SAYA tak mengenal banyak tentang sosok Ahmad Fatanah alias Olong. Tetapi ketika diberitakan media massa tentang sepak terjang pria ini dengan sejumlah wanita cantik, saya jadi bergeming, apalagi sempat di ‘tagline’ sebagai seorang flamboyan asal Sulawesi Selatan, lagi-lagi saya bergeming. Mungkin karena kedekatan emosional sebagai sesama orang Sulsel. Tetapi framing media terhadap Olong sepertinya cenderung diarahkan jika Olong tak sekedar ‘jagoan’ daging impor yang menyeretnya ke KPK, tetapi juga ‘daging lain’ yang lebih segar. Seperti itukah? Publik yang bisa menjawabnya.
Tetapi apapun masalah Olong dengan wanita-wanitanya, bagi saya itu hak privat Olong. Seorang Presiden sekelas Soekarno pun ‘jagoan’ di sektor ini. So what gitu lho! Terkecuali masalah hukumnya ini baru milik publik. Olong tentu harus mendapat ganjaran yang setimpal sebab ini urusan hukum yang melibatkan publik sebagai objek yang dirugikan!
Kisah Olong, mengingatkan banyak cerita yang sepertinya menjadi anggapan yang melekat pada pria Bugis-Makassar yang kaya secara materi. Bahwa semakin kaya, semakin berharta dan memiliki status sosial, umumnya diopinikan jika mereka suka berpoligami. Bahkan candaan anak-anak muda dikampung saya kerap mengakronimkan nama BUGIS sebagai singkatan dari ‘Banyak Uang, Ganti Istri’. Duh!, inilah yang dalam kajian ilmu sosiologi komunikasi disebut sebagai ‘stereotipe’. Sama kira-kira jika mengopinikan orang Cina selalu berorientasi pada uang, orang Padang itu pelit, orang Jawa plin-plan dan berbelit-belit, orang Batak orangnya to the point dan kasar, dsb.
Menurut Baron dan Paulus (Mulyana: 2005) ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya stereotip. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai homogen.
Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu disekitar kita. Stereotip dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat. Pada umumnya, stereotip bersifat negative. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan di kepala kita, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotipe dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri.
Lepas dari ‘teori streotipe’ di atas, lagi-lagi saya ingin beropini panjang sepak terjang ‘pria kaya’ orang Bugis ala Pak Olong. Apakah benar kecenderungannya memang suka berpoligami? Tentu masih butuh pembenaran objektif, sebab umumnya pria-pria kaya di mana saja di belahan dunia ini tak mengenal merek suku dan ras, selalu saja mudah mengagumi wanita-wanita cantik (jika tak ingin disebut terbius). Syukur-syukur jika poligami, artinya pria tersebut bertanggung jawab dengan wanitanya, tetapi jika hanya ‘dibayar dan dipakai?’ tentu kodrat wanita terlecehkan.
Ataukah ada ‘faktor x’ yang menyebabkan pria kaya orang Bugis lebih mudah terlekati streotipe poligami? Saya ingat pesan-pesan para tetua Bugis di kampung, jika Orang Bugis kerap menggunakan ‘tiga ujung’ dalam pertarungan kehidupannya. Yakni; ujung lidah, ujung badik dan ujung kemaluan. Ketiga ujung ini bernilai spirit tinggi sebagai benteng rasa harga diri (siri’). Ujung lidah dimaksudkan pada kemampuan bernegosiasi, ujung badik sebagai simbol keberanian, dan ujung kemaluan sebagai cara terakhir untuk berafiliasi dengan orang lain. Kira-kira pesannya seperti ini, “ Jika kalian tak mampu menggunakan bahasa yang baik untuk menyelesaikan sesuatu, maka tunjukkan keberanianmu, jangan pernah takut untuk mati, namun jika kalian masih mengalami masalah, maka kawin/nikahilah diantara mereka”.
Spirit inilah kemudian menjadikan orang-orang Bugis bermental perantau dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Apakah ini juga masuk dalam ‘karakter’ Olong? Pro kontra tentunya. Yang pasti pria Bugis umumnya pekerja keras, memegang teguh konsep harga dirinya, ulet, dan selalu pantang untuk ‘kalah’ dalam kehidupannya. Toh jika harus ‘kalah’, umumnya menghindari rasa malu yang menyebabkan nilai ‘siri’-nya kehilangan, sebab jika ini terjadi, maka badik-lah yang berbicara. Tetapi jika kesuksesan datang, maka tentu mereka akan menikmatinya.
Tante pernah memberi nasehat pada diri pribadi saya, beliau berkata, “Kamu itu murni berdarah Bugis tetapi beristri suku lain. Umumnya ‘suami-suami’ Bugis itu berkarakter ‘raja’, selalu ingin terlayani dengan baik dalam segala hal, apalagi jika sudah sukses. Jangan lupa diri, apalagi cari istri lagi,” katanya. (Nah, Lho, kok begitu Tante?)
Lalu apakah fenomena Olong memang fenomena pembenaran sterotipe itu? Wallahu alam bissawab. “Gunung Antum akan meledak” begitu sebait kalimat percakapan antara Ahmad Fatanah alias Olong pada Luthfi Hasan Ishak, mantan Presiden PKS dalam kasus ‘daging impor’. Heheheh (gak ada hubungan bro)
Jakarta dinihari, 22 Mei 2012
------------------------------------
Tetapi apapun masalah Olong dengan wanita-wanitanya, bagi saya itu hak privat Olong. Seorang Presiden sekelas Soekarno pun ‘jagoan’ di sektor ini. So what gitu lho! Terkecuali masalah hukumnya ini baru milik publik. Olong tentu harus mendapat ganjaran yang setimpal sebab ini urusan hukum yang melibatkan publik sebagai objek yang dirugikan!
Kisah Olong, mengingatkan banyak cerita yang sepertinya menjadi anