» » » » Pelajaran Merah Putih Dari Victoria Park

Pelajaran Merah Putih Dari Victoria Park

Penulis By on 17 May 2011 | No comments

“Kak, Aku tetaplah wanita Indonesia…
“Seberapa jauh kakiku melangkah hingga ke Hongkong..
“Seberapa banyak dollar kuraih, dan seberapa gedung dan gemerlap kota yang membiusku..
“Aku masih sadar, Aku tak bisa mengubah wajah Indonesiaku…
“Aku tetap merindukankan gemercik air di hutan itu..
“Aku tetap merindukan kampung kecilku yang damai, tenang dan penuh keriangan..
“Kak, saatnya nanti pita merah putih itu akan tetap terselempang…
“Aku tetap akan memberikan hormat pada kibaran benderaku…
“Aku tetaplah merah putih dari negeri Victoria Park…

Begitu tuturan Tri Handayani melalui teleponnya semalam (15/5) dari Hongkong, negara koloni Inggris tempatnya bekerja sebelas tahun silam sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Namun kerinduannya dengan Indonesia begitu membuncah. Fasilitas yang serba modern, aturan ketenagakerjaan Hongkong yang lebih ‘manusiawi’ dibanding  Jiran dan Timur Tengah, tak pernah memupuskan impiannya untuk menikmati hari tuanya di negeri kelahirannya, Indonesia.

Tri Handayani dan Ratna Dewi Irawan, dua mantan siswaku yang kini jadi TKW
Wanita 29 tahun berdarah Blitar Jawa Timur yang terlahir di desa eks transmigrasi di penghujung Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara sana, tak pernah membayang menikmati suasana Hongkong yang gemerlap, tinggal dengan majikan di sebuah apartemen mewah di kawasan Central Distrik.. Ia juga tak pernah membayang indahnya suasana The Peak, gunung tertinggi di Hongkong Island. Tak pernah bermimpi menikmati Golden Bauhinia Square, yang dikenal sebagai tempat upacara kenegaraan yang sangat penting dalam sejarah Hong kong, dan juga tak pernah ada dibenaknya akan menikmati taman bunga di Ocean Park, sebuah taman bermain paling popular yg menempati rangking ke-7 di dunia.

“Bagi Aku, ini semua itu hanyalah mimpi Kak.”
“Alam nyata yang sebenarnya tetap kuharapkan adalah Indonesiaku…”
“Indonesia yang punya Kota Bandung yang sejuk, ramah, dan menawan”
“Punya Borobudur dan Prambanan yang maha indah..”
“Punya Surabaya yang heroik, Jakarta yang meski padat tapi gemerlap di malam hari”
“Punya Jogjakarta yang sangat gemulai dan berbudaya, Bali yang mempesona”
“dan pantai-paintai nan indah di kawasan Timur Indonesia..”
“Mimpiku yang sebenarnya, adalah berkeliling menikmati Indonesia-ku dari Sabang hingga Marauke. Semoga Aku bisa Kak”

narsis-narsisan di negeri orang...
Tri menghabiskan waktu berjam-jam lamanya menelpon kartu ‘simpati’-ku untuk mengungkapkan rasa nasionalismenya. Menumpahkan uneg-uneg ke-indonesia-annya melalui fasilitas telkomsel itu setelah lama mencari dan menemukanku di blog kompasiana. Ia memang rajin searching mencari orang-orang yang dikenalnya, dengan perangkat teknologi yang telah dikenalnya.

Aku terenyuh beberapa saat lamanya, sebab wanita yang pernah menjadi ‘adik’ binaanku di Gerakan Pramuka semasa SMP dan SMA beberapa tahun silam, ternyata punya memori yang kuat tentang kecintaannya dengan Indonesia. Ia menganggapku sebagai kakak kandungnya, tempatnya berbagi, curhat, bahkan mengkritisi sikapku yang cenderung lebih terobsesi ke dunia barat.

“Di Pramuka, Kakak telah mengajariku tentang Indonesia, dan Aku sangat bangga. Sejauh mana pun kakak melanglang dunia, ke Cina, Amerika, janganlah pernah melupakan Indonesia.  Apapun ilmu yang Kakak peroleh di negeri orang, pulanglah ke Indonesia dan bangunlah negara kita, Aku sangat yakin Indonesia akan lebih maju dari negara lainnya di dunia ini. Percayalah, kita lebih hebat dari negara manapun. Aku pun bgitu Kak, kelak nanti ke mbali ke tanah air, bisa berbuat bagi negeriku, meski itu hanya di desa kecil.” Tri tiba-tiba mengajariku pentingnya bangga sebagai warga negara.

Ungkapan-ungkapan renyah dari seorang TKW seperti Tri, mengingatkanku pada cerita petualangan Mayang dalam film ‘Minggu Pagi di Victoria park’, yang menjadi jawara dalam The Movie Award 2011 yang disiarkan sebuah stasiun TV nasional beberapa malam yang lalu.  Dalam film itu, Mayang, anak pertama dari pasangan Sukardi dan Lastri diberangkatkan ke Hong Kong sebagai TKW. Penuh dengan ketidak tahuan dan rasa takut, ia belajar dan bekerja sekaligus bertahan hidup di keluarga dan negara yang sangat asing baginya.

Tetapi kisah Mayang dalam film berbeda dengan Tri Handayani. Tri ke Hongkong bukan karena paksaan orang tuanya seperti kisah Mayang, tetapi semata ‘berburu’ dollar meski berstatus sebagai pembantu rumah tangga. Uniknya Tri rela berpisah dengan suami yang baru di nikahi-nya 10 bulan lalu.

“Apa yang kulakukan, termasuk berpisah dengan suami, semata-mata untuk hidup Kak. Saya tak perlu takut dengan cerita orang, yang penting Aku jalan yang benar. Bicara dosa pun tak ada gunanya, sebab dosa adalah urusan Aku dan Tuhanku. Sekalipun ada dosa yang kuperbuat, mereka juga tak menanggung dosaku...” ujar Tri pelan, dan suaranya seolah serak  menahan tangis.

Kampanye Indonesia dan Melawan Diskriminasi

Tri tidak sekedar curhat, Dia juga mengungkapkan sikap ‘narsisnya’ ke Indonesia-annya di Hongkong. Ia bertutur bagaimana bangganya menjadi orang Indonesia ketika Timnas PSSI bertarung di Piala AFF. “Aku yakin Kak, Timnas bisa ke Piala Dunia, seperti tim bulu tangkis kita.. Hidup Indonesia !!!..hehehe” ujarnya terkekeh di telepon.

Para TKW di Hongkong begitu percaya diri (baca : pede) meski hanya bersatus sebagai pembantu rumah tangga. Bila ada liburan. Mereka bisa berkumpul menggelar pengajian dengan sesama TKW, mengikuti seminar-seminar ‘ke-indonesia-an’ yang digelar Konsulat Jenderal RI, hingga menyalurkan minat dan bakat masing-masing.  “Kami tak pernah malu sebagai orang Indonesia, meski kami adalah TKW,” ujarnya singkat

Kenapa? “Karena merek sebagai ‘pembantu’ di Hongkong tidak ada Kak. Di sini kami adalah pencari kerja yang punya hak sama dengan warga lainnya dan dilindungi undang-undang ketenaga-kerjaan Hongkong, sama posisinya dengan tenaga kerja professional lainnya di negara itu. Mungkin ini yang membedakan Hongkong dengan Malaysia atau negara-negara Timur tengah lainnya, makanya kita bebas berekspresi sesuai bakat masing-masing. Karena Aku pernah dilatih Pramuka, maka yang kulakukan adalah mengkampanyekan Indonesia dengan caraku sendiri. Setidaknya ketika di tanya, apa itu Indonesia, Aku langsung menjawabnya Indonesia adalah negara yang nyaman dan indah,” Katanya berargumen.

Takaran ke-Indonesiaan’ Tri Handayani mungkin sederhana. Tapi kepolosannya mengungkap dan menyerukan nama Indonesia di negara lain sungguh perbuatan yang sepatutnya menjadi sikap yang patut di contoh. Tri memang wanita polos dan hanya ber-ijazah SMA, besar di desa, pengetahuannya tidak seberapa luas, tetapi dogma Indonesia begitu melekat di pikirannya. Ia pun seolah mengigatkanku pada sosok ‘penatar P-4’ asa zaman pemerintahan Presiden Soeharto.

Kecintaannya kepada Indonesia juga diungkapkannya dalam bentuk sikap kritis melawan diskriminasi yang kerap dirasakan para TKW ketika pulang ke Indonesia. “Kak, kalau di Airport di Indonesia, saat kita pulang sering ada diskriminasi pada TKW. Kami diberikan ruang terpisah berbeda dengan penumpang umum lainnya. Padahal kami juga penumpang biasa, membayar pajak, biaya pesawat, tapi begitu masuk air port, kami seolah-olah masyarakat rendahan. Kenapa harus dibedakan seperti itu, sementara syarat dan kelengkapan Kami ke luar negeri juga dipenuhi? Ujarnya.

“Diskriminasi seperti ini layaknya diperhatikan pemerintah kita..”
“Kita adalah bangsa besar yang menghargai perbedaan, menghargai kesederajatan..”
“Tapi kenapa TKW sepertinya kelompok sendiri, dan mendapat perlakuan berbeda”
“Harusnya ini tak ada lagi di negara kita”

Tri Handayani  pamit. Suaranya tenggelam di belah malam. Sebab esok pagi ia harus melayani dan merawat majikannya. Seorang Chinese tua berumur 80-an tahun. Senyap-senyap dari kejauhan Tri dan majikannya berbahasa Mandarin. Oww.. Tri ternyata telah mengerti bahasa asing.  “Kak, suara itu suara majikan Saya”. Ia pamit dengan ucapan selamat malam dari Victoria Park.

 Apakah kita punya jiwa ke Indonesiaan seperti layaknya Tri yang TKW itu?


Jakarta, 15 Mei 2011
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments