» » La Ode Ida; Sederhana, Pengamat Tenis hingga Karl Marx

La Ode Ida; Sederhana, Pengamat Tenis hingga Karl Marx

Penulis By on 05 June 2013 | No comments

Orang Sulawesi Tenggara dan mungkin kebanyakan rakyat Indonesia tentu tak asing dengan nama Dr. La Ode Ida, Wakil Ketua DPD-RI. Saya sendiri cukup lama mengenal kiprah tokoh ini baik saat berprofesi wartawan hingga menjadi PNS di Pemkot Baubau-Sulawesi Tenggara saat ini . Tetapi berbicara secara akrab,  dan mengetahui ‘panggung belakang’ politiknya  baru kemarin berkesempatan, itu juga tak terduga sekedar iseng menemani rekan Muni Ika, salah seorang staf ahli Pak Ida saat kekediaman beliau semalam.

Saat memasuki kediaman dinas beliau di kawasan kompleks perumahan Menteri di Kuningan-Jakarta, saya mulai terkesiap sejenak, sebab pada umumnya rumah-rumah mewah di kompleks itu tertutup dengan penjagaan ketat, sementara kediaman Pak Ida tetap terbuka lebar hingga larut malam. Penjagaan pun biasa-biasa saja, saat kendaraan saya langsung masuk, tak ada ‘tanya-tanya’ seperti umumnya para pejabat di republik ini. Rasa-rasanya seperti masuk rumah orang kampung pada umumnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 21.00 WIB, di ruang tengah Pak Ida begitu konsen mengetik di laptopnya. Saya memperkenalkan diri. Beliau menyapa dengan ramah dan meminta saya makan malam. “Makan dulu, itu ada makanan di meja, Ibu baru saja Ulang Tahun, silahkan-silahkan” ujarnya. Pak Ida sendiri masih asyik dengan ketikannya dan sesekali membaca sejumlah buku-buku tebal berbahasa Inggris.

Saya pun mengiyakan, menuju meja makan. Tetapi mata tetap melirik pada aktivitas Pak Ida malam itu. Baru kali ini dekat dengan tokoh asal Pulau Muna itu. Melihat fisik beliau saya tiba-tiba ingat Pak Habibie, mantan Presiden Indonesia yang jenius itu. Saya sendiri berkesimpulan jika Pak Ida tipe pemikir dan jenius. Karenanya saya berbisik dengan kelakar kecil pada Muni Ika. “Ssst, kepala Pak Ida itu sama dengan Pak Habibie, penuh dengan otak!” bisikku. Muni Ika hanya tersenyum.

Usai makan malam, Pak Ida mengajak ngobrol-ngobrol santai dan sesekali membahas live Grand Slam Prancis Terbuka yang ditontonnya. Pak Ida bahkan mengomentari permainan Nadal versus Kunishori asal Jepang. “Nadal itu sangat hebat, mainnya susah ditebak, dan orangnya sangat simpati” Pak Ida bercerita banyak tentang Tenis, tetapi jemari-jemarinya tetap di laptop membuat makalah. Saya yang ikut menyimak Grand Slam itu menjadi tertarik dan banyak mengetahui tentang seluk beluk olah raga ini. “cocok Pak Ida jadi pengamat Tenis dunia di TV” ujarku. Pak Ida tersenyum dan banyak menyebut nama petenis-petenis dunia dari masa ke masa.

Selang kemudian Pak Ida sepertinya kelaparan. Ia tak banyak tanya, langsung bergegas ke meja makan, melayani diri sendiri, dan makan dengan santai. Gaya kampung sederhana Pak Ida masih tampak. Tidak pakai ‘aturan main’ meja makan seperti kebanyakan penggede di republik ini. Di piring Pak Ida hanya tampak Nasi Putih dan ikan Teri goreng tempe. Ia juga tak tanya-tanya ‘lauk-lauk’ yang lain. Pak Ida begitu santai sembari menonton Grand Slam kegemarannya.

Usai menikmati makanannya, Pak Ida membawa sendiri piringan ke dapur. Bagi saya ini sesuatu yang luarbiasa bagi seorang pejabat tinggi negara sekelas Doktor alumni Universitas Indonesia ini. Lagi-lagi saya membatin, jika kesederhanaan dan gaya kampung Pak Ida tidak lekang karena posisinya sebagai Wakil Ketua DPD-RI.

Pak Ida kembali ke meja kerjanya, setumpuk buku-buku tebal bernuansa politik dan berbahasa Inggeris mulai dilahapnya. Ia banyak membaca tentang pikiran-pikiran Karl Marx soal politik. Ada yang disukanya, ada pula yang dibantahnya. Seperti pandangan jika Karl Marx tentang kepemimpinan, yang menyebutkan ‘ A Leader lead hope, but not force’. Pemimpin itu selalu memberi harapan, bukan paksaan. “kalau yang ini masih butuh kajian mendalam” komentarnya.

Malam itu cukup banyak buku-buku yang dibacanya, sesekali mempertanyakan aktifitas perkuliahan S3 saya. Saya hanya menjawab sekenanya, sebab lebih asyik menelusuri jejak-jejak kesederahaan Pak Ida dalam posisinya sebagai elit negara. Tak lama begitu, ia kembali mengomentari suasana tenis terpopuler di dunia saat ini. Bahkan ketika komentator di televisi menyebutkan tentang kehebatan petenis Maria Sharaphova, Pak Ida nyeletuk; I dont like it!.

Ada apa Pak? Tanya saya; “meski petenis ini hebat dan cantik, tetapi saya tidak simpatik, karakternya angkuh. Saya lebih suka lawannya itu, Leany Sthepans. Sangat belia, tahun depan udah bisa juara dunia.” Katanya. Tetapi soal pemain favoritnya, Pak Ida menyebut nama Nadal. “kalau Nadal sudah back forhand, maka itu key winner-nya, pasti lawan mati!” sergahnya.

Renyah sekali candaan Pak Ida yang malam itu hanya menggunakan setelan celana pendek dan kaos oblong. di kiri-kanan rak buku-buku Pak Ida, tampak sejumlah pakaian yang baru disetrika rapi. Ow ternyata ia pagi-pagi ke Solo untuk urusan dinas. Karenanya Pak Ida langsung istrihat, dan hanya tersenyum pada saya. Waktu memang telah menujukkan pukul 01.00 dinihari.

Saya tak pamit. Mungkin Pak Ida menyangka saya bermalam dirumahnya. Seperti kebanyakan orang-orang daerah yang sering ke sana. Sehingga ia langsung ke kamarnya. Tak lama kemudian, kepada rekan Muni Ika saya pamit. Saya melalui pintu belakang dekat dapur. Namun mata saya membaca secarik kertas di lemari dapur. “Silahkan makan sebebasnya, tetapi bersihkan piring sendiri”.

Hemmm...pantas saja Pak Ida antar piring makan sendiri di dapur. Saya jadi malu hati, sebab bekas minuman teh tetap saya biarkan dilantai ruang kerja Pak Ida. Tetapi apapun itu..saya banyak belajar dengan tokoh ini.

**
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments