Hari ini, 31 Oktober 2011, sebuah hari yang bersejarah buat adik kandung saya, Haris. Ia terpilih menjadi Kepala Desa Kastura, sebuah desa eks wilayah transmigrasi yang terletak di Kecamatan Watubangga, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Ia unggul telak atas kandidat Kepala Desa lainnya dengan perolehan suara sah mencapai 91 persen. Sebuah angka yang cukup pantastis. Saya mengetahuinya, setelah mendapat SMS entah dari siapa. Maklumlah saya masih mengembara di belantara pengetahuan Kota Jakarta
Sebagai Kakak, tentu saya senang mendengarnya, sebab jabatan ini merupakan sebuah kehormatan besar di mata orang-orang desa. Saya hanya tertegun, adik saya yang berijazah ‘Paket C’ setara SMA ternyata ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin, meski hanya jabatan sebagai Kepala Desa. Saya membayang bagaimana bangganya orang tua yang mungkin hari-hari panjangnya tak pernah bermimpi punya anak yang kemudian lahir sebagai pemimpin. Maklumlah, sejak dilahirkan, kedua orang tua kami tak pernah memanjakan materi yang berlebihan, kecuali didikan untuk berada di rel-rel kehidupan yang benar. Bagi saya ini pemberian yang paling istimewa.
Kenapa? Karena orang tua kami, khususnya Ayah (kami panggil dengan sebutan Etta) hanyalah pekerja serabutan yang menggantungkan ekonomi keluarga dari ‘musim’. Kadang menjadi seorang tukang batu, kadang tukang kredit barang, kadang nelayan dadakan, petani dadakan. Sementara Ibu, layaknya wanita Bugis-Makassar lainnya hanya fokus untuk mengatur rumah tangga dan anak-anaknya.
Dek, meski hanya Kepala Desa, tetapi orang tua kita bangga. Sebagai kakak saya-pun lebih bangga. Saya membayang bagaimana sebutir air mata kebahagiaan Ayah dan Ibu menetes di pipinya. Itu surgamu Dek. Kamu mampu membuat orang tua tersenyum dalam hati. Kamu mampu mengangkat ‘nilai’ orang tua kita di mata keluarga. Mungkin bagi orang lain ini sesuatu yang ‘biasa’, tetapi bagi orang tua kita, tentu menjadi catatan sejarah dalam benaknya, yak tak akan lekang hingga ajal menjemput. Dek, kamu hebat!
Sebagai kakak, saya hanya bisa berpesan agar Adik semampu dan sekuat tenaga menjalankan amanah yang diberikan warga desa padamu. Jangan anggap jabatan itu adalah ‘kursi kepongahan’ di atas derita wargamu. Bangunlah di pagi hari, sebelum wargamu terbangun, dan tidurlah di malam hari setelah wargamu tertidur. Di bahumu bersandar harapan orang-orang desa. Di pundakmu bergantung asa banyak orang. Jangan kecewakan mereka. Mintalah pada Sang Khalik, bahwa Kamu akan menjadi Kepala Desa yang benar, yang buta dengan keserakahan, dan buta dengan harta duniawi, tapi mampu melihat dalam kebenaran untuk mengantar wargamu terlelap dalam kedamaian dan ketentramannya..
Dek. Hiduplah seperti orang tua kita yang penuh kesederhanaan, tapi kuat dalam megarungi kehidupan. Hiduplah seperti orang tua kita yang lahir diatas ‘tikar’ derita tapi tidak membuat orang lain menderita.
Dek, simbol yang bertahta di pundakmu hanyalah pembeda biasa, yang menunjukkan dirimu seorang pelayan rakyat, dan symbol yang bertahta di dadamu hanyalah ‘garuda kecil’ yang mengajak kamu untuk mengepakkkan sayap tak kala wargamu butuh perlindungan. Jangan jadikan simbol-simbol itu sebagai lagu keangkuhanmu. Dek, Allah SWT telah mengujimu dengan secuil jabatan, bahwa itu ‘amanah’ yang kelak kamu pertanggung-jawabkan. Dek, jauhkan dirimu dari fitnah-fitnah seprti yang banyak mendera pemimpin negeri ini. semoga Allah SWT memberkatimu.
Dek. Selamat bertugas. Rakyatmu adalah Rajamu!
Sebagai Kakak, tentu saya senang mendengarnya, sebab jabatan ini merupakan sebuah kehormatan besar di mata orang-orang desa. Saya hanya tertegun, adik saya yang berijazah ‘Paket C’ setara SMA ternyata ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin, meski hanya jabatan sebagai Kepala Desa. Saya membayang bagaimana bangganya orang tua yang mungkin hari-hari panjangnya tak pernah bermimpi punya anak yang kemudian lahir sebagai pemimpin. Maklumlah, sejak dilahirkan, kedua orang tua kami tak pernah memanjakan materi yang berlebihan, kecuali didikan untuk berada di rel-rel kehidupan yang benar. Bagi saya ini pemberian yang paling istimewa.
Kenapa? Karena orang tua kami, khususnya Ayah (kami panggil dengan sebutan Etta) hanyalah pekerja serabutan yang menggantungkan ekonomi keluarga dari ‘musim’. Kadang menjadi seorang tukang batu, kadang tukang kredit barang, kadang nelayan dadakan, petani dadakan. Sementara Ibu, layaknya wanita Bugis-Makassar lainnya hanya fokus untuk mengatur rumah tangga dan anak-anaknya.
Dek, meski hanya Kepala Desa, tetapi orang tua kita bangga. Sebagai kakak saya-pun lebih bangga. Saya membayang bagaimana sebutir air mata kebahagiaan Ayah dan Ibu menetes di pipinya. Itu surgamu Dek. Kamu mampu membuat orang tua tersenyum dalam hati. Kamu mampu mengangkat ‘nilai’ orang tua kita di mata keluarga. Mungkin bagi orang lain ini sesuatu yang ‘biasa’, tetapi bagi orang tua kita, tentu menjadi catatan sejarah dalam benaknya, yak tak akan lekang hingga ajal menjemput. Dek, kamu hebat!
Sebagai kakak, saya hanya bisa berpesan agar Adik semampu dan sekuat tenaga menjalankan amanah yang diberikan warga desa padamu. Jangan anggap jabatan itu adalah ‘kursi kepongahan’ di atas derita wargamu. Bangunlah di pagi hari, sebelum wargamu terbangun, dan tidurlah di malam hari setelah wargamu tertidur. Di bahumu bersandar harapan orang-orang desa. Di pundakmu bergantung asa banyak orang. Jangan kecewakan mereka. Mintalah pada Sang Khalik, bahwa Kamu akan menjadi Kepala Desa yang benar, yang buta dengan keserakahan, dan buta dengan harta duniawi, tapi mampu melihat dalam kebenaran untuk mengantar wargamu terlelap dalam kedamaian dan ketentramannya..
Dek. Hiduplah seperti orang tua kita yang penuh kesederhanaan, tapi kuat dalam megarungi kehidupan. Hiduplah seperti orang tua kita yang lahir diatas ‘tikar’ derita tapi tidak membuat orang lain menderita.
Dek, simbol yang bertahta di pundakmu hanyalah pembeda biasa, yang menunjukkan dirimu seorang pelayan rakyat, dan symbol yang bertahta di dadamu hanyalah ‘garuda kecil’ yang mengajak kamu untuk mengepakkkan sayap tak kala wargamu butuh perlindungan. Jangan jadikan simbol-simbol itu sebagai lagu keangkuhanmu. Dek, Allah SWT telah mengujimu dengan secuil jabatan, bahwa itu ‘amanah’ yang kelak kamu pertanggung-jawabkan. Dek, jauhkan dirimu dari fitnah-fitnah seprti yang banyak mendera pemimpin negeri ini. semoga Allah SWT memberkatimu.
Dek. Selamat bertugas. Rakyatmu adalah Rajamu!
1 komentar:
Sangat menarik....salam.
http://mbayuisa.blogspot.com/