan informasi sebagai alasan pendirian institusi media, demikian juga halnya dengan kebebasan pers juga dinisbahkan pada hipotesis kesenjangan informasi. Sejak tahun 1970-an Tichenor, Donohue dan Olien, mengumumkan hasil surveynya pada 1965.
Dalam hasil surveynya bahwa orang yang memiliki status sosio-ekonomi lebih tinggi akan lebih cepat mendapat informasi dari pada yang berstatus rendah, maka gap pengetahuan antara keduanya akan semakin meningkat bukan menurun, "...segments of the population with higher socioeconomic status tend to acquire information at a faster rate than the lower status segments so that the gap in knowledge between these segments tends to increase rather than decrease." [10]
Hipotesis kemudian memimpin pola pembangunan dunia dengan mengemukakan isu K-gap (knowledege gap) yang melatarbelakangi usaha pembangunan berbagai negara[11].
g. Teori Depedency Media
Teori dependensi mengenai efek komunikasi massa dikembangkan oleh Sandra Ball Rokeach dan Melvin L. DeFleur pada tahun 1976. Dalam teori ini yang menjadi fokus perhatiannya adalah kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan yang terjadi pada suatu efek media massa.
Asumsi dasar dari teori ini dapat disimpulkan dalam bagan tersebut bahawa teori ini merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat yang modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, atau individu dalam aktivitas sosial.
Dalam teori ini dikemukakan bahwa adanya ketergantungan antara masyarakat modern dengan media massa karena media massa dianggap sebagai sumber informasi yang dapat memberikan pengetahuan tentang apa Asumsi dasar dari teori ini dapat disimpulkan bahwa teori ini merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat yang modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, atau individu dalam aktivitas sosial.
h. Teori Massifikasi Media
Teori ini disebut pula dengan Teori masyarakat Massa, memiliki pemikiran bahwa media adalah obat yang berbahaya atau kekuatan pembunuh yang berbahaya yang dapat secara langsung dan segera menembus sistem saraf manusia. Teori ini adalah contoh suatu teori besar (grand theory) atau paradigma yang dirumuskan guna menggambarkan seluruh aspek dari gejala yang ada.
Teori ini mulai berkembang dan berpengaruh pada paruh abad-19 dan pada dekade awal abad ke-20. Massifikasi (industrialisai) media begitu berkembang dengan pesat, yang ditandai dengan perubahan sosial yang signifikan yaitu tumbuhnya industrialisasi media massa disusul dengan perpindahan masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi).
Teori ini lebih digmbarkan dengan menggunakan teori stimulus –respon (SR) yang meyakini bahwa kegiatan mengirimkan pesan sama halnya dengan tindakan menyuntikkan obat yang bisa langsung masuk ke dalam jiwa penerima pesan, sebagaimana peluru yang ditembakkan dan langsung masuk ke dalam tubuh.
STIMULUS
RESPON
i. Teori Efek Media
George Gerbner, mantan Dekan Komunikasi Universitas Pennsylvania dan pernah membantu pemerintahan USA dalam meneliti efek tayangan TV, menyatakan mereka yang terlalu banyak menonton TV akan memiliki kepercayaan dan keyakinan yang berlebihan mengenai ‘dunia jahat yang menakutkan’. Kekerasan yang disaksikan di layar TV dapat menimbulkan ketakutan sosial yang dapat menghambat atau bahkan menghilangkan pandangan umum bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan dapat dipercaya serta lingkungan yang aman[12].
Efek yang ditimbulkan disebutnya sebagai EFEK KULTIVASI atau dapat pula disebut sebagai Teori Kultivasi, yakni teori yang memperkirakan atau menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil dari mengkomsumsi pesan media dalam jangka panjang.
Teori ini mengajukan tiga Asumsi dasar untuk mengedepankan gagasan bahwa realitas yang diperantarai TV oleh menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya. Ketiga asumsi tersebut, masing-masing[13] :
(1). TV adalah media yang sangat berbeda
(2). TV membentuk cara masyarakat berpikir dan berinteraksi
(3). Pengaruh TV bersifat terbatas.
(**)
SUMBER BACAAN
1. McQuail's Communication Theory, by Dennis McQuail, edisi 5, 2005.
2. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Onong Uchjana Effendy, Rosdakarya, 1999.
3. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Jalaluddin Rahmat (pengantar), Rosdakarya, 2006.
4. McQuail's Mass Communication Theory, by Denis McQuail, 2005, Part III, point 10.
5. Theories of Human Communication, by Stephen W. Littlejohn, 2009
6. Communication Theoris, Perspectives, Processes, and Context, by Katherine Miller, Second Edition, 2005.
7. Morissan, psikologi komunikasi, Galia Indonesia, 2010
8. Lukiati Komala, perspektif, proses dan konteks, widya, 2009
9. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Deddy Mulyana, Rosdakarya, Bandung, 2009.
TEORI DAN MODEL KOMUNIKASI ORGANISASI
- Pendekatan Struktrur dan Fungsi
- Pendekatan Human Relation
- Pendekatan Budaya
DEVENISI
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Organisasi dan komunikasi
Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan itu sistem, ada juga yang menamakannya sarana.
Everet M.Rogers dalam bukunya Communication in Organization, mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas.
Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems Approach, mendefinisikan organisasi sebagai sarana dimana manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.
Griffin (2003) dalam A First Look at Communication Theory, membahas komunikasi organisasi mengikuti teori management klasik, yang menempatkan suatu bayaran pada daya produksi, presisi, dan efisiensi. Adapun prinsip-prinsip dari teori management klasikal adalah sebagai berikut:
Kesatuan komando- suatu karyawan hanya menerima pesan dari satu atasan
Rantai skalar- garis otoritas dari atasan ke bawahan, yang bergerak dari atas sampai ke bawah untuk organisasi; rantai ini, yang diakibatkan oleh prinsip kesatuan komando, harus digunakan sebagai suatu saluran untuk pengambilan keputusan dan komunikasi.
Divisi pekerjaan- manegement perlu arahan untuk mencapai suatu derajat tingkat spesialisasi yang dirancang untuk mencapai sasaran organisasi dengan suatu cara efisien.
Tanggung jawab dan otoritas- perhatian harus dibayarkan kepada hak untuk memberi order dan ke ketaatan seksama; suatu ketepatan keseimbangan antara tanggung jawab dan otoritas harus dicapai.
Disiplin- ketaatan, aplikasi, energi, perilaku, dan tanda rasa hormat yang keluar seturut kebiasaan dan aturan disetujui.
Mengebawahkan kepentingan individu dari kepentingan umum- melalui contoh peneguhan, persetujuan adil, dan pengawasan terus-menerus.
a. PENDEKATAN STRUKTRUR DAN FUNGSI
Teori pertama yang memiliki berkaitan dengan pendekatan ini adalah teori birokrasi yang diperkenalan oleh Max Weber, seorang teoritis terkenal sepanjang zaman. Ia mendefinisikan organisasi sebagai sistem dari suatu aktivitas tertentu yang bertujuan dan berkesinambungan.
Inti dari teori Weber mengenai birokrasi adalah konsep mengenai kekuasaan, wewenang dan leitimasi. Menurut Weber, kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam setiap hubungan sosial guna mempengaruhi orang lain. Ia juga mengemukakan adanya tiga jenis kewenangan (otoritas) yaitu:
- Kewenangan tradisional terjadi ketika perintah atasan dirasakan sebagi sesuatu yang sudah pantas atau sudah benar menurut ukuran tradisi.
- Kewenangan birokratik merupakan bentuk yang paling relevan dalam birokrasi, karena kekuasan diperoleh dari aturan-aturan birokrasi yang disepakati oleh seluruh anggota organisasi.
- Kewenangan karismatik merupakan kekuasaan yang diperoleh karena karisma dari kepribadian seseorang.
Teori lain yang berhubungan dengan pendekatan struktur dan fungsi organisasi adalah teori sistem. Menurut Chester Barnard, organisasi hanya dapat berlangsung melalui kerjasama antarmanusia, dan bahwa kerjasama adalah sarana di mana kemampuan individu dipadukan guna ,mencapai tujuan bersama atau tujuan yang lebih tinggi.
Sementara menurut Daniel Katzdan Robert Kahn, sebagai suatu sistem sosial organisasi memiliki keunikan di dalam kebutuhannya guna memelihara berbagai masukan untuk menjaga agar berbagai perilaku manusia di dalam organisasi tersebut tetap terkendali. Itu artinya, sistem memiliki tujuan-tujuan bersama yang mengharuskan menomor duakan kebutuhan individu-individu.
b. PENDEKATAN HUMAN RELATION
Pendekatan struktural dan fungsional mengenai organisasi dianggap hanya menekankan pada produktivitas dan penyelesaian tugas, sedangkan faktor manusia yang diabaikan. Menurut Chris Agrys, praktik organisasi yang demikian dipandang tidak manusiawi, karena penyelesaian suatu pekerjaan telah mengelahkan perkebangan individu dan keadaan ini berlangsung secara berulang. Ketika kompetensi teknis dinomorsatukan maka kompetensi antarpribadi dikurangi. Berdasarkan pemikiran itu maka pendekatan human realtions ini muncul.
