» » Prinsip dasar komunikasi dalam kelompok.

Prinsip dasar komunikasi dalam kelompok.

Penulis By on 16 July 2010 | No comments

DESKRIPSI:
    Pemahaman terhadap komunikasi dalam Kelompok, pengertian, prinsip, karakteristik dan segala aspek yang berkaitan dengan komunikasi dalam kelompok.

TUJUAN INSTRUKSIONAL:
Setelah mengikuti matakuliah ini mahasiswa memahami komunikasi kelompok dan mampu menjelaskan serta menerapkannya dalam kegiatan yang berkaitan dengan pembahasan atau penerapannya di setiap konteks komunikasi  kelompok.

Referensi:
1. Sasa Djuarsa S., Teori Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta. 2003
2. John Fiske, Introduction to Communication Studies, Sage Publications, 1996
3. Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communiation, Wadsworth Publication, New Jersey, 1996.

===============

METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELOMPOK
      Cara lain untuk memahami tindak komunikasi dalam kelompok adalah dengan melihat bagaimana suatu kelompok menggunakan metode-metode tertentu untuk mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapi.  Dalam dataran teoritis, kita mengenal empat metode pengambilan keputusan, yaitu kewenangan tanpa diskusi (authority rule without discussion), pendapat ahli (expert opinion), kewenangan setelah diskusi (authority rule after discussion), dan kesepakatan (consensus).
      
a. Kewenangan Tanpa Diskusi
     Metode pengambilan keputusan ini seringkali digunakan oleh para pemimpin otokratik atau dalam kepemimpinan militer.  Metode ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu cepat, dalam arti ketika kelompok tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.  Selain itu, metode ini cukup sempurna dapat diterima kalau pengambilan keputusan yang dilaksanakan berkaitan dengan persoalan-persoalan rutin yang tidak mempersyaratkan diskusi untuk mendapatkan persetujuan para anggotanya.
    Namun demikian, jika metode pengambilan keputusan ini terlalu sering digunakan, ia akan menimbulkan persoalan-persoalan, seperti munculnya ketidak percayaan para anggota kelompok terhadap keputusan yang ditentukan pimpinannya, karena mereka kurang bahkan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.  Pengambilan keputusan akan memiliki kualitas yang lebih bermakna, apabila dibuat secara bersama-sama dengan melibatkan seluruh anggota kelompok, daripada keputusan yang diambil secara individual.

b. Pendapat Ahli

       Kadang-kadang seorang anggota kelompok oleh anggota lainnya diberi predikat sebagai ahli (expert), sehingga memungkinkannya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk membuat keputusan.  Metode pengambilan keputusan ini akan bekerja dengan baik, apabila seorang anggota kelompok yang dianggap ahli tersebut memang benar-benar tidak diragukan lagi kemampuannya dalam hal tertentu oleh anggota kelompok lainnya.
       Dalam banyak kasus, persoalan orang yang dianggap ahli tersebut bukanlah masalah yang sederhana, karena sangat sulit menentukan indikator yang dapat mengukur orang yang dianggap ahli (superior).  Ada yang berpendapat bahwa orang yang ahli adalah orang yang memiliki kualitas terbaik; untuk membuat keputusan, namun sebaliknya tidak sedikit pula orang yang tidak setuju dengan ukuran tersebut.  Karenanya, menentukan apakah seseorang dalam kelompok benar-benar ahli adalah persoalan yang rumit.

c. Kewenangan Setelah Diskusi


       Sifat otokratik dalam pengambilan keputusan ini lebih sedikit apabila dibandingkan dengan metode yang pertama.  Karena metode authority rule after discussion ini pertimbangkan pendapat atau opini lebih dari satu anggota kelompok dalam proses pengambilan keputusan.  Dengan demikian, keputusan yang diambil melalui metode ini akan mengingkatkan kualitas dan tanggung jawab para anggotanya disamping juga munculnya aspek kecepatan (quickness) dalam pengambilan keputusan sebagai hasil dari usaha menghindari proses diskusi yang terlalu meluas.  Dengan perkataan lain, pendapat anggota kelompok sangat diperhatikan dalam proses pembuatan keputusan, namun perilaku otokratik dari pimpinan, kelompok masih berpengaruh.
       Metode pengambilan keputusan ini juga mempunyai kelemahan, yaitu pada anggota kelompok akan bersaing untuk mempengaruhi pengambil atau pembuat keputusan.  Artinya bagaimana para anggota kelompok yang mengemukakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan, berusaha mempengaruhi pimpinan kelompok bahwa pendapatnya yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan.

d. Kesepakatan

       Kesepakatan atau konsensusakan terjadi kalau semua anggota dari suatu kelompok mendukung keputusan yang diambil.  Metode pengambilan keputusan ini memiliki keuntungan, yakni partisipasi penuh dari seluruh anggota kelompok akan dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil, sebaik seperti tanggung jawab para anggota dalam mendukung keputusan tersebut.  Selain itu metode konsensus sangat penting khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang kritis dan kompleks.
       Namun demikian, metode pengambilan keputusan yang dilakukan melalui kesepakatn ini, tidak lepas juga dari kekurangan-kekurangan.  Yang paling menonjo ladalah dibutuhkannya waktu yang relatif lebih banyak dan lebih lama, sehingga metode ini tidak cocok untuk digunakan dalam keadaan mendesak atau darurat.
       Keempat metode pengambilan keputusan di atas, menurut Adler dan Rodman, tidak ada yang terbaik dalam arti tidak ada ukuran-ukuran yang menjelaskan bahwa satu metode lebih unggul dibandingkan metode pengambilan keputusan lainnya.  Metode yang paling efektif yang dapat digunakan dalam situasi tertentu, bergantung pada faktor-faktor: 1) jumlah waktu yang ada dan dapat dimanfaatkan, 2) tingkat pentingnya keputusan yang akan diambil oleh kelompok, dan 3) kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh pemimpin kelompok dalam mengelola kegiatan pengambilan keputusan tersebut.


Kepemimpinan dalam Kelompok


   Kepemimpinan merupakan salah satu peran yang penting dalam interaksi kelompok; karena peran ini akan menentukan kuantitas dan kualitas komunikasi dalam kelompok, hasil dari tujuan kelompok, dan harmoni atau keselarasan dalam kelompok.  Bahasan mengenai kepemimpinan dalam kelompok ini dibagi dalam dua kajian, yaitu fungsi kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam kelompok.
  
1. Fungsi Kepemimpinan
  
   Burgoon, Heston dan McCroskey menguraikan adanya delapan fungsi kepemimpinan, yaitu:
  1. Fungsi inisiasi (initiation).  Dalam fungsi ini, seorang pemimpin perlu mengambil prakarsa untuk menciptakan gagasan-gagasan baru, namun sebaliknya tugas pemimpin yang memberi pengarahan ataupun menolak gagasan-gagasan dari anggota kelompoknya yang dinilai tidak layak.  Inisiatif dalam artii menciptakan ataupun menolak ide-ide baru baik yang berasal dari pimpinan itu sendiri ataupun dari anggota kelompoknya perlu untuk dilaksanakan, sebab pemimpin mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap keberadaan atau eksistensi kelompok yang dipimpinnya, disamping itu yang lebih penting adalah tanggung jawab untuk terlaksananya tujuan-tujuan kelompok.
  2. Fungsi keanggotaan (membership). Salah satu bagian dari perilaku seorang pemimpin adalah memastikan bahwa dirinya juga merupakan seorang anggota kelompok.  Perilaku tersebut dijalankannya dengan cara meleburkan atau melibatkan dirinya dalam kelompok serta melakukan aktivitas yang menekankan kepada interaksi informal dengan anggota kelompok lainnya. 
  3. Fungsi perwakilan (representation).  Seorang pemimpin tidak jarang harus melindungi dan mepertahankan para anggotanya dari ’ancaman-ancaman’ yang berasal dari luar, inilah makna dari fungsi perwakilan dalam kepemimpinan kelompok.  Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menjadi wakil atau juru bicara kelompok di hadapan kelompok lainnya.
  4. Fungsi organisasi (organization).  Dalam fungsi ini tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan  persoalan organisasional seperti struktur organisasi, kelancaran roda organisasi dan deskripsi kerja ada ditangan seorang pemimpin, sehingga ia perlu memiliki bekal kemampuan mengelola organisasi yang tentunya lebih baik dibandingkan anggota kelompok lainnya.
  5. Fungsi integrasi (integration).  Seorang pemimpin perlu mempunyai kemampuan untuk memecahkan ataupun mengelola dengan baik konflik yang ada dan muncul di kelompoknya.  Dengan bekal kemampuan tersebut diharapkan seorang pemimpin dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk tercapainya penyelesaian konflik yang dapat memberikan kepuasan kepada semua anggota kelompok.
  6. Fungsi manajemen informasi internal (internal information management).  Pimpinan pada suatu waktu tentu harus memberi sarana bagi berlangsungnya pertukaran informai ini di antara para anggotanya dan juga mencari masukan-masukan tentang bagaimana sebaiknya kelompoknya harus merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program kerjanya, inilah hasil penting dari fungsi manajemen informasi internal yang perlu ada dalam kepemimpinan kelompok.
  7. Fungsi penyaringan informasi (gatekeeping).  Dalam fungsi ini, seorang pemimpin bertindasebagai pemyering sekaligus manajer bagi informasi yang masuk dan keluar dari kelompok yang dipimpinannya.  Fungsi tersebut dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok ataupun dengan kelompok lain, karena informasi yang ada dalam kelompok tersebut telah terseleksi.
  8. h) Fungsi imbalan (reward).  Terakhir, dalam fungsi imbalan atau ganjaran, pemimpin melakukan fungsi evaluasi dan menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh para anggotanya.  Hal ini dilakukan pimpinan melalui imbalan-imbalan materi seperti peningkatan gaji, pemberian kenaikan pangkat jabatan, pujian ataupun penghargaan.  Banyak anggota kelompok sangat sensitif terhadap kekuatan imbalan dari pimpinannya, sehingga pkerjaan ataupun tugas yang dilakukannya diarahkan untuk memperoleh imbalan tersebut.

2. Gaya Kepemimpinan dalam Kelompok


   Gaya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai tingkat atau derajat pengendalian yang digunakan seorang pemimpin dan sikapnya terhadap para anggota kelompok (the degree of control a leader exercise and his attitudes toward group members).  Gaya kepemimpinan dalam kelompok ini bisa dibagi dalam lima ciri, yaitu:
  1. Authoritarian.  Dalam gaya authoritarian ini, seorang pemimpin adalah seorang pengendali (controler).  Kata-kata yang diucapkannya adalah hukum atau peraturan dan tidak dapat diubah.  Seorang pemimpin dalam gaya authoritarian ini, biasanya menyandarkan diri pada aturan-aturan, monopoli tindak komunikasi dan seringkali meniadakan umpan balik dari anggota lainnya.  Kelompok yang menggunakan gaya kepemimpinan ini memiliki kemungkinan terorganisasi dengan baik dan produktif, namun hubungan antarpribadi (internal reletionship) di antara para anggota kelompok cenderung renggang dan antagonistik.
  2. Bureaucratic.  Sedangkan dalam gaya kepemimpinan birokratik, pimpinan bertindak sebagai pengawas atau sepervisor dan mengkoordinasikan aktivitas kelompok.  Pedoman dari gaya kepemimpinan ini adalah ’organisasi’, bukan diri seorang pemimpin seperti yang ada dalam gaya authoritarian.  Seorang pemimpin birokratik memandang hubungan sosial sebagai hal yang tidak dikehendaki, karenanya ia lebih suka menjauhkan dan tidak memperhatikan persoalan-persoalan antarpribadi yang dihadapi para anggotanya.  Pemimpin birokratik cenderung berkomunikasi melalui saluran tertulis secara resmi.  Kelompok yang memakai gaya kepemimpinan ini akan lebih produktif sebab segala sesuatunya terorganisasi dengan baik, namun ada kecenderungan dari anggota kelompok untuk bersikap apatis.
  3. Diplomatic.  Pemimpin yang menggunakan gaya diplomatik adalah seorang manipulator, artinya ia melaksanakan kepemimpinannya supaya menjadi pusat perhatian para anggota kelompoknya.  Pemimpin yang diplomatis cenderung untuk sedikit menggunakan kontrol atau setidaknya lebih halus dalam memakai kontrol tersebut dan lebih luwes dibanding pemimpin authoritarian.  Ia tidak terpaku terhadap satu aturan khusus dan karenanya lebih bebas untuk menggunakan strategi-strategi tertentu guna memanipulasi orang lain.  Dengan demikian, pemimpin diplomatik terbuka dengan adanya sarana dan umpan balik yang demokratis dari anggota kelompoknya.
  4. Democratic.  Dalam gaya kepemimpinan demokratik, pemimpin tidak banyak menggunakan kontrol apabila dibandingkan dengan ketiga gaya kepemimpinan sebelumnya.  Pemimpin demokratik mengharapkan seluruh anggotanya untuk berbagi tanggung jawab dan mampu mengembangkan potensi kepemimpinan yang dimilikinya.  Pemimpin yang demokratik, memiliki kepedulian terhadap hubungan antarpribadi maupun hubungan tugas di antara para anggota kelompok.  Meskipun nampaknya kurang terorganisasi dengan baik, namun gaya ini dapat berjalan dalam suasana yang rileks dan memiliki kecenderungan untuk menghasilkan produktivitas dan kreativitas, karena gaya kepemimpinannya ini mampu memaksimalkan kemampuan yang dimiliki para anggotanya.
  5. Laissez-faire atau group centered.  Gaya ini tidak berdasarkan pada aturan-aturan.  Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini menginginkan seluruh anggota kelompoknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang dimilikinya.  Tindak komunikasi dari pemimpin ini cenderung berlaku sebagai seorang penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbangan pemikiran dari anggota kelompoknya.  Jika tidak ada yang mengendalikannya, kelompok yang memakai gaya ini akan menjadi tidak terorganisasi, tidak produktif dan anggotanya akan apatis, sebab mereka merasa bahwa kelompoknya tidak memiliki maksud dan tujuan yang hendak dicapai.  Walau begitu, dalam situasi tertentu khususnya dalam kelompok terapi, gaya kepemimpinan laissez-faire ini adalah yang paling layak dan efektif dari gaya-gaya kepemimpinan terdahulu.

Komunikasi Kelompok dalam Perspektif Teoritis

       Kelompok dalam perspektif interaksional dikemukakan Marvin Shaw sebagai dua orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain dengan cara tertentu, di mana masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pihak lainnya.  Suatu kelompok (kecil) adalah kelompok yang terdiri dari dua puluh orang atau kurang, walaupun dalam beberapa hal kita lebih berkepentingan dengan kelompok yang terdiri dari lima orang atau kurang.
       Batasan yang diuraikan Shaw melibatkan tindak komunikasi sebagai karakteristik yang esensial dari kelompok.  Masih menurut Shaw, kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat bertahan untuk suatu periode waktu yang relatif panjang, memiliki tujuan, dan memiliki struktur interaksi.
       Pengantar singkat ini dimaksudkan untuk memberi gambaran kepada kita, bahwa kelompok merupakan bagian yang sangat penting dari aktivitas suatu masyarakat.  Clovis Sheperd menjelaskan, bahwa kelompok merupakan suatu mekanisme mendasar dari sosialisasi dan sumber utama dati tatanan sosial.  Orang mendapatkan nilai dan sikap mereka, sebagian besar dari kelompok di mana mereka berada.  Karenanya, kelompok (kecil) memberikan suatu fungsi perantara yang penting antara individu dengan masyarakat luas.
       Dalam kegiatan belajar ini, kita akan mempelajari beberapa perspektif teoritis dalam komunikasi kelompok.  Perspektif tersebut antara lain mencakup teori perbandingan sosial, teori kepribadian kelompok, teori pencapaian kelompok dan teori pertukaran sosial serta teori sosiometris.  Masing-masing teori tersebut sksn kits coba pahami satu persatu dengan lebih mendalam.

Teori Perbandingan Sosial (Social Comoarison Theory)

       Teori atau pendekatan perbandingan sosial mengemukakan bahwa tindak komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu untuk embendingkan sikap, pendapat dan kemampuannya dengan individu-individu lainnya.
       Dalam pandangan teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul ketidak setujuan yang berkaitan dngan suatu kejadian atau peristiwa, kalau tingkat kepentingannya peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok (group cohesivenes) juga menunjukkan peningkatan.  Selain itu, setelah suatu keputusan kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut.
       Sebagai tambahan catatan, teori perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau penuruanan.

Teori Kepribadian Kelompok (Group Syntality Theori)

       Teori kepribadian merupakan studi mengenai interaksi kelompok pada basis dimensi kelompok dan dinamika kepribadian.  Dimensi kelompok merujuk pada cirri-ciri populasi atau karakteristik individu seperti umur, kecendekiawanan (intelligence), sementara cirri-ciri kepribadian atau suatu efek yang memungkinkan kelompok bertindak sebagai satu keseluruhan, merujuk pada peran-peran specific, klik dan posisi status.  Dinamika kepribadian diukur oleh apa yang disebut dengan synergy, yaitu tingkat atau derajat energi dari setiap individu yang dibawa dalam kelompok untuk digunakan dalam melaksanakan tujuan-tujuan kelompok.  Banyak dari synergy atau energi kelompok harus dicurahkan ke arah pemeliharaan keselarasan dan keterpaduan kelompok.
    Konsep kunci dari syntalitytheori ini adalah synergy.  Synergy kelompok adalah jumlah input energi dari anggota kelompok.  Meskipun demikian tidak semua energi yang dimasukkan ke dalam kelompok akan lengsung mendukung pencapaian tujuannya.  Karena tuntutan antarpribadi sejumlah energi harus dihabiskan untuk memelihara hubungan dan kendala antarpribadi yang muncul.
       Selain synergy kelompok, kita mengenal pula ‘effective synergy’, yaitu energi kelompok yang tersisa setelah dikurangi energi intrinsic atau synergy pemeliharaan kelompok.  Energi intrinsic dapat menjadi produktif, sejauh energi tersebut dapat membawa ke  arah keterpaduan kelompok, namun energi intrinsic tidak dapat memberikan kontribusi langsung untuk penyelesaian tugas.
    Synergy suatu kelompok dihasilkan dari sikap anggotanya terhadap kelompok.  Sampai batas mana para anggota memiliki sikap yang berbeda terhadap kelompok dari kegiatannya, maka yang muncul kemudian adalah konflik, sehingga akan meningkatkan proporsi energi yang dibutuhkan untuk memelihara atau mempertahankan kelangsungan kepentingan kelompok.  Jadi, jika individu-individu semakin memiliki kesamaan sikap, maka akan semaki berkurang pula kebutuhan akan energi intrinsic, sehingga effective synergy menjadi semakain besar.
       Dalam contoh sederhana, kita akan mencoba melihat teori ini dalam penerapannya.  Dalam suatu kegiatan untuk membentuk kelompok belajar ditemukan bahwa individu-individu memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap materi pelajaran dan metode belajarnya.  Pada situasi yang demikian tersebut, munculnya perbedaan sikap individu, sehingga banyak waktu dan energi yang dihabiskan untuk menyelesaikan persoalan antarpribadi antara anggota kelompok.  Inilah yang disebut dengan energi intrinsic.  Kemudian setelah nilai ujian diumumkan dan para anggota merasa bahwa kelompok belajarnya telah gagal untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka ada satu atau lebih anggota menarik energinya keluar dari kelompok untuk mengikuti kelompok lain atau belajar sendiri.  Dalamm hal ini, effective synergy dari keompok tersebut sangat rendah, sehingga untuk dapat mencapai lebih dari apa yang dapat dilakukan secara individual.
       Sebaliknya, jika salah seorang anggota masuk dalam kelompok belajar yang lain.  Kelompok elajar tersebut dengan segera mencapai kesepakatan mengenai bagaimana harus memulai dan segera bekerja.  Karena sangat sedikit bahkan tidak ada kendala antarpribadi yang muncul, maka kelompok belajar tersebut menjadi padu sehngga effective synergy-nya tinggi dan tentunya setiap anggota kelompok akan lebih baik dalam melaksanakan ujian, daripada jika mereka belajar sendiri-sendiri.

Teori Percakapan Kelompok (Group Achievement Theory)


       Teori percakapan kelompok ini sangat berkaitan dengan produktivitas kelompok atau upaya-upaya untuk mencapainya melalui pemeriksaaan masukan dari anggota (member inputs), variable-variabel perantara (mediating variables), dan keluaran dari kelompok (group output).  Masukan atau input yang berasal dari anggota kelompok dapat diidentifikasikan sebagai perilaku, interkasi dan harapan-harapan (expectation) yang bersifat individual.  Sedangkan variable-variabel perantara merujuk pada struktur-struktur formal dan struktur peran dari kelompok seperti status, norma, dan tujuan-tujuan kelompok.
       Dan yang dimaksud dengan keluaran atau output kelompok adalah pencapaian atau prestasi dari tugas atau tujuan kelompok.
       Produktivitas dari suatu kelompok dapat dijelaskan melalui konsekuensi perilaku, interaksi dan harapan-harapan melalui struktur kelompok.  Dengan kata lain, perilaku, interaksi dan harapan-harapan (input variables) mengarah pada struktur formal dan struktur peran (mediating variables) sebaliknya variabel ini mengarah pada produktivitas, semangat dan keterpaduan (group achievement).

Teori Pertukaran Sosial (Socual Exchange Theory)


       Teori pertukaran sosial ini didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang dapat mencapai satu pengertian mengenai sifat kompleks dari kelompok dengan mengkaji hubungan di antara dua orang (dydic relationship).  Suatu kelompok dipertimbangkan untuk kumpulan dari hubungan antara dua partisipan tersebut.
       Perumusan tersebut mengasumsikan bahwa interaksi menusia melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya (cost) dan imbalan (reward) dipahami dalam situasi yang akan disajikan untukmendapatkan respon dari individu-individu selama interaksi sosial.  Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi kelompok akan diakhiri atau individu-individu yang terlibat akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi imbalan apa pun yang mereka cari.
       Pendekatan pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok dalam lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan.

Teori Sosiometrik (Sociometric Theory)

    Sosiometrik merupakan sebuah konsepsi psikologis yang mengacu pada suatu pendekatan metodolohis dan teoritis terhadap kelompok.  Asumsi yang dimunculkan adalah bahwa individu-individu dalam kelompok yang merasa tertarik satu sama lain akan lebih banyak melakukan tindak komunikasi, sebaliknya individu-individu yang saling menolak, hanya sedikit atau kurang melaksanakan tindak komunikasi.
       Tataran atraksi atau ketertarikan dan penolakan (repulsion) dapat diukur melalui alat tes sosiometri, di mana setiap enggota ditanyakan untuk memberi jenjang atau rangking terhadap anggota-anggota lainnya dalam kerangka ketertarikan antarpribadi (interpersonal attractiveness) dan keefektifan tugas (task effectiveness).  Dengan menganalisis struktur kelompok pola  melalui sosiometri ini, seseorang dapat menentukan bagaimana kelompok yang padu dan produktif yang mungkin terjadi.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments