di depan Istana Bogor |
Dear darling Yury,
Today I cannot come.
I’m so busy, that
I cannot find time to
see you. But I do
see you in my heart.
Take good care of yourself
Today I cannot come.
I’m so busy, that
I cannot find time to
see you. But I do
see you in my heart.
Take good care of yourself
Inilah kalimat dalam sepucuk surat cinta Bung Karno kepada istri mudanya Yurike Sanger, perempuan 16 tahun yang amat dicintainya. Terbayang begitu dalamnya cinta Soekarno yang dituangkan dalam goresan penanya. “See You in My Heart”, penggalan kalimat yang teramat dahsyat, untuk seorang gadis belia seperti Yuri. Desahannya begitu terasa menembus relung hati, melewati ruang dan seolah mendinginkan revolusi yang membara kala itu. Beliau benar-benar piawai memainkan dawai cintanya. Wanita pun bertekuk lutut dalam kharismanya.
Saya kurang paham, siapa sebenarnya tokoh yang di idolakan Bung Karno dalam hidupnya? Mengapa beliau begitu mendewakan cinta dan wanita sebagai simbol pembuktiannya? Apakah ada misteri atau hubungan antara ‘kegilaannya’ terhadap wanita dengan kepemimpinannya sebagai tokoh revolusioner yang menggaung tak hanya di negerinya, tetapi menembus batas lintas negara di benua Asia, Afrika hingga Eropa.
Saya baru bisa menangkap sebagian kesan itu ketika berkunjung ke Istana Bogor beberapa hari lalu. Istana yang bagi Saya tidak sekedar menjadi gedung kerja, tetapi lebih dari itu, menjadi istana semedi cinta seorang Bung Karno. Kenapa? Sebab aroma cinta, aroma wanita begitu terasa pada istana ‘warisan’ dari dua gubernur jenderal yang pernah mendiaminya, masing masing Sir Stanford Raflesh dari Inggris, dan Herman Willem Daendels dari Belanda. Apalagi istana ini berdiri kokoh dalam hamparan areal yang sangat luas, sejuk, sepi dan menghijau. Terbayang bagaimana romantisme Bung Karno memanjakan wanita-wanitanya.
Hampir semua sudut ruangan Istana Bogor ‘beraroma’ wanita. Begitu Anda memasuki gedung utama, maka disambut dengan patung wanita tanpa busana yang menggambarkan kemolekan lekuk tubuh seorang wanita. Tak hanya itu, di taman, di halaman utama, belakang istana, semuanya terdapat patung-patung wanita. Satu diantara patung itu, tepatnya di halaman utama, adalah patung wanita yang dikirim langsung dari Beograd, Yugoslavia sebagai sumbangan Presiden Josep Bross Tito pada Bung Karno. Nampaknya, Tito paham selera Bung Karno soal wanita.
Juga ada satu patung wanita yang letaknya disamping istana, patung ini di beri nama ‘Si Denok’. Dalam riwayatnya, Si Denok mirip seorang wanita Sunda yang suaminya pernah menjadi pegawai istana yang dikagumi Bung Karno. Wah!!...sepertinya Saya seolah ‘menuduh’ Bung Karno kalau beliau punya affair dengan wanita itu. Tetapi apapun kisahnya, Bung Karno mewujudkan impiannya pada seorang wanita tak sekedar pada simbolisasi patung wanita. Beliau pun terang-terangan menikahi sejumlah wanita, meskipun hanya seorang yang berposisi sebagai ibu negara yakni adalah Ibu Fatmawati. Ibu dari mantan Presiden Megawati Soekarno Putri.
Si Denok |
Salah satu wanita fenomenal yang dinikahinya adalah Dewi Syuga, wanita Jepang yang amat cantik dan pernah menghebohkan dunia di awal tahun 1990-an dengan pose-pose yang mempengaruhi libido kaum Adam. Tentu menjadi sorotan dunia, sebab Dewi adalah istri seorang tokoh yang sangat berpengaruh di kawasan Asia-Afrika, dan mempengaruhi Eropa dan Amerika kala itu.
