» » Era Politik Humanis

Era Politik Humanis

Penulis By on 08 March 2017 | No comments

TIDAK sedang mengargumentasi siap pemenang Pilwakot Kendari bulan depan; melainkan merindukan jika yang terpilih nanti adalah sosok humanis, yang kepimpinannya menjadi idola banyak orang. Paling tidak,  kepemimpinan Kendari menjadi ‘cerita baru’ masyarakat Indonesia – bukan sekedar pemimpin pekerja – pembangun  - atau istilah lain yang terasa jadi residu cerita-cerita Orde Baru, seperti pada banyak ‘visi’ yang terpajang di baliho – baliho yang terkesan kurang kreatif, bahkan berakhir menjadi sampah demokrasi di sudut-sudut perkotaan.

Tak perlu tersinggung dengan diksi kalimat ‘sampah demokrasi di sudut perkotaan’, sebab begitulah realitas berpolitik banyak tim sukses menampilkan panggung depan dramaturgi kandidatnya. Mau calon ini, atau  calon itu, ujung-ujungnya menjual tampang, jualan tagline, dengan warna-warna khas partai pengusung. Bahkan ada yang mirip-mirip jualan produk jamu, atau tagline copy-paste kandidat kampung sebelah. Boleh jadi kampanye ala Trumph – Presiden AS terpilih bakal booming lagi di negeri ini.. Heheheh..Kita memang begitu!

Intinya, sekadar mau bilang, ini eranya politik humanis; politik dimana pemimpin terpilih benar-benar bisa dicintai warganya. Apalagi paradigma mendapatkan kekuasaan di Indonesia juga telah bergeser jauh dari poros semestinya. Dari ‘kekuasaan mencari orang’ menjadi ‘orang mencari kekuasaan’(Arifin:2009).

Di zaman Orba hingga awal-awal reformasi; paradigmanya ‘kekuasaan mencari orang’ – artinya partai politiklah yang sibuk mencari kandidat-kandidat terbaik; yang cerdas; berpengalaman. Soal duit, urusan belakang. Setelah reformasi hingga sekarang, paradigma politik berubah menjadi ‘orang mencari kekuasaan’. Karenanya siapa yang punya uang dan popularitas, menjadi buruan pemangku kepentingan. Pengalaman, kapasitas menjadi terabaikan, parpol menjadi buruan, loyalitas berpartai juga meredup. Karena itu jangan lagi persoalkan istilah ‘politik kutu loncat’. Itu sudah biasa. Berdoa-lah agar era ini segera berakhir, entah kapan.

Apakah politik humanis menjadi oase kerinduan di tengah getir dan mahalnya ongkos politik memilih pemimpin? Bisa jadi begitu, namun format politik humanis itu belum baku dan terbukukan hingga sekarang. Paling standar, humanis itu selalu terbahasakan dengan merakyat, beretika, dan isu-isu lain yang menyangkut kemanusiaan. Kontesknya mulai terbaca di politik Jakarta saat ini, dengan tagline ‘Jakarta bersahabat’, ‘Jakarta memanusiakan’ dan lain sebagainya. Ini memang isu perkotaan, tidak terkecuali  Kota Kendari ke depan.

Deru pembangunan boleh laju, tetapi manusia di dalamnya tak boleh terinjak pembangunan itu. Sebaliknya manusianya bergembira, menikmati, dengan penuh keromantisan. Jadi teringat obsesi Barrack Obama, ia berkata begini; “Kebesaran Amerika bukan ditentukan oleh ketinggian pencakar langit atau besarnya kekuatan militer dan keberhasilan ekonomi. Kebesaran bangsa ini ditentukan oleh keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sejajar”.

Mungkin ujaran ini yang sedikit dekat dengan tafsir politik humanis itu, dan mungkin itu juga yang membuat Kang Emil memimpin Kota Bandung begitu dicintai warganya, padahal dia bukanlah sosok ‘bapak pembangunan’ Bandung. Ia hanya selalu berusaha membuat warganya menjadi lebih bahagia, tertawa, bahkan bercanda melalui jejaring sosialnya. Saya justru melihat Kang Emil tak lebih dari seorang ‘pembuat taman’ yang kreatif dan humanis. Pembuat taman yang diimpikan banyak orang di negeri ini, yang membuatnya ikut ‘dipaksa-paksa’ terlibat dalam pusaran politik Jakarta setahun lalu, mungkin juga akan dipaksa-paksa menjadi pesaing Presiden Jokowi ke depan. Mungkin!

Yang pasti ini era politik humanis, silahkan menafsir, pemimpin apa yang Anda inginkan untuk Kota Kendari bulan depan. Anda penentunya.
-----------------------------------------


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments