Refa, saya berharap besok ke Serpong!
Temani saya, temani keluarga, sebab Kamis besok saya akan menikah!
Itulah kalimat-kalimat sederhana yang diungkap seorang kawan melalui telepon selularnya malam ini. Sejenak saya terkaget, lalu melambungkan pikiran ke masa lalu ketika kawan ini masih hidup dalam serba kekurangan. Tapi kini hidupnya terbalik 180 derajat, ia hidup serba berkecukupan, masih muda, tajir dan cukup dermawan. Sayangnya, soal istri, ia tidak sesempurna orang kebanyakan. Dua kali menikah, dua kali ditinggal (mati) oleh istrinya. Saya lalu bercanda padanya.
Jangan cari istri yang panjang rambutnya
Carilah istri yang panjang umurnya
Kawan itu hanya bisa tergelak tertawa lebar, meski saya paham begitu sakit jika ia mengingat masa-masa lalu bersama dua istri yang dicintainya, namun begitu cepat menghadap ke haribaan-Nya. Mungkin bercanda, tetapi inilah realita kehidupan yang ia alami saat ini.
Saya bertanya dalam hati, mengapa Tuhan begitu mudah memberi jodoh pada seorang kawan ini untuk menikah lagi? Apakah Tuhan menginginkan ia tidak sendiri dan terhindar dari fitnah dunia yang akan ia alami jika hidup menyendiri? Subhanallah!, sungguh saya menganggapnya sebuah tanda tanya besar di tengah banyak orang sulit mencari jodoh. Di tengah orang-orang menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tapi kawan ini memang diberi karunia untuk menikah ketiga kalinya, terkesan mudah, dan terkesan jika pernikahan itu bukanlah sesuatu yang perlu ‘diberat-beratkan’ jika semuanya sudah cocok.
Mungkin alasan kepemilikan materi yang berlebihan yang membuat kawan ini begitu mudah menemukan jodoh ketiga kalinya. Tapi saya gusar dan terus menghadirkan sejumlah tanda tanya dalam hati, apakah Tuhan sengaja memudahkan jodohnya, semudah ia mendapatkan rezeki duniawinya? Ataukah ada makna besar di balik itu semua? Ataukah ia memang ditakdirkan untuk hidup dalam situasi yang tak banyak orang bisa menghadapinya? Berpisah karena ditinggal mati istri tercinta! Jujur, jika saya berada dalam posisi kawan itu, saya tak akan kuat menghadapinya, meski selaksa materi bergelimang disamping kiri dan kanan kehidupan saya.
Saya menganggap istri adalah tangan kuat anak-anaknya, jika istri tak ada, maka lemahlah jiwa anak-anak itu. Saya menganggap istri adalah titian kuat seorang suami. Jika istri dala keadaan rapuh, maka titian keluarga juga akan rapuh. Begitu saya memandang kekuatan seorang istri. Karenanya ‘senakal’ apapun saya diperankan sebagai seorang suami, maka menghargai istri dalam posisinya sebagai tangan kokoh dan titian kuat keluarga, terus saya pelihara, terus saya pertahankan, meski kadang istri terdera perasaan tidak menentu ketika dipisahkan jarak dan waktu.
Saya tak tertarik mengingat-ingat ‘keluwesan’ beristri bagi seorang pria dalam keyakinan agama saya, yang memungkinkan untuk beristri empat kali, atau menggugat keyakinan agama lain yang mengikat kokoh sepasang suami istri untuk sehidup-semati tatkala telah diikat dalam satu mahligai keluarga, meski tak ada kecocokan lagi.
Saya hanya ingin mengingatkan seorang kawan, bahwa kemudahan yang diberikan Tuhan untuk beristri ketiga kalinya, terdapat makna besar dibalik kemudahan itu? Bahwa sesungguhnya Tuhan terus punya rencana dalam menapaki setiap detik kehidupan? Bahwa sesungguhnya Tuhan akan terus memberikan penilaian, dan akan mengubah segalanya jika kita telah melupakan apa yang pernah diberikan dan dijalani dalam kehidupan ini.
Saya berharap dan berdoa, jika jodoh kawan inilah yang terakhir, dimana ia bisa menaklukkan kehidupannya, ia bisa hidup bahagia bersama harta dan kedermawanannya, bersama anak-anak yang dicintainya, dan mengajarkan pada istri yang dicintainya tentang makna hidup yang penuh tantangan, tentang pentingnya berbagi, tentang hidup yang penuh warna. Seperti dua istri yang baik, peduli dan kini tersenyum di surga menyaksikan ‘suaminya’ duduk di pelaminan yang baru (lagi) bersama ‘surga hatinya’.
Doaku menyertaimu kawan! Tetaplah seperti dirimu yang dulu! Semoga berbahagia.
Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a baynakumaa fii khair
(Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan)
Cikini dinihari, 20 Juni 2012
Temani saya, temani keluarga, sebab Kamis besok saya akan menikah!
Itulah kalimat-kalimat sederhana yang diungkap seorang kawan melalui telepon selularnya malam ini. Sejenak saya terkaget, lalu melambungkan pikiran ke masa lalu ketika kawan ini masih hidup dalam serba kekurangan. Tapi kini hidupnya terbalik 180 derajat, ia hidup serba berkecukupan, masih muda, tajir dan cukup dermawan. Sayangnya, soal istri, ia tidak sesempurna orang kebanyakan. Dua kali menikah, dua kali ditinggal (mati) oleh istrinya. Saya lalu bercanda padanya.
Jangan cari istri yang panjang rambutnya
Carilah istri yang panjang umurnya
Kawan itu hanya bisa tergelak tertawa lebar, meski saya paham begitu sakit jika ia mengingat masa-masa lalu bersama dua istri yang dicintainya, namun begitu cepat menghadap ke haribaan-Nya. Mungkin bercanda, tetapi inilah realita kehidupan yang ia alami saat ini.
Saya bertanya dalam hati, mengapa Tuhan begitu mudah memberi jodoh pada seorang kawan ini untuk menikah lagi? Apakah Tuhan menginginkan ia tidak sendiri dan terhindar dari fitnah dunia yang akan ia alami jika hidup menyendiri? Subhanallah!, sungguh saya menganggapnya sebuah tanda tanya besar di tengah banyak orang sulit mencari jodoh. Di tengah orang-orang menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tapi kawan ini memang diberi karunia untuk menikah ketiga kalinya, terkesan mudah, dan terkesan jika pernikahan itu bukanlah sesuatu yang perlu ‘diberat-beratkan’ jika semuanya sudah cocok.
Mungkin alasan kepemilikan materi yang berlebihan yang membuat kawan ini begitu mudah menemukan jodoh ketiga kalinya. Tapi saya gusar dan terus menghadirkan sejumlah tanda tanya dalam hati, apakah Tuhan sengaja memudahkan jodohnya, semudah ia mendapatkan rezeki duniawinya? Ataukah ada makna besar di balik itu semua? Ataukah ia memang ditakdirkan untuk hidup dalam situasi yang tak banyak orang bisa menghadapinya? Berpisah karena ditinggal mati istri tercinta! Jujur, jika saya berada dalam posisi kawan itu, saya tak akan kuat menghadapinya, meski selaksa materi bergelimang disamping kiri dan kanan kehidupan saya.
Saya menganggap istri adalah tangan kuat anak-anaknya, jika istri tak ada, maka lemahlah jiwa anak-anak itu. Saya menganggap istri adalah titian kuat seorang suami. Jika istri dala keadaan rapuh, maka titian keluarga juga akan rapuh. Begitu saya memandang kekuatan seorang istri. Karenanya ‘senakal’ apapun saya diperankan sebagai seorang suami, maka menghargai istri dalam posisinya sebagai tangan kokoh dan titian kuat keluarga, terus saya pelihara, terus saya pertahankan, meski kadang istri terdera perasaan tidak menentu ketika dipisahkan jarak dan waktu.
Saya tak tertarik mengingat-ingat ‘keluwesan’ beristri bagi seorang pria dalam keyakinan agama saya, yang memungkinkan untuk beristri empat kali, atau menggugat keyakinan agama lain yang mengikat kokoh sepasang suami istri untuk sehidup-semati tatkala telah diikat dalam satu mahligai keluarga, meski tak ada kecocokan lagi.
Saya hanya ingin mengingatkan seorang kawan, bahwa kemudahan yang diberikan Tuhan untuk beristri ketiga kalinya, terdapat makna besar dibalik kemudahan itu? Bahwa sesungguhnya Tuhan terus punya rencana dalam menapaki setiap detik kehidupan? Bahwa sesungguhnya Tuhan akan terus memberikan penilaian, dan akan mengubah segalanya jika kita telah melupakan apa yang pernah diberikan dan dijalani dalam kehidupan ini.
Saya berharap dan berdoa, jika jodoh kawan inilah yang terakhir, dimana ia bisa menaklukkan kehidupannya, ia bisa hidup bahagia bersama harta dan kedermawanannya, bersama anak-anak yang dicintainya, dan mengajarkan pada istri yang dicintainya tentang makna hidup yang penuh tantangan, tentang pentingnya berbagi, tentang hidup yang penuh warna. Seperti dua istri yang baik, peduli dan kini tersenyum di surga menyaksikan ‘suaminya’ duduk di pelaminan yang baru (lagi) bersama ‘surga hatinya’.
Doaku menyertaimu kawan! Tetaplah seperti dirimu yang dulu! Semoga berbahagia.
Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a baynakumaa fii khair
(Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan)
Cikini dinihari, 20 Juni 2012