Ada beberapa anggapan dasar dari pendekatan ini:
1) Produktivitas ditentukan oleh norma sosial, bukan psikologis.
2) Seluruh imbalan yang bersifat non ekonomis, sangat penting dalam memotivasi para karyawan.
3) Karyawan biasanya memberikan suatu reaksi persoalan, mengutamakan kelompok daripada individu.
4) Kepemimpinan memberikan peranan yang sangat penting dan mencakup aspek formal dan informal.
5) Komunikasi merupakan proses penting dalam pengambilan keputusan.
c. PENDEKATAN KULTUR/BUDAYA
Dikemukakan oleh Michael Paconowsky dan Nock o’DonnelTrijullo yang memandang organiasasi sebagai suatu kultur, dalam arti bahwa komunikasi organisasi merupakan pandangan hidup (way of life) bagi para anggotanya.. Menurut Pacanowsky dan Trujillo ada lima bentuk penampilan organisasi, yaitu:
a. Ritual yaitu merupakan bentuk penampilan yang diulang-ulang secara teratur, suatu aktuvutas yang dianggap oleh suatu kelompok sebagai sesuatu yang sudah biasa dan rutin. Ritual merupakan bentuk penampilan yang penting karena secara tetap akan memperbarui pemahaman kita mengenai pengalaman bersama dan memberikan legitimasi terhadap sesuatu yang kita pikirkan, rasakan dan kita lakukan.
b. Hasrat yaitu bagaimana para karyawan dapat mengubah pekerjaan-pekerjaan rutin dan membosankan menjadi menarik dan merangsang minat. Cara yang biasa digunakan adalah dengan penuturan pengalaman pribadi, rekan sekerja ataupun pengalaman yang diorganisasi ataupun perusahaan tempat ia bekerja.
c. Sosialitas yaitu bentuk penampilan yang memperkuat suatu pengertian bersama mengeni kebenaran ataupun norma-norma dan penggunaan aturan-aturan dalam organisasi, seperti kata susila dan sopan santun. Aspek lain dari sosialitas adalah ‘privacy’, yaitu penampilan sosialitas yang dikomunikasikan dengan penuh perasaan dan bersifat sangat pribadi seperti pengakuan, memberi nasihat dan penyampaian kritik.
d. Politik organisasi yaitu merupakan bentuk penampilan yang menciptakan dan memperkuat minat terhadap kekuasaan dan pengaruh, seperti memperlihatkan kakuatan diri, kekuatan untuk mengadakan proses tawar menawar (bargaining power) dan sebagainya.
e. Enkulturasi yaitu proses mengajarkan budaya kepada para anggota organisasi. Contoh bentuk penampilan ini adalah ‘learning theropes’ yang terdiri dari urut-urutan penampilan ketika orang mengajarkan kepada orang lain tentang bagaimana mengerjakan sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
1. LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).
2. Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
3. Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press. 4. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
5. Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, McGrraw-Hill Companies
TEORI-TEORI KOMUNIKASI INTERPRETIF DAN KRITIS
TEORI KOMUNIKASI INTERPRETIF : FENOMENOLOGI DAN HERMEITIKA
TEORI KOMUNIKASI KRITIS
- Teori Marxist
- Frankfrut School
- Teori Feminist Media
- Teori Political Economi Media
- Teori Cultural Studies
- Analisis Framing
- Analisa Wacana
a. Perspektif Interpretif
Tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori Post Positivis, karena dianggap terlalu umum, terlalu mekanis dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia.
Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian jenis pemahaman ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan yang sangat berbeda dengan cara teori post positivis.
Pandangan dasar Perspektif Interpretif
Meliputi tiga bagian utama yakni :
(a). Fenomenologi :
(b), Hermeunetika
(c) interaksionis simbolik
Kajian Fenomenologi;
Dunia kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Begitulah ujar Hussel[14]. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya sehari-hari. Jadi pemikirannya bukan merupakan sebuah gerakan yang kohern. Ia mungkin lebih merfleksikan pemikiran dari beberapa filsuf, termasuk didalamnya Edmund Husselr, Maurice Marleu Ponty, Martin Haidger dan Alfred Schutz.
Secara singkat dapat dikatakan, fenomenolgi adalah kajian pemaknaan berdasaran kehidupan sehari-hari. Terbagi atas dua bagian, yakni Klasik (trasendantal) dan Modern.