Aroma wanita dalam istana, tidak sekedar tersimbolisasi melalui patung. Di ruang tengah terdapat lukisan sang maestro Basuki Abdullah, juga melukiskan seorang wanita. Bahkan di ruang kerja hingga ruang istrahat, aroma wanitanya sangat terasa dengan foto-foto Bung Karno bersama istri-istri yang amat di sayanginya. “Benar-benar lelaki tulen, seniman, arsitek, revolusioner, dan pencinta, adalah gambaran paripurna seorang Bung Karno” ujarku.
patung ruang masuk |
kiriman dari Tito di Beorgad |
patung samping kanan istana |
Istana Bogor telah menyadarkan Saya, bahwa sebenarnya cerita tentang Bung Karno dan kegilaannya pada wanita bukanlah sekedar ‘tools’ syahwat seorang lelaki berkarakter seperti beliau. Tetapi wanita bagi Bung Karno adalah punya kajian filosof tinggi. Bahwa apapun yang kita bangun, seberat apapun tanggung jawab dalam mengemban tugas, maka unsure keindahan, kelembutan, seni, keramahtamahan, kecantikan, etika adalah sesuatu yang tak bisa ditinggalkan. Dan, Bung Karno seolah mewujudkannya semua itu dalam rahasia pada sosok wanita. Wajarlah kemudian beliau banyak memiliki istri, yang begitu dicintainya, dan diperlakukannya dengan baik.
Andai saja, beliau hidup seperti saat ini dimana kajian-kajian feminist telah merambah di semua lini, Saya yakin Bung Karno tak akan dinilai sebagai ‘bangkotan’, ‘play boy’ atau apapun istilahnya, sebab meski memiliki banyak istri, Bung Karno teramat sangat mencintainya..
Bung Karno juga amat piawai bermain ‘interaksi simbolik’. Semisal kegemaran beliau menggunakan istilah “Srihana-Srihani”. Srihana adalah samaran Bung Karno, sementara Srihani adalah Hartini, juga seorang istri beliau. Istilah ini, masih bisa Anda temui ketika berkunjung pada sebuah rumah di Jalan Bonang 62, Jakarta Pusat, dimana pada tembok terasnya tertulis ”Srihana-Srihani”. Tulisan itu cukup mencolok, berwarna kuning keemasan setinggi 40 sentimeter.
Sukarno memang puitis..dan gaya ini juga menular juga ke Fatmawati. Saat Bung Karno meninggal pada 21 Juni 1970, Fatmawati tidak hadir melepas kepergian suaminya. Namun, ia mengirim karangan bunga bertuliskan: ”Tjintamu jang selalu mendjiwai rakjat. Tjinta Fat.’
Dalam sejarah hidup Bung Karno, terdapat delapan wanita yang pernah menjadi istrinya. Diantarnya Inggit Ganarsih, Fatmawati (sebelumnya bernama Fatimah, diganti menjadi fatmawati bagi Bung Karno berarti Bunga Melati), Hartini, Ratna Dewi (Dewi Syuga), Haryati, Yurike Sanger (Yuri).
penulis dan patung kemiskinan |
Jujur, sebenarnya Saya ragu menuliskan petualangan ‘Istana Bogor’ ini. Tapi bagi kita generasi pelanjutnya tentu punya cara bagaimana belajar dari keagungan yang ada dalam Istana Bogor, mengenal sosok dan karakter seorang Bung Karno dan belajar dari apa yang pernah dilakukannya. Sebab meski Soekano seorang pencinta, tapi Bung Karno tidak melupakan kemiskinan rakyatnya. Simbolisasi kemiskinan itu juga disimbolkan melalui patung yang terpajang di samping tangga utama masuk Istana Bogor.
Bila Anda belum percaya.segeralah ke Istana Bogor..pelajaran menanti….
Catatan pagi hari, Jakarta, 24 Mei 2011.