22 JUNI 2012 hari ini. Tentu saya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke 485 buat Kota Jakarta. Kota yang punya magnet besar bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kota yang dicintai, dipuja bahkan dimaki, oleh jutaan orang yang pernah merasakan aroma kehidupannya. Dicintai dan dipuja karena Jakarta selalu menyediakan ruang kehidupan dari elit hingga pemulung. Dari yang koruptor hingga kaum papa yang menggantungkan hidupnya dari onggokan sampah. Kota ini dimaki karena kemacetannya, juga jarak sosial masyarakatnya yang renggang, sehingga apapun yang dilakukan di kota ini, semua tergantung Anda. Orang lain hanyalah penonton yang tak lagi merasa risih dengan keberadaan Anda. Kalaupun ada yang peduli, seibarat mutiara yang ditemukan dalam butir-butir pasir. Karenanya banyak yang beranggapan, jika membangun Jakarta, maka yang prioritas adalah kekerabatan sosialnya, sehingga orang bisa saling memanusiakan antara satu dengan yang lainnya.
Tetapi apapun ceritanya, Jakarta tetaplah yang terbaik bagi kaum urban, termasuk saya. Sebab segala dimensi kehidupan ada di sini. Maka tak mengherankan jika banyak yang hilir mudik setiap detiknya di kota ini. Perbedaan antara malam dan siang sepertinya tak berjarak. Sehingga siapapun pasti bermimpi untuk bisa menikmati hiruk pikuknya, bahkan bermimpi untuk menjadi pemilik Jakarta. Saya lalu membenarkan ucapan kakek saya sewaktu kecil di Makassar. Beliau berkata; “jangan mati sebelum injak Jakarta”. Saya menangkap pesan, bahwa Jakarta adalah sebuah ‘nyawa’ bagi bangsa Indonesia. Sekali fisik kota Jakarta hancur, maka hancurlah republik ini. Sebab semua sentrum ekonomi daerah-daerah ‘larinya’ ke Jakarta.
Saya tak ingin mengatakan bahwa ekonomi daerah-daerah mengalami ‘capital flight’ dengan kehadiran Jakarta, tetapi saya meyakini pundi-pundi ekonomi orang daerah pasti tercatat di megapolitan ini. Karena saya membayangkan kengerian teramat besar, ketika ada negara lain yang menginvasi Jakarta secara fisik. Maka dalam waktu yang lama, Indonesia secara totalitas akan begitu mudah direbutnya. Bagi saya ini kritik bagi pemerintah pusat, agar bisa membuat sentra-sentra perkotaan baru di luar Jakarta dan Jawa pada umumnya, sehingga Indonesia punya banyak pilihan, dan tak selalu menggantungkan ekonominya pada ibukota republik ini.
Jakarta 485 tahun. Usia yang tak lagi belia. Disaat yang bersamaan, rakyat Jakarta dalam ‘proses’ berdemokrasi menghadapi pemilihan kepala daerah Gubernur dan Wakil Gubernur yang tak cukup sebulan lagi. Sehingga gaung ulang tahun kali ini lebih membahana ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Asumsi saya, ulang tahun ini pasti akan menjadi momentum calon incumbent untuk memanfaatkan setiap ruang ‘kesenangan’ warga Jakarta, untuk terus bersosialisasi, bercitra diri dari pernak-pernik kemewahan Jakarta di ulang tahunnya. Bagi saya ini sesuatu yang lumrah, sebab incumbent punya ruang besar, dan calon lain tak perlu risau. Jika mau, buat acara sendiri bersama warga Jakarta lainnya. Sebab ulang tahun ini adalah milik semua warga Jakarta termasuk kaum urban yang hidup di Jakarta. Tak terkecuali saya, yang telah dua tahun bermukim di sini tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebab saya adalah urban berkedok mahasiswa pasca. Hemm...
Momentum Ulang tahun dan Pilkada adalah hal menarik bagi saya. Sebab setidaknya selama ini saya berasumsi jika demokrasi di Jakarta jauh lebih baik dibanding daerah-daerah. Baik dalam kajian peserta pilkadanya, cara bersosialisasi hingga daya kritis masyarakatnya. Ternyata Jakarta dan daerah ‘setali tiga uang’. Tidak ada bedanya, bahkan Jakarta terkesan ‘mencontek’ kelemahan berdemokrasi di daerah. Dimana-mana tiang listrik dan tembok-tembok juga pagar-pagar rumah penduduk dijejali sticker-stiker bergambar para kandidat, tak terkecuali incumbent, yang suka menggunakan pakaian dinasnya dalam bersosialisasi. Tentu asumsinya sederhana. “inikan foto Gubernur, bukan incumbentnya” mungkin begitu kalimatnya. Juga para tim sukses, ramai-ramai memasang foto lengkap dengan kalimat ajakan mendukung calon tertentu pada area-area strategis, dari flyover, jembatan penyebrangan dan lain sebagainya.
Sebagai penggiat ilmu komunikasi, saya melihatnya cara yang digunakan tim sukses ini adalah ‘cara norak’ dalam kacamata saya. Sebab amat terlihat jika dukungan yang diberikan, sebenarnya juga ikut menyampaikan pesannya ke publik bahwa mereka adalah tokoh yang punya banyak massa, berpengaruh dan layak diikuti. Saya pun bergumam, jika hal ini “lebih buruk dibanding kondisi di daerah jelang Pilkada”. Sebab tokoh-tokoh di daerah masih memiliki ‘malu’ untuk memasang posternya di sembarang tempat. Belum lagi masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang banyak diributkan. Saya bertanya dalam hati, “Seperti inikah wajah demokrasi Orang Jakarta yang modern itu?” semoga saja tidak! Sebab saya selalu berharap, Jakarta bisa memberi keteladanan berpolitik yang baik bagi orang-orang daerah.
Lepas dari hiruk pikuk politik megapolitan ini. Saya juga suka membahas ‘irama Seks’ Jakarta. Soal yang satu ini, pasti semua orang berpendapat jika Jakarta tidak pernah mengusik jika Anda menyukainya. Mau di hotel-hotel, di kos-kosan, bahkan di pinggiran rel-rel kereta api di malam buta. Semuanya enjoy saja. Semuanya bisa melakukannya tanpa ketabuan. Bahkan jika saja Anda ingin membelinya, cukup banyak fasilitas yang menawarkannya. Inilah sisi lain dimana semua orang tahu tentang hal ini, tetapi malas untuk membahasnya, dengan alasan Jakarta bukan tempatnya untuk mempersoalkan hal seperti itu. Sebab Jakarta bukan hanya milik budaya orang Indonesia, tetapi juga budaya orang dari negara luar, dimana mereka adalah tamu yang harus diperlakukan ramah dan penuh kesantunan, sementara mereka adalah ‘tamu’ yang datang dengan ketidakpedulian akan ketabuan orang Indonesia. (heheheh, saya tertawa jika menyinggung hal ini)
Diantara hiruk-pikuk Ulang tahun Jakarta, saya terkesima membaca sejumlah pemberitaan terkait prilaku remaja yang membeli kondom yang telah dijual bebas di minimarket-minimarket Jakarta. Banyak alasan tentunya, ada yang dititipi teman, ada alasan ‘kerjain’ teman di ulang tahunnya, ada pesanan pacar dan sejuta alasan lainnya. Tentu miris mendengarnya jika mengukur dari sudut moral dan agama. Sebab segala sesuatu yang berhubungan dengan kondom pasti berhubungan dengan seks, dan masih sesuatu yang tabu di Indonesia, tak peduli itu Jakarta. Lebih-lebih jika itu dilakukan remaja-remaja kita. Saya hanya membayangkan seorang anak lelaki kecil berdoa dalam kelucuannya. “Tuhan, sisakan aku keperawanan hingga aku besar nanti” (maaf ini hanya rekayasa penulis saja).
Saya hanya ingin berkata, seluwes dan sebebas apapun Jakarta. Tetap harus punya daya tangkal terhadap prilaku yang mengarah pada prilaku seks bebas. Ini tugas semua orang, termasuk petugas-petugas counter minimarket yang usianya juga rata-rata masih remaja. Makanya tidak mengherankan, jika seorang remaja membeli kondom di minimarket, maka pelayannya hanya terdiam tanpa kata, dan memilih bersikap ‘profesional’ sebagai pelayan minimarket, sebab ia juga malu untuk mempertanyakan, mengapa si remaja itu beli kondom. Dan apa pedulinya ia mempertanyakan itu. Sebab tokh ia hanyalah pelayan biasa. Bukan petugas Trantib dari Pemda DKI.
Lepas dari semua itu, Jakarta memang punya banyak cerita, dan mengingatkan saya pada ingatan masa kanak-kanak yang menampilkan sosok multitalent Benyamin Syueb di masa hidupnya. Jika film-film yang dibintanginya, adalah film yang tak ‘jauh-jauh’ dari seputar Jakarta. Almarhum semasa hidupnya adalah seniman Betawi yang amat peduli dengan Jakarta-nya. Ia sejak dulu mengingatkan jika Jakarta akan menjadi kota impian semua orang, sehingga perlu ‘cara’ untuk mensiasatinya, seperti dalam film, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Intan Berduri serta Si Doel Anak Betawi (1976). Almarhum seolah mengingatkan generasinya bahwa sehebat apapun kondisi Jakarta, jangan pernah lupa dengan kesederhanan dan nilai sosial orang Indonesia. Di musik pun almarhum tak pernah lupa dengan ‘gambang kromong’ sebagai simbolik betapa ia tak tergerus dengan laju modernisasi yang melanda Jakarta.
Tetapi kini, semua tinggal cerita. ketika Jakarta menjelma sebagai megapolitan. Gaya, cara berpakaian, keluguan dan sikap kocak yang dimiliki ‘Bang Ben’ sebagai wajah Jakarta Asli telah menjelma sebagai ‘gaya-gayaan’ belaka untuk menarik simpati agar dianggap sebagai orang Jakarta, dan mengetahui tentang seluk beluk Jakarta. Keluguan Bang Ben sepertinya, seolah sekedar bahan candaan di panggung-panggung politik. Seperti saat Jakarta jelang Pilkada ini.
Tapi apapun ceritanya, kita semua layak menyampaikan selamat Ulang Tahun Buat Kota Jakarta ke 485 tahun. Usia yang penuh pergolakan jiwa, emosi, politik dan romantisme keduniawian. Selamat untuk Jakarta-ku!!
Cikini sore hari, 22 Juni 2012