Baru saja Dirjen Perbendahaaran Kementrian Keuangan Agus Supriyanto menyebutkan bila gaji-13 akan cair bulan ini. Tentu sesuatu yang menggembirakan bagi kalangan PNS, TNI/Polri dan pensiunan, sebab gaji ini merupakan ’bonus’ tahunan di tengah rendahnya sistem penggajian aparat di tanah air dan tingginya tingkat kebutuhan, apalagi bulan Juli-agustus terbilang sebagai bulan ’masuk sekolah’, dimana dibutuhkan anggaran tambahan untuk itu. Inilah konsep awal mengapa gai 13 dilahirkan di zaman pemerintahan Pak Harto.
Namun satu hal dan tidak lazim, yakni gaji 13 tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dimana Presiden, menteri dan pejabat negara lainnya, ikut menikmati gaji 13 ini. Kata Pak Dirjen, total dana yang digelontorkan tahun ini nilainya mencapai angka Rp 4 Trilyun. "Semua pejabat negara berhak terhadap gaji ke-13, termasuk presiden dan menteri. Alokasi dana untuk gaji ke-13 ini sekitar Rp 4 triliun," kata Pak Agus
Memang ada landasan hukum mengapa Presiden dan pejabat negara memperoleh gaji ini, yakni diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2011 tanggal 30 Juni 2011 tentang Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas dalam Tahun Anggaran 2011 kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan penerima pensiun/tunjangan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri, pejabat negara, dan penerima pensiun/tunjangan.
Mencermati PP ini, terkesan dibuat dadakan hanya untuk melibatkan para pejabat negara. Sebab diputuskan 30 Juni 2011. Ya, baru sekitar 4 hari lalu. Suka atau tidak, tentu kita akan bertanya, apakah pemberian gaji 13 ini khususnya kepada Presiden dan pejabat negara adalah sebuah bentuk kemakmuran atau kemiskinan?
Bagi masyarakat berpendapatan rendah dan masyarakat miskin pada umumnya, pemberian gaji 13 untuk seorang Presiden dan juga para pejabat tinggi negara, tentu merupakan sesuatu yang tidak lazim bila tak ingin disebut pelanggaran etika bermasyarakat. Sebab mindset berpikir masyarakat Indonesia, seorang Presiden dan pejabat tinggi negara tentunya berpenghasilan tinggi, karena selain gaji, mereka juga memperoleh penghasilan tambahan baik itu bentuknya honorarium atau pendapatan sah lainnya menurut Undang-undang.
Ada baiknya alokasi gaji 13 untuk Presiden dan pejabat negara ini diarahkan pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apakah dalam bentuk alokasi pengadaan beras gratis untuk masyarakat miskin, atau bantuan ’Rp 300 ribu’, seperti layaknya yang digelontorkan Pak SBY ketika jelang Pemilu Presiden lalu, yang disalurkan melalui kantor-kantor pos yang tersebar di Indonesia.
Memang, semakin tinggi strata sosial sesorang, maka makin tinggi pula tingkat kebutuhannya. Tetapi tidak berarti, jika Presiden dan pejabat negara lainnya tidak mendapat gaji 13 ini, mereka akan merasa kesulitan. Kita yakin itu, dan sangat naif jika mereka hidup susah. Tentu sesuatu hal yang berbeda dengan PNS yang berpangkat golongan II dan III, yang pendapatannya tidak lebih dari Rp 2 juta. Sekedar mengingatkan, Presiden SBY pernah mengatakan, gaji PNS berpendapatan paling rendah Rp. 2 juta, namun kenyataannya tidak seperti itu. Seorang PNS golongan III/a, pendapatan tidak mencukupi angka Rp 2 juta, lebih-lebih golongan II sekalipun ditambah tunjangan anak, istri dan lain-lain, juga tak pernah memenuhi angka Rp 2 juta. Apakah ini hanya bentuk pencitraan untuk menggembirakan para PNS? Atau ada maksud lain? Entahlah.
Yang pasti, pemberian tunjangan tambahan berupa gaji ke-13 bagi seorang Presiden dan pejabat negara lainnya, adalah sesuatu yang menyiratkan bila penduduk bangsa ini benar- berpendapatan rendah. Ataukah memang bangsa ini punya banyak uang? Sehingga seorang presiden juga dapat bonus? Tentu sesuatu yang ironi, sebab baru-baru ini Men-PAN mewacanakan adanya tawaran bagi PNS untuk pensiun dini karena negara kesulitan menggaji mereka.
Saya hanya ingin mengatakan, apakah kegembiraan saya memperoleh gaji 13 nantinya, karena bisa membantu meringankan kuliah anak-anak saya, sama gembiranya dengan Presiden SBY yang anak-anaknya seorang anggota DPR dan perwira TNI?. Semoga?
Jakarta, 4 Juli 2011