Kajian Hermeuneutika;
Adalah kajian yang menunjukkan para ilmuwan pada pentingnya teks dalam dunia sosial dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan antara teks, pengarang, konteks dan kalangan teorisi. Dengan demikian Heurmeneutika pada dasarnya menyediakan suatu jalan untuk menghindar dari tekanan dalam penjelasan dan kontrol pada kalangan positivis serta pemahaman subjektif atas penelitian sosial.
Pengkajian teks yang dianalis terus mengalami perkembangan dan kini stdui komunikasinya meluas pada beberapa hal diantaranya, pidato, acara televisi, pertemuan bisnis, percakapan yang intim, prilaku nonverbal atau arsitektur dan dekorasi sebuah rumah.
Kajian Interaksionis Simbolik;
Berorienberinteraksi tasi pada prinsip bahwa orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang memengaruhi mereka[15].
b. TEORI KOMUNIKASI KRITIS
Kritik merupakan knsep kunci untuk memahami teori kritis. Teori ini dikembangkan oleh Mashab Frankfrut. Konsep kritik dupergunakan mazhab ini memiliki kaitan dengan sejarah dengan konsep kritik yang berkembang pada masa-masa Rennaisance.
(1) Teori Marxist
Tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya terus memberikan inspirasi bagi perkembangan ilmu sosial juga ilmu komunikasi. Model analisisnya adalah model khas Marx atau Marxisme, yaitu model analisis yang mencoba menemukan keuntungan pihak tertentu (dan kerugian pihak lain) di balik fenomena yang dianggap biasa-biasa.
Marxisme mengembangkan dua istilah pokok yakni;
(1) substrkutur atau faktor ekonomi yang berkembang dimasyarakat.
(2) Superstruktur atau faktor nonekonomi seperti agama, politik, seni dan literatur. Maxs berpendapat bahwa kondisi-kondisi ekonomi dipengaruhi faktor-faktor superstrukrur.
Atas dasar analisa ini, Marx mengarahkan pemikirannya untuk melakukan REVOLUSI (perubahan secara mendasar dan cepat) struktur masyarakat.
(2). Frankfrut School
Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut.
Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab', dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx.
Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan zaman.
Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.
(3) Teori Feminist Media
Menurut Stephen W. Littlejohn, studi-studi feminis merupakan sebuah sebutan generik bagi sebuah perspektif yang menggali pengertian dari gender dalammasyarakat. Dimulai dengan asumsi bahwa gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia, pembahasan feminis bertujuan untuk mengekspos kekuatan-kekuatan dan batasan-batasan dari pembagian dunia berdasarkan gendernya.
Fatalnya, banyak teori feminis yang memberi penekanan pada sifat mengekang dari hubungan jenis kelamin di bawah dominasi patriarki. Dengan sendirinya, feminisme dalam banyak hal merupakan sebuah studi tentang distribusi kekuasaan di antara jenis-jenis kelamin.
Para feminis sepertinya meminta adanya persamaan hak bagi perempuan, sebuah pengakuan publik bahwa perempuan memiliki kualitas dan kekuatan yang sama, yang dapat tampil sama baiknya di segala bidang kehidupan. Di lain pihak, mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, dan bahwa kekuatan dan bentuk2 ekspresi mereka harus dihargai dalam sisi mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah paradoks murni, supaya perempuan dihargai dan memiliki hak-hak yang sama, kekuatan perempuan harus diakui, tetapi penyorotan pada kekuatan-kekuatan perempuan ternyata semakin memperkuat pandangan patriarkis bahwa perempuan memiliki tempat sendiri.
(4). Teori Political Economi Media
Vincent Mosco dalam bukunya “The Political Economi of Communication” secara tersirat menyebutkan bahwa Posmodernitas dengan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Hal tersebut terbukti dari beberapa teori dalam buku Mosco yang mengupas tentang adanya keterkaitan hal tersebut diatas. Diantara teori-teori tersebut adalah komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi[16].
Komodifikasi menurut Karl Marx ialah kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti “kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali”; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar. Oleh karena itu kami mulai mengamati dengan sebuah analisis mengenai komoditi (barang-barang dagangan) (Mosco,1996:140). Komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Spasialisasi ialah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Sebagai contoh, media barat yang menyebarkan budaya mereka melalui media elektronik. Dari adanya hal tersebut memunculkan translator (orang-orang yang tidak dapat menyaring budaya) yang akirnya berakibat budaya barat menjadi budaya dunia. Dan kelompok hegemoni itu sendiri adalah kelompok yang menguasai politik, media dan teknologi sekaligus.
Strukturalisasi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari teori struktural. Yang didalammya menggambarkan tentang keunggulan untuk memberi perubahan sosial sebagai proses yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana sebuah struktur diproduksi dan diproduksi ulang oleh manusia yang berperan sebagai pelaku dalam struktur ini.
(5). Teori Cultural Studies
Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner.
Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.
Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial
Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies.
(6). Analisis Framing
Dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagaimana berita dibingkai? sisi mana yang ditekankan dan sisi mana yang hendak dilupakan analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, paktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.pembingkaian tersebut melalui proses yang disebut kontruksi. Disini, realitas sosial dimaknai dan dikontruksi dengan makna tertentu.
Dalam ranah penelitian media, analisis framing masuk dalam pradikma kontruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan luckman.
Media bukanlah satu saluran yang bebas memberitakan sesuatu apa adanya.mediajustru bersipat subyektip dan cenderung mengkonstruksi realitas. Analisis framing bertijuan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media.dengan cara dan teknik peristiwa itu ditekankan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, lupuk,atau sengaja disembunyikan dalam pemberitaan.
Analisis framing adalah metode untuk melihat cara bercerita(histori telling)media atas suatu peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada ’cara melihat’temadak realitas yang dijadikan berita. Sebagai suatu metode, analis framing banyak mendapat pengaruh dari sosiologi dan pisiologi.dan sosiologi, terutama sumbangan pemikiran dari peterberger dan erfing goffman. Dari psikologi adalah sumbangan dari teori yang berhubungan deng skema dan kognisi,dalam ranah penelitia media, analisis framing masuk dalam pradikma konstruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan lukman.
Media dan berita dilihat dari para dogma konstruksionis. Fakta peristiwa adalah hasil konstruksi realitas itu bersifat subjektif. Realitas hadir karena konsep subjektif wartawan. Realitas hadir sudut pandang tertera dari wartawan.
(7). Analisis Wacana
Banyak model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahli. Seperti yang dijabarkan oleh Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana, ada beberapa model analisis wacana yang populer dan banyak digunakan oleh para peneliti, diantaranya adalah model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh Roger Fowler dkk (1979), The van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998).
Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Melalui berbagai karyanya, van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan. Van Dijk membaginya kedalam tiga tingkatan :
- Stuktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.
- Superstuktur, adalah kerangka suatu teks : bagaimana stuktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.
- Stuktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisa kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.
----ooo----
SUMBER BACAAN
1. Theories of Human Communication, by Stephen W. Littlejohn, 2009.
2. Katherine Miller, Communication Theories, 2006.
3. Communication Theoris, Perspectives, Processes, and Context, by Katherine Miller, Second Edition, 2005.
4. Filsafat Ilmu Komunikasi, Elvinaro Ardianto. 2007
5. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Deddy Mulyana, Rosdakarya, Bandung, 2009.
6. The Political Economy Of Communication, Mosco,Vincent, SAGE Publications, London, 1996
[1]. Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 (Rogers. 1994:166).
[3] Lukiati Komala, Ilmu Komunikasi Perspektif, proses dan konteks, widya padjajaran, bandung 2009. h.175-177
[4] .W. Thibaut dan H.H. Kelley. Thibaut dan Kelley adalah psikoanalist yang berkonsentrasi pada bidang psikologi sosial khususnya interpersonal relationship atau hubungan antar personal. Pada tahun 1959 mereka membuat buku yang berjudul The Social Psychology of Groups. Buku ini konsern menjelaskan analisa hubungan dyad atau antar dua orang.
[5] Lukita Komala, Ilmu Komunikasi, persepektif, proses dan konteks, hal. 186
[6] terbit pada tahun 1972, yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media”.
[8] Rubin dalam Littlejohn, 1996 hal. 345
[9] McQuail, 2002 hal 387.
[10] "... segmen populasi dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung memperoleh informasi pada tingkat yang lebih cepat daripada segmen status yang lebih rendah sehingga kesenjangan pengetahuan antara segmen ini cenderung meningkat ketimbang penurunan."
[11] http://su.wikipedia.org/wiki/Teori_informasi
[12] EM Griffin, a firts look of communication theory, 5th editio, 2003 hal. 380
[13] Morissan, psikologi komunikasi, Galia Indonesia, 2010. hal.254-255
[16] Mosco,Vincent, The Political Economy Of Communication, SAGE Publications, London, 1996