Semakin lama menggeluti pelajaran dunia politik, semakin saya merasakan ketidaknyamanan untuk bergelut di dalamnya. Mungkin tidak semua orang merasakan hal seperti ini, tetapi ada tiga kata yang selalu muncul dalam benak saya ketika seseorang ingin mendapat kasta dalam dunia politik di negeri ini, yakni ; materi, kekuasaan dan kekerasan. Tentu saya ingin berkata; “jika Anda menguasai materi, punya kekuasaan dan memiliki kekuatan fisik, maka pada saat yang bersamaan, Anda bisa memperoleh ‘kasta politik’ yang tinggi.
Kasta politik yang saya maksud, adalah nilai-nilai sosial personal Anda akan mengemuka jika memiliki ketiga ‘modal’ tersebut. Ini juga dapat berarti; jika Anda miskin secara materi, jangan pernah terjun ke dunia politik. Sebab negeri ini seolah-olah telah menciptakan iklim berpolitik yang ‘high cost’ dan jauh dari nilai-nilai kesederhanaan. Karenanya wajar jika ada pernyataan yang tegas tentang finansial dalam politik seperti dalam kalimat “Jika gak punya duit, gak usah berpolitik, gak usah nyaleg, atau maju dalam suksesi pilkada”. Pernyataan ini tentu memiliki nilai kebenaran, jika disangkut-pautkan jika politik sebagai salah satu wahana ‘lapangan kerja’, yang cenderung mengarahkan orang untuk berprilaku korup ketika memperoleh niatan politiknya. Padahal, tidak sedikit dari pemegang label ‘koruptor’ justru mereka yang telah memiliki label sebagai ‘orang kaya’.
Halnya dengan materi, kekuasaan juga menjadi pelecut seseorang mendapatkan ‘kasta politik’. Banyak contoh telah membuktikannya. Seseorang pejabat, pengusaha begitu mudahnya mendapat akses berpolitik ketika terjun ke dunia ini. Tentu amat berbeda dengan seseorang yang berprofesi mengandalkan ‘otak belaka’, jauh lebih sulit untuk berkiprah di dunia ini. Mereka-mereka sepertinya lebih cocok ‘berceloteh’ di ruang-ruang publik, cukup jadi pengamat yang menghiasi media massa negeri ini. Atau sedikit lebih ‘keren’ menjadi dosen yang tiap hari hanya bisa ‘menggurui’ mahasiswa dengan sejuta teori tentang politik.
Satu hal yang tampaknya menjadi fenomena penting dalam dunia politik di Indonesia adalah munculnya ‘modal kekerasan’ sebagai salah satu pelecut meningkatnya kasta politik seseorang. Artinya; seseorang yang bermodal preman, dan punya ‘hukum sendiri’ dalam kehidupannya, sepertinya juga menjadi jalan utama meraih kesuksesan berpolitik. Banyak contoh di negeri ini membuktikan bagaimana publik mengkostruksi seseorang ‘preman’, atau ‘penggiat kekerasan’ dengan lebel baru sebagai ‘tokoh pemuda’ atau ‘tokoh masyarakat’. Dalam posisi seperti ini, labeling baru yang tersemat, menjadi jalan utama seseorang ‘tokoh baru’ itu memasuki lorong-lorong waktu dunia politik di Indonesia. Kita tidak perlu munafik jika politik dan kekerasan seperti jaringan paralel yang selalu bersesuaian.
**
Lalu bagaimana nasib bangsa ini kedepan? Jika seseorang memasuki dunia politik dalam kacamata kuda ketiga ‘modal’ tersebut? Runyam untuk menjelaskannya lebih jauh. Namun saya seolah ingin mengapresiasi mengapa banyak orang di negeri ini lebih memilih ‘golput’ dalam setiap event politik. Mungkin mereka telah lama mengenal iklim politik bangsa ini. Mereka juga telah lama menjadi bagian yang ingin merasakan politik di Indonesia tidak mengenal kasta, bahkan boleh jadi mereka telah menjadi korban dari kebiadaban berpolitik.
Lalu apakah kita masih percaya dengan sistem politik di Tanah Air? Apakah kita masih percaya dengan para politisi negeri ini? Lalu apakah kita masih percaya dengan buah politik? Saya seolah ingin berkata; “masih jauh panggang dari api”. Mungkin banyak diantara kita yang menilai tulisan diatas adalah bentuk keputusasaan dalam memandang realitas politik di Indonesia. Saya membenarkannya! Dan itulah kejujuran saya. Lalu bagaimana mengubah situasi seperti ini? Untuk sementara saya juga ingin berkata; modali diri Anda dengan ‘banyak uang’, ‘perlebar kekuasaan’ dan jadikan diri Anda sebagai ‘jagoan’ baru. Yakinlah, Anda begitu mudah untuk mendapat akses berpolitik, dimanapun medan politiknya...
Tetapi saya masih punya mimpi panjang dalam politik Indonesia? Bahwa suatu saat kelak penggiat politik di negeri ini, adalah mereka yang berakhlak, ibadahnya baik, penuh kesederhanaan, menghargai sesama, mengembangkan sikap kasih sayang antar sesama, dan suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Apakah sulit mendapatkanya? Lewat siapa?...entahlah..namanya juga mimpi..(hehehh)
------------
Halnya dengan materi, kekuasaan juga menjadi pelecut seseorang mendapatkan ‘kasta politik’. Banyak contoh telah membuktikannya. Seseorang pejabat, pengusaha begitu mudahnya mendapat akses berpolitik ketika terjun ke dunia ini. Tentu amat berbeda dengan seseorang yang berprofesi mengandalkan ‘otak belaka’, jauh lebih sulit untuk berkiprah di dunia ini. Mereka-mereka sepertinya lebih cocok ‘berceloteh’ di ruang-ruang publik, cukup jadi pengamat yang menghiasi media massa negeri ini. Atau sedikit lebih ‘keren’ menjadi dosen yang tiap hari hanya bisa ‘menggurui’ mahasiswa dengan sejuta teori tentang politik.
Satu hal yang tampaknya menjadi fenomena penting dalam dunia politik di Indonesia adalah munculnya ‘modal kekerasan’ sebagai salah satu pelecut meningkatnya kasta politik seseorang. Artinya; seseorang yang bermodal preman, dan punya ‘hukum sendiri’ dalam kehidupannya, sepertinya juga menjadi jalan utama meraih kesuksesan berpolitik. Banyak contoh di negeri ini membuktikan bagaimana publik mengkostruksi seseorang ‘preman’, atau ‘penggiat kekerasan’ dengan lebel baru sebagai ‘tokoh pemuda’ atau ‘tokoh masyarakat’. Dalam posisi seperti ini, labeling baru yang tersemat, menjadi jalan utama seseorang ‘tokoh baru’ itu memasuki lorong-lorong waktu dunia politik di Indonesia. Kita tidak perlu munafik jika politik dan kekerasan seperti jaringan paralel yang selalu bersesuaian.
**
Lalu bagaimana nasib bangsa ini kedepan? Jika seseorang memasuki dunia politik dalam kacamata kuda ketiga ‘modal’ tersebut? Runyam untuk menjelaskannya lebih jauh. Namun saya seolah ingin mengapresiasi mengapa banyak orang di negeri ini lebih memilih ‘golput’ dalam setiap event politik. Mungkin mereka telah lama mengenal iklim politik bangsa ini. Mereka juga telah lama menjadi bagian yang ingin merasakan politik di Indonesia tidak mengenal kasta, bahkan boleh jadi mereka telah menjadi korban dari kebiadaban berpolitik.
Lalu apakah kita masih percaya dengan sistem politik di Tanah Air? Apakah kita masih percaya dengan para politisi negeri ini? Lalu apakah kita masih percaya dengan buah politik? Saya seolah ingin berkata; “masih jauh panggang dari api”. Mungkin banyak diantara kita yang menilai tulisan diatas adalah bentuk keputusasaan dalam memandang realitas politik di Indonesia. Saya membenarkannya! Dan itulah kejujuran saya. Lalu bagaimana mengubah situasi seperti ini? Untuk sementara saya juga ingin berkata; modali diri Anda dengan ‘banyak uang’, ‘perlebar kekuasaan’ dan jadikan diri Anda sebagai ‘jagoan’ baru. Yakinlah, Anda begitu mudah untuk mendapat akses berpolitik, dimanapun medan politiknya...
Tetapi saya masih punya mimpi panjang dalam politik Indonesia? Bahwa suatu saat kelak penggiat politik di negeri ini, adalah mereka yang berakhlak, ibadahnya baik, penuh kesederhanaan, menghargai sesama, mengembangkan sikap kasih sayang antar sesama, dan suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Apakah sulit mendapatkanya? Lewat siapa?...entahlah..namanya juga mimpi..(hehehh)
------------