BELAKANGAN ini saya merasa memiliki jiwa heroik, mem-pahlawan-kan diri sendiri, serta ingin menguji kelebihan yang diberikan Sang Khalik, menguji kemampuan ‘hidup’ sendiri seperti dalil dalam firman-Nya,: إِنَّ اللّهَ لاَ غَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ (Innallaha laa yughairu maa biqawmim hattaa yughairuw maa bi ampusihim-QS. Al-araf-11). Tiba-tiba saya teringat ayat ini, entah kenapa, padahal hampir tiga tahun sebelumnya tak pernah merasakan ini selama berada di megapolitan Jakarta.
Asumsi saya, perasaan ini muncul tatkala melawan kebodohan diri sendiri, melawan beban sosial yang mulai muncul satu-persatu, dan melawan belantara Jakarta yang bagi banyak opini sebagai lumbung kehidupan, dan selalu tertantang dalam pergumulan hidup di negeri yang konon ‘nanam batu pun bisa tumbuh’. Hemm.. ada rasa malu tumbuh dalam benak.
Mengapa baru sekarang? Mengapa di saat-saat saya mengumpul ‘nyawa’ menyusur kaki di perkuliahan doktoral?. Saya malu! Tapi saya tak tahu defenisi ‘malu’ disini. Saya hanya menyimak banyak defenisi ‘malu’ yang di rangkum selama setahun oleh kakak sepupu Asdar Muis RMS melalui catatan-catatannya. Kakak sepupu yang dilabeli warga Kota Makassar sebagai budayawan, yang ber-essay malu tanpa merasa malu dan malu-maluin? Hehehe..saya kagum pada Kak Asdar, karena essay malu-nya, menggelitik pikiran saya untuk melakukan lompatan jauh di ibukota ini. Lompatan dimana saya harus malu jika tak sanggup hidup di ibukota ini.
***
UNGKAPAN kalimat-kalimat di atas adalah cara saya memulai ‘curhat’ ini. Curahan perasaan dimana tiga hari belakangan ini menjelma sebagai pencari kerja baru di ibukota. Mengumpul berkas-berkas, mengajukan permohonan di kampus-kampus sekedar ingin menjadi tenaga pengajar. Malu rasanya, sebab baru terasa jika gaji bulanan PNS di daerah tak bisa lagi diandalkan untuk bertahan di Jakarta. Apalagi, kawan-kawan selalu berkata “Gaji anda di daerah, cukuplah untuk anak-istri yang anda tinggalkan, Jakarta adalah ladang baru untuk anda. Bertempurlah, karena ini medan tempur kehidupan yang sesungguhnya kawan!” begitu ungkapan kawan menyemangati. Apalagi saya mengingat beberapa pepatah lawas, salah satu diantaranya yang berbunyi seperti ini, “siapa menabur angin pasti menuai badai”. Saya memaknainya sederhana, “siapa yang mencari kerja, maka ia akan mendapat kerja”. Bukan begitu?
Berbekal beberapa carik kertas berharga, juga ‘pengalaman kecil’ yang terangkum dalam curriculum vitae (cv) ditemani deru tunggangan CBR-150 R, rasanya ada nyawa baru lahir, kekuatan fisik seolah berlipat melintas tiga provinsi sekaligus, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat hanya untuk menguji nyali, apakah saya layak menjadi bagian dari dinamika hidup megapolitan ini, ataukah harus terkapar malu pada orang-orang kampung, bahwa saya tidak bisa bersaing dalam dinamika itu? Naluri bugis-makassar saya bermunculan satu persatu; kualleangi tallanga notoaliya. (memilih tenggelam dari pada kembali), istilah kerennya ‘pantang biduk surut ke pantai’...(lebay juga ya nenek moyangku dulu..hehehe)
Alhamdulliah. Selasa kemarin, satu berkas telah sampai di sebuah kampus di bilangan Jakarta Barat. Tinggal menunggu badai, eh panggilan, di terima atau di terima (nggak boleh ada ditolak bro). Rencananya besok menuju salah satu kampus di kawasan Jakarta Selatan, sebab kampusnya baru ketemu pukul 21.00 tadi malam. Seru rasanya, sebab saya menikmatinya tidak sekedar pencari kerja yang menguji nyali dan sekedar penutup rasa malu. Namun lebih dari itu, saya seperti menjelma sebagai seorang traveller baru di ibukota.
Saya amat meyakini jika nikmat ‘berburu’ ini adalah buah dari semangat itu, buah dari doa orang-orang tercinta, serta deringan telepon dari anak-anakku yang setiap saat menjadi pelecut batinku, jika saya masih bertanggung jawab untuk mereka. Hopefully!
------------------
Catatan dini hari (karena gak bisa tidur), Jakarta 8 Mei 2013
Baca juga tulisan berikut ini :
- Sepatu Super, Raket dan ‘Komunikasi Keluarga’ Anakku
- Hantu ‘Inggris’ Calon Doktor
- Indonesia, Hukum atau Demokrasi?
Asumsi saya, perasaan ini muncul tatkala melawan kebodohan diri sendiri, melawan beban sosial yang mulai muncul satu-persatu, dan melawan belantara Jakarta yang bagi banyak opini sebagai lumbung kehidupan, dan selalu tertantang dalam pergumulan hidup di negeri yang konon ‘nanam batu pun bisa tumbuh’. Hemm.. ada rasa malu tumbuh dalam benak.
Mengapa baru sekarang? Mengapa di saat-saat saya mengumpul ‘nyawa’ menyusur kaki di perkuliahan doktoral?. Saya malu! Tapi saya tak tahu defenisi ‘malu’ disini. Saya hanya menyimak banyak defenisi ‘malu’ yang di rangkum selama setahun oleh kakak sepupu Asdar Muis RMS melalui catatan-catatannya. Kakak sepupu yang dilabeli warga Kota Makassar sebagai budayawan, yang ber-essay malu tanpa merasa malu dan malu-maluin? Hehehe..saya kagum pada Kak Asdar, karena essay malu-nya, menggelitik pikiran saya untuk melakukan lompatan jauh di ibukota ini. Lompatan dimana saya harus malu jika tak sanggup hidup di ibukota ini.
***
UNGKAPAN kalimat-kalimat di atas adalah cara saya memulai ‘curhat’ ini. Curahan perasaan dimana tiga hari belakangan ini menjelma sebagai pencari kerja baru di ibukota. Mengumpul berkas-berkas, mengajukan permohonan di kampus-kampus sekedar ingin menjadi tenaga pengajar. Malu rasanya, sebab baru terasa jika gaji bulanan PNS di daerah tak bisa lagi diandalkan untuk bertahan di Jakarta. Apalagi, kawan-kawan selalu berkata “Gaji anda di daerah, cukuplah untuk anak-istri yang anda tinggalkan, Jakarta adalah ladang baru untuk anda. Bertempurlah, karena ini medan tempur kehidupan yang sesungguhnya kawan!” begitu ungkapan kawan menyemangati. Apalagi saya mengingat beberapa pepatah lawas, salah satu diantaranya yang berbunyi seperti ini, “siapa menabur angin pasti menuai badai”. Saya memaknainya sederhana, “siapa yang mencari kerja, maka ia akan mendapat kerja”. Bukan begitu?
Berbekal beberapa carik kertas berharga, juga ‘pengalaman kecil’ yang terangkum dalam curriculum vitae (cv) ditemani deru tunggangan CBR-150 R, rasanya ada nyawa baru lahir, kekuatan fisik seolah berlipat melintas tiga provinsi sekaligus, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat hanya untuk menguji nyali, apakah saya layak menjadi bagian dari dinamika hidup megapolitan ini, ataukah harus terkapar malu pada orang-orang kampung, bahwa saya tidak bisa bersaing dalam dinamika itu? Naluri bugis-makassar saya bermunculan satu persatu; kualleangi tallanga notoaliya. (memilih tenggelam dari pada kembali), istilah kerennya ‘pantang biduk surut ke pantai’...(lebay juga ya nenek moyangku dulu..hehehe)
Alhamdulliah. Selasa kemarin, satu berkas telah sampai di sebuah kampus di bilangan Jakarta Barat. Tinggal menunggu badai, eh panggilan, di terima atau di terima (nggak boleh ada ditolak bro). Rencananya besok menuju salah satu kampus di kawasan Jakarta Selatan, sebab kampusnya baru ketemu pukul 21.00 tadi malam. Seru rasanya, sebab saya menikmatinya tidak sekedar pencari kerja yang menguji nyali dan sekedar penutup rasa malu. Namun lebih dari itu, saya seperti menjelma sebagai seorang traveller baru di ibukota.
Saya amat meyakini jika nikmat ‘berburu’ ini adalah buah dari semangat itu, buah dari doa orang-orang tercinta, serta deringan telepon dari anak-anakku yang setiap saat menjadi pelecut batinku, jika saya masih bertanggung jawab untuk mereka. Hopefully!
------------------
Catatan dini hari (karena gak bisa tidur), Jakarta 8 Mei 2013
Baca juga tulisan berikut ini :
- Sepatu Super, Raket dan ‘Komunikasi Keluarga’ Anakku
- Hantu ‘Inggris’ Calon Doktor
- Indonesia, Hukum atau Demokrasi?
1 komentar:
Keep on fight, keep on spirit, keep on pray and keep smile...I hope that your always successed Mr.Ancha...