Bukan karena tergelitik komentar singkat Yusran Darmawan (YD) pada tulisan tentang ’panah’ Dwi Astini, tapi YD memang sosok kompasianer yang layak diulas, karena menginspirasi semua orang lewat tulisan-tulisannya. Saya senang mengidiomkannya, sebagai sosok yang bernyawa dalam kata-katanya.
Menelisik YD dalam rangkaian kalimatnya, seolah melihatnya sebagai sosok pengalih bahasa, seolah memandangnya sebagai sastrawan abad millennium, dan sebagai kaum muda yang progresif. Padahal, YD hanya seorang anak Guru yang lahir dan tergembleng oleh kerasnya kehidupan alam bebatuan Pulau Buton. Pulau Aspal, yang kesohor, namun merana di tengah onggokan trilyunan deposit aspal, akibat minimnya perhatian pemimpin negeri ini.
Menelisik YD dalam rangkaian kalimatnya, seolah melihatnya sebagai sosok pengalih bahasa, seolah memandangnya sebagai sastrawan abad millennium, dan sebagai kaum muda yang progresif. Padahal, YD hanya seorang anak Guru yang lahir dan tergembleng oleh kerasnya kehidupan alam bebatuan Pulau Buton. Pulau Aspal, yang kesohor, namun merana di tengah onggokan trilyunan deposit aspal, akibat minimnya perhatian pemimpin negeri ini.
Beberapa tahun lalu Saya mengenal YD dalam sebuah acara bedah buku yang di edit-nya di Baubau, kota kecil di Buton sana. Sebagai sesama ’penulis kampung’, tentu pertemuan itu menjadi interpretif, karena berusaha mengaktualisasikan apa yang ada dibentangan pemikiran Kami berdua.
Saya kerap diskusi dengan YD, dalam setiap event. Satu hal yang Saya tidak sukai dari YD adalah ’cara memujinya’ yang amat berlebihan. ”lebay” kata anak sekarang. Namun itulah YD, yang mencoba menyenangkan hati semua orang, meski kadang ia memaksakannya. Seperti ia memuji keluhuran negerinya dirantau, namun garang dalam bersikap setelah melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Kalau di zaman pergerakan kemerdekaan banyak tokoh yang muncul sebagai sastrawan kata, sekelas Abdul Kadir Munsdji, Raja Ali Haji, Sutan Takdir Ali Syahbana, maka mungkin tidak terlalu berlebihan, kalau tetesan nyawa para ’syuhada kata’ itu menetes pada diri YD. Meski ia terlahir dari rahim seorang Ibu sederhana, dan Ayah yang sangat bersahaja pula.
Dia bukan anak siapa-siapa. Tetapi YD memandang sosok Ayahnya sebagai yang ’terbaik’ di dunia. Ayah yang telah mewariskan sekotak buku-buku tua, yang masih jernih dari paham kapitalisme, dan masih suci dari paham ’politikus busuk’ negeri ini. Seperti banyak buku yang terbit sebagai tools politik, dan bukan karena karya ’hati suci’.
Yusran, begitu orang memanggilnya. Entah inspirasi apa Sang Ayah memberikan nama itu. Tapi YD sejak kecil konon telah memiliki insting ’jurnalisme rasa’ yang kelak mempopulerkannya seperti saat ini. Kata seorang tetangganya, YD kecil saat proses sunatan, sempat menangis dan meminta orang untuk memotretnya ketika ’adegan tragis’ siap dimulai. ”foto Saya, foto Saya” teriaknya. (Hahahahaha….ada-ada saja si Yusran ini).
Sang Playboy Kata
Saya kerap diskusi dengan YD, dalam setiap event. Satu hal yang Saya tidak sukai dari YD adalah ’cara memujinya’ yang amat berlebihan. ”lebay” kata anak sekarang. Namun itulah YD, yang mencoba menyenangkan hati semua orang, meski kadang ia memaksakannya. Seperti ia memuji keluhuran negerinya dirantau, namun garang dalam bersikap setelah melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Kalau di zaman pergerakan kemerdekaan banyak tokoh yang muncul sebagai sastrawan kata, sekelas Abdul Kadir Munsdji, Raja Ali Haji, Sutan Takdir Ali Syahbana, maka mungkin tidak terlalu berlebihan, kalau tetesan nyawa para ’syuhada kata’ itu menetes pada diri YD. Meski ia terlahir dari rahim seorang Ibu sederhana, dan Ayah yang sangat bersahaja pula.
Dia bukan anak siapa-siapa. Tetapi YD memandang sosok Ayahnya sebagai yang ’terbaik’ di dunia. Ayah yang telah mewariskan sekotak buku-buku tua, yang masih jernih dari paham kapitalisme, dan masih suci dari paham ’politikus busuk’ negeri ini. Seperti banyak buku yang terbit sebagai tools politik, dan bukan karena karya ’hati suci’.
Yusran, begitu orang memanggilnya. Entah inspirasi apa Sang Ayah memberikan nama itu. Tapi YD sejak kecil konon telah memiliki insting ’jurnalisme rasa’ yang kelak mempopulerkannya seperti saat ini. Kata seorang tetangganya, YD kecil saat proses sunatan, sempat menangis dan meminta orang untuk memotretnya ketika ’adegan tragis’ siap dimulai. ”foto Saya, foto Saya” teriaknya. (Hahahahaha….ada-ada saja si Yusran ini).
Sang Playboy Kata
32 tahun lebih waktu itu berlalu, YD kini menjelma sebagai seorang ’calon’ Ayah dari pernikahannya dengan Dwi Agustriani (bukan Dwi Astini ya….heheheh) beberapa bulan lalu. Juga seorang kompasianer. Perempuan yang menjadi pacarnya sejak kuliah di Unhas Makassar, yang kemudian sempat ’dihinatinya’ ketika YD kuliah di Universitas Indonesia. ”Tidak selingkuh cess, hanya meredam kesunyian di hiruk pikuk Jakarta, Dwi tetap wanita terbaik dari semua yang Saya kenal, makanya jadi istri” katanya YD dalam candanya di rumahku.
YD benar-benar ’bernyawa’ pada tiap kata dalam tulisan-tulisannya, inilah yang menjadi modal dan menjadikannya sebagai ’sang playboy kata’. Seperti dalam tulisan yang mengulas tentang naluri cinta Stanford Rafless, di blognya ’Timur Angin’. Ini pula yang menjadi modal kuat dalam menerbitkan buku-buku yang bermanfaat bagi negerinya , seperti Naskah Buton, Naskah Dunia dan beberapa buku lainnya.
Yusran kini menatap langkahnya lebih jauh. Dia seolah menatap matahari yang menyengatnya. Dia kini mencoba merengkuh sebuah asa, bermain dengan mimpi menuju ’negeri hope’ kaum eropa, The United State Amerika. Negeri Pak Obama, yang banyak dibenci kaum Laden.
Bila niat itu tercapai, maka YD-lah putra kelahiran Buton pertama yang bisa merengkuh pendidikan di negeri Paman Sam itu. Sama seperti La Ode Manarfa, sesepuh Buton sekaligus Sultan Buton ke-39, yang tercatat sebagai Sarjana Buton pertama alumni Belanda. Semoga!.
YD kini menapaki jejak-jejak itu. Berjalan bagai Spiderman, melekat tanpa bekas. Bagai Superman yang bisa mengangkat dunia, namun takut bak Clark Kent, bila mengingat Sang Istri yang sebentar lagi akan memberinya ’kado indah’ dalam kehidupannya. Kini, setelah Sang Istri ’pulang kampung’ ke Sulawesi, YD bagai Batman, terbang menjelajah kata di kesenyapan malam. Memberi pencerahan pada pembacanya.
Selamat berkarir Bung Yusran. Anda adalah kado Saya bagi Ulang Tahun Kompasiana. Ke-2. yang telah melahirkan beberapa panah-panah ajaib, yang terlepas dari busur kuat bernama Kompasiana. Congratulation!!.
---------------------
Tulisan Tengah Malam, Jakarta 30 November 2010
YD benar-benar ’bernyawa’ pada tiap kata dalam tulisan-tulisannya, inilah yang menjadi modal dan menjadikannya sebagai ’sang playboy kata’. Seperti dalam tulisan yang mengulas tentang naluri cinta Stanford Rafless, di blognya ’Timur Angin’. Ini pula yang menjadi modal kuat dalam menerbitkan buku-buku yang bermanfaat bagi negerinya , seperti Naskah Buton, Naskah Dunia dan beberapa buku lainnya.
Yusran kini menatap langkahnya lebih jauh. Dia seolah menatap matahari yang menyengatnya. Dia kini mencoba merengkuh sebuah asa, bermain dengan mimpi menuju ’negeri hope’ kaum eropa, The United State Amerika. Negeri Pak Obama, yang banyak dibenci kaum Laden.
Bila niat itu tercapai, maka YD-lah putra kelahiran Buton pertama yang bisa merengkuh pendidikan di negeri Paman Sam itu. Sama seperti La Ode Manarfa, sesepuh Buton sekaligus Sultan Buton ke-39, yang tercatat sebagai Sarjana Buton pertama alumni Belanda. Semoga!.
YD kini menapaki jejak-jejak itu. Berjalan bagai Spiderman, melekat tanpa bekas. Bagai Superman yang bisa mengangkat dunia, namun takut bak Clark Kent, bila mengingat Sang Istri yang sebentar lagi akan memberinya ’kado indah’ dalam kehidupannya. Kini, setelah Sang Istri ’pulang kampung’ ke Sulawesi, YD bagai Batman, terbang menjelajah kata di kesenyapan malam. Memberi pencerahan pada pembacanya.
Selamat berkarir Bung Yusran. Anda adalah kado Saya bagi Ulang Tahun Kompasiana. Ke-2. yang telah melahirkan beberapa panah-panah ajaib, yang terlepas dari busur kuat bernama Kompasiana. Congratulation!!.
---------------------
Tulisan Tengah Malam, Jakarta 30 November 2010