» » » Sebutir Air Mata di Pipi Jenderal

Sebutir Air Mata di Pipi Jenderal

Penulis By on 31 October 2011 |

Setelah Magrib. Usai bertemu dengan Wapres Habibie, Prabowo datang ke Cendana. Di ruangan dalam, ia melihat Presiden Soeharto duduk bersama anak-anaknya dan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Semula Prabowo ingin bergabung, namun putri bungsu pak Harto, Sri Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) menghampirinya dengan marah dan mengatakan, “Kamu penghianat, penghianat. Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi.” Akhirnya Prabowo tidak jadi bergabung dan pulang ke rumahnya.

Sebuah peristiwa haru yang terjadi di hari Rabu 20 Mei 1998, sehari sebelum Pak Pak Harto mundur yang saya baca dari buku berjudul ‘Hari-Hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto’ yang ditulis James Luhulima. Saya tergetar membaca tulisan itu dan seolah merasakan ‘magnet waktu’ yang menempatkan saya hadir di sana, di masa silam 13 tahun lalu, saat yang seharusnya Pak Prabowo menikmati kejayaannya sebagai Pangkostrad dan juga sebagai mantu Pak Harto.

Namun bentakan Mamiek, (dalam benak saya) seolah meruntuhkan segalanya. Ungkapan ‘penghianat’ di tengah kegalauan Pak Harto di penghujung kekuasaannya, bagi seorang kesatria dan bagian keluarga besar cendana kala itu tentu adalah ‘aib’, yang mungkin bagi orang lain tak bisa menahan lelehan sebutir air mata, tanda kesedihan dan kegalauan mendalam. Apalagi di sana ada Jenderal Wiranto, yang secara emosional bukan keluarga Pak Harto.

Deshh…. Saya hanya membayang apa yang ada dalam pikiran beliau kala itu. Membayang reaksi dari martabat seorang lelaki yang dipermalukan adiknya sendiri. di tengah kehadiran orang lain. Membayang adanya keputus-asaan. Membayang masa depan hubungan Pak Prabowo dengan keluarga Cendana. Membayang tentang apa yang akan diceritakannya pada ‘mata cinta’ buah hati semata wayangnya, Ragowo Hedi Prasetyo kelak dikemudian hari. Saya amat meyakini bila Pak Prabowo kala itu hatinya dilanda kegalauan besar, kemana ia harus menempatkan dirinya.
(**)
12 tahun kemudian, tepatnya 21 Oktober 2010, dalam sebuah acara pelantikan pengurus HKTI di Jakarta, Pak Prabowo menyatakannya dukungannya agar mantan Presiden Soeharto layak ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, karena kontribusi Pak Harto dalam membangun negara. Sebuah pernyataan yang dianggap kontradiktif bagi orang-orang yang tidak mengingkan gelar itu pada Pak Harto. Di tengah ia tak lagi menjadi keluarga Cendana, setelah perceraiannya dengan Ibu Titiek Soeharto.

Pernyataann dan dukungan ini seolah memberi gambaran, jika Pak Prabowo masih tetap melindungi harkat dan martabat keluarga Cendana. Masih tetap menunjukkan kesetiaannya, meski ia tak lagi sebagai ‘putra-putri’ Pak Harto. Pernyataan yang menunjukkan ke-profesional-an Pak Prabowo dalam menegakkan nilai-nilai penghormatan terhadap sosok-sosok yang pernah berjasa di negeri ini. pernyataan yang meneguhkan bahwa tak ada lagi ‘sebutir air mata bening’ di pipi seorang mantu dan ayah dari cucu penguasa Indonesia 32 tahun itu. Pernyataan dari seorang tokoh yang layak menyandang status sebagai Presiden Republik Indonesia di tahun 2014 mendatang. Insya Allah.

Namun demikian, jutaan rakyat Indonesia yang hidup miskin masih menunggu harapan dan asa dari seorang pemilik ‘sebutir air mata bening di pipi jendral’. Mereka tak hanya merasa lapar di tengah kekayaan negeri, tetapi telah merintih dalam himpitan hidup diantara kepongahan gedung-gedung pencakar langit Jakarta dan pongahnya para koruptor mendulang harta. Merintih dalam raungan mesin-mesin tambang emas Papua, dan merintih dalam kesemuan ke-Bhinneka-an.

Sebutir ‘air mata bening’ itu masih kami harapkan Jenderal!
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments