Jauh kaki ini melangkah, merengkuh kesunyian…
Menapak lintas jalan di ujung pengharapan…...
Melepas noktah-noktah hati di sudut pulau
Di kaki jazirah Negeri Selebes…
Dik. Aku memandangmu dalam irama waktu….
(Hamzah Palalloi, 4 Oktober 2010)
Sebuah majalah tua yang telah lama terdiam di sudut kamarku, tiba-tiba melontar arus magnet untuk membacanya. Majalah tua ini bagai pedati yang bergerak memberiku inspirasi tuk melukiskan apa yang ada di benakku. Owh.. secarik lembaran melukiskan satu nama putri dengan cerita sang Ayah yang Maha Guru. Aku tersentak, nama itu begitu kukenal. Nama itu seolah merasuk dalam jiwaku. Aku mencarinya di alam maya dan ternyata benar, bila Dia orang dekat yang kini ada dalam kehidupan baruku. Aku menyebutnya ‘Kemuning’. Sebuah nama untuk melukiskan keindahan itu.
Dik, Aku memandangmu dalam irama waktu. Jauh kaki ini melangkah, merengkuh kensunyian, menapak lintas jalan di ujung pengharapan. Aku melepas noktah-noktah hati di sudut pulau di kaki jazirah Negeri Celebes. Mencari kedamaian ilmu disudut-sudut Kota Jakarta. Dan, Aku menemukan satu bait kehidupan yang mewarnai jalan ini. Persaudaraan yang abadi.
Kemuning, sosok wanita yang dibingkai tembok-tembok perkasa Menteng. Aku paham, engkau lahir dalam dunia berbeda dengan kami, tapi hidupmu sederhana mengembara seperti kesederhanaan alam Sulawesi. Negeriku. Kusadari, bahwa usiamu tak lagi belia. Buah hati semata wayangmu adalah inspirasi kebangkitan kehidupanmu, sekaligus menjadi ‘darah catatan’ dari sebuah kehidupan masa lalu, yang bagi orang lain adalah kelam. Tapi bagimu, itulah kehidupan yang tak perlu disesali. “Kami hidup bersama selama 4 tahun dan kemudian berpisah, sebuah akhir yang singkat dari awal cinta yang begitu panjang” begitu ceritamu.
Aku memandangmu tanpa syahwat. Kulitmu yang bening telah berpori diserang usia, ada guratan kehidupan disana. Aku juga menangkap sehelai uban di sudut mahkota itu. Owh..ternyata Engkau tak lagi muda. Tapi sorot mata yang sedikit tajam, dan kernyitan serta sunggingan kecilmu memaksaku berpaling. Aku tak kuasa menatapmu berlama-lama. Awalnya Kujadi Superman, namun matamu memaksaku untuk mengembalikanku ke alam Clark Kent.
Masih ada binar-binar kehidupan disana, yang bisa melemahkan hati kaum pria. Aku takut mengatakan Cantik, dikala akalku berpikir, bila engkau memang cocok menjadi saudaraku. Adikku...sekaligus sahabatku. Apalagi Aku telah menyimpan empat mutiara-mutiara kehidupan di negeriku, yang takkan mungkin kunodai dengan sebuah asmara yang sedang bergejolak.
Kemuning…bunga itu seolah bersemi di alam kesederhanaan. Tak pernah kusangka bila hidupmu masih diliputi dengan kepekaan ditengah keangkuhan kehidupan yang melingkupimu. Aku tak pernah menyangka, bila masih ada getar dawai dalam irama Shalatmu, irama pengajianmu. Ketenanganmu dalam bertutur bagai senandung yang terbawa angin pagi dihamparan sawah yang hijau. Aku seolah tertidur dalam Saung, menikmati kicauan burung pematuk bulir padi. “Onde Mandee..” begitu kawanku menjawab arti kata ‘persepsi’ dalam Ilmu Komunikasi yang diajarkan Pak Riswandi. Dosenku di Universitas Mercu Buana Jakarta.
Aku-pun sedikit nakal dalam mengungkap letupan kata dalam benakku. “Entar kucubit pipimu” kataku. Kemuning hanya mengelak dalam sunggingan senyum. Alisnya terangkat, matanya binar, seolah menjawab “jangan”…Aduh tak kuat lagi Aku melukiskannya dalam kata. Mengelabui orang-orang disekelilingku. Tapi Aku yakin. Kemuning telah menangkap gelagatku, bila Aku seorang Sukarnoisme dalam hal mengamati keindahan seorang wanita.
Aku juga yakin, bila Kemuning telah memahami bila Aku melawan derasnya naluri batin seorang pria. Dan sangat yakin bila Aku mencoba menghalang gerai-gerai kehidupan baru di Kota Jakarta ini..
Kemuning telah mengajariku sebuah kelembutan menghadapi seorang wanita yang kelak kuabdikan bagi Sang Istri yang kutinggalkan. “Situ udah makan?” Aku bertanya padanya melalui mainan jemariku. “Situ? Gak sopan Kak” begitu jawabnya menolak kata-kataku. Aku tersadar, bila kini kuberada di alam budaya yang lain. Tapi, Kemuning mungkin tak sadar, kalau aku ditempa di alam yang keras, kehidupan yang menantang, dan adat budaya yang sangat berbeda…Ya Sudah, inilah duniaku saat ini, dunia baru yang mungkin tidak banyak orang bisa menikmatinya. Seperti Aku menikmati persaudaraanku dengan Kemuning.
Aku kini telah menjadi pengagum, bukan pencinta. Aku seolah hadir di planet angkasa seperti yang disajikan film-film science fiction. Sepertinya Aku juga telah belajar menggunakan analisa konsep langit suci (sacred canopy) seperti yang diungkap Prof Kamaruddin Hidayat dalam bukunya, “The Wisdom of Life”. Sungguh sebuah pelajaran dalam mengungkap isi hati. Seperti Aku mengungkapkan engkau sebagai ‘Saudara Kandungku”.
Maha Suci Engkau Ya Allah, yang telah memeprtemukan orang-orang terbaik disekeliligku. (**)
Cikini, 4 Oktober 2010