Setelah
Magrib. Usai bertemu dengan Wapres Habibie, Prabowo datang ke Cendana.
Di ruangan dalam, ia melihat Presiden Soeharto duduk bersama
anak-anaknya dan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Semula Prabowo ingin
bergabung, namun putri bungsu pak Harto, Sri Hutami Endang Adiningsih
(Mamiek) menghampirinya dengan marah dan mengatakan, “Kamu penghianat,
penghianat. Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi.” Akhirnya Prabowo
tidak jadi bergabung dan pulang ke rumahnya.
Sebuah
peristiwa haru yang terjadi di hari Rabu 20 Mei 1998, sehari sebelum
Pak Pak Harto mundur yang saya baca dari buku berjudul ‘Hari-Hari
Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto’ yang ditulis James
Luhulima. Saya tergetar membaca tulisan itu dan seolah merasakan ‘magnet
waktu’ yang menempatkan saya hadir di sana, di masa silam 13 tahun
lalu, saat yang seharusnya Pak Prabowo menikmati kejayaannya sebagai
Pangkostrad dan juga sebagai mantu Pak Harto.
Namun
bentakan Mamiek, (dalam benak saya) seolah meruntuhkan segalanya.
Ungkapan ‘penghianat’ di tengah kegalauan Pak Harto di penghujung
kekuasaannya, bagi seorang kesatria dan bagian keluarga besar cendana
kala itu tentu adalah ‘aib’, yang mungkin bagi orang lain tak bisa
menahan lelehan sebutir air mata, tanda kesedihan dan kegalauan
mendalam. Apalagi di sana ada Jenderal Wiranto, yang secara emosional
bukan keluarga Pak Harto.
Deshh….
Saya hanya membayang apa yang ada dalam pikiran beliau kala itu.
Membayang reaksi dari martabat seorang lelaki yang dipermalukan adiknya
sendiri. di tengah kehadiran orang lain. Membayang adanya keputus-asaan.
Membayang masa depan hubungan Pak Prabowo dengan keluarga Cendana.
Membayang tentang apa yang akan diceritakannya pada ‘mata cinta’ buah
hati semata wayangnya, Ragowo Hedi Prasetyo kelak dikemudian hari. Saya
amat meyakini bila Pak Prabowo kala itu hatinya dilanda kegalauan besar,
kemana ia harus menempatkan dirinya.
(**)
12
tahun kemudian, tepatnya 21 Oktober 2010, dalam sebuah acara pelantikan
pengurus HKTI di Jakarta, Pak Prabowo menyatakannya dukungannya agar
mantan Presiden Soeharto layak ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional,
karena kontribusi Pak Harto dalam membangun negara. Sebuah pernyataan
yang dianggap kontradiktif bagi orang-orang yang tidak mengingkan gelar
itu pada Pak Harto. Di tengah ia tak lagi menjadi keluarga Cendana,
setelah perceraiannya dengan Ibu Titiek Soeharto.
Pernyataann
dan dukungan ini seolah memberi gambaran, jika Pak Prabowo masih tetap
melindungi harkat dan martabat keluarga Cendana. Masih tetap menunjukkan
kesetiaannya, meski ia tak lagi sebagai ‘putra-putri’ Pak Harto.
Pernyataan yang menunjukkan ke-profesional-an Pak Prabowo dalam
menegakkan nilai-nilai penghormatan terhadap sosok-sosok yang pernah
berjasa di negeri ini. pernyataan yang meneguhkan bahwa tak ada lagi
‘sebutir air mata bening’ di pipi seorang mantu dan ayah dari cucu
penguasa Indonesia 32 tahun itu. Pernyataan dari seorang tokoh yang
layak menyandang status sebagai Presiden Republik Indonesia di tahun
2014 mendatang. Insya Allah.
Namun
demikian, jutaan rakyat Indonesia yang hidup miskin masih menunggu
harapan dan asa dari seorang pemilik ‘sebutir air mata bening di pipi
jendral’. Mereka tak hanya merasa lapar di tengah kekayaan negeri,
tetapi telah merintih dalam himpitan hidup diantara kepongahan
gedung-gedung pencakar langit Jakarta dan pongahnya para koruptor
mendulang harta. Merintih dalam raungan mesin-mesin tambang emas Papua,
dan merintih dalam kesemuan ke-Bhinneka-an.
Sebutir ‘air mata bening’ itu masih kami harapkan Jenderal!