Rabu, 19 Mei 2010. Seperti biasanya, leher menegang dan wajah terasa ‘kusut’ menjadi sinyal bila rambut-ku telah memanjang. Harus dipangkas. Mungkin perasaan ini aneh dimata orang, tapi demikianlah kenyataannya. Tidak ada jalan lain. Pangkas!. Meski selang waktu antara ‘masa cukur’ itu terbilang sangat singkat. Hanya 3 Minggu, cukur lagi.
Perasaan ini sebenarnya kualami sejak umur 16 tahun, hingga saat ini. Habis cukur, barulah kesegaran itu muncul. Alam terasa bersinar menembus hati, ada kedamaian, semua terasa indah, bahkan aktifitas kinerja juga menggiat. (waduh, cukur kok jadi romantis!). Maklum saat cukur, gesekan dan bunyi gunting seolah menjadi irama ‘kenyamanan’ yang membuatku tertidur pulas. Kutemukan kualitas tidur diatas kursi ‘jagal’ dan derik mata pisau pembersih bulu liar.
Kebiasaan memangkas rambut itu, seolah menjadi ritual. Bahkan pernah hanya selang seminggu cukur lagi. Sang Tukang cukur langganan saja jadi bingung. “Bang, kok cepat begitu cukurnya,” ujarnya. Pertanyaan itu membuatku harus menjawabnya secara detail. Kataku, diusia 6 tahun, (kira-kira tahun 1980 dan masih menetap di Sulawesi selatan) saya pernah terjatuh dari mobil truk dan membuat kepala bagian belakang pecah. Tentu saja harus di rawat di rumah sakit. Tepatnya, di RS. Pelamonia Makassar.
Kata orang tua saya, selain darah yang banyak keluar, juga ada benda yang diduga bagian otak menyembul diantara pecahan batok kepala. Untung saja benda itu tidak pecah dan nyawa masih tertolong. Kurang lebih seminggu di rawat di sana dan alhamdulillah sembuh, plus perawatan tradisional waktu itu. Yang pasti, sejak kesembuhan total, ada perubahan terjadi.
Kata keluarga, sebelum sembuh, saya tipe anak pendiam dan malas bergerak. Nah, setelah itu menjadi anak yang banyak bicara dan terkesan hiperaktif. Kakak sepupu kebetulan seorang dosen di IKIP Makassar sempat bercanda. “Kalau kepalamu saat itu tidak pecah, pasti kamu jadi manusia yang kurang cerdas, hahaha,” katanya bercanda.
Itulah cerita flashback tentang kebiasaan mencukurku. Hanya di hari Rabu ini, aksi cukurku terbilang istimewa, sebab direncanakan sebelumnya. Niatnya sederhana. Membuang kesialan dan tampil rapi lagi! Sebab tiga minggu belakangan ini, ada saja sesuatu yang berbau bala kudapatkan. Salah satunya, tidak lulus masuk di pasca sarjana Universitas Indonesia . Sebuah mimpi yang kubangun sejak lama, sepertinya putus di tengah jalan.
Inspirasi Seorang Yusran
Dua jam berselang setelah cukur, Kompasianer yang lagi naik daun, Yusran Darmawan berkunjung kerumahku setelah kurang lebih sebulan lamanya tak pernah bersua. Ia datang dengan kaos merk ‘kompasiana’. Saya tahu, bila kaos itu diperolehnya, saat acara Nangkring Kompasiana di Makassar baru-baru ini. Jadi cemburu rasanya, sebab saya tak sempat kesana. Belum lagi cerita Yusran soal dukungan para kompasianer atas kasus yang menimpanya. “Yus, kalau punya dua kaos kompasiana, satunya buat Saya ya? Pintaku. Yusran hanya tersenyum
“Rambut baru ya? Bagaimana di UI lulus?” ternyata Yusran mengamati dan mengikuti perkembanganku selama ini. “Belum beruntung Yus, makanya buang sial dulu dengan pangkas rambut,” jawabku.
Lama berbasa-basi, Saya mulai terkesima dengan sosok seorang Yusran, ada aura terpancar di wajahnya, bila Yusran bakal menjadi sosok fenomenal sebagai seorang penulis. Dia bercerita banyak dengan kasus yang baru saja dialaminya. Jujur saya cemburu. Sebagai seorang yang berlatar belakang Hukum Pidana, kasus yang menimpa Yusran terkait tulisan dib log pribadinya menyangkut UNHAS, sebenarnya (menurutku) bukanlah delik pers, sebab apa yang ditulisnya adalah fakta.
Kalaupun dia digugat hingga di meja peradilan, justru Yusran akan semakin popular, dan banyak mendapat dukungan dimata public Indonesia , Yusran bisa menjelma bagi Prita Mulyasari. Kalaupun ancaman pada Yusran dipaksakan, maka bisa jadi kebebasan berekspresi bakal tercekal, dan ini ancaman besar bagi kalangan jurnalis di negeri ini, dimanapun dia berada.
Yusran paham semangat yang kualami saat ini. Dia mengalihkan pikiranku pada dunia perkuliahan. “Coba lagi Bang Hamzah, insya Allah lulus, banyak pilihan” katanya. Dia juga menceritakan keinginannya untuk lanjut di program doctoral, dengan ‘menembak’ perguruan tinggi di luar negeri. Tersirat ada ‘kehausan’ menimba ilmu dari seorang anak Guru SD itu.
Kami berdua bersepakat, untuk terus sekolah hingga kejenjang paling tinggi. Dimanapun tempatnya. He..he…he , mungkin inilah buah dari hasil ‘cukur’-ku hari ini.
Bau-Bau, 19 Mei 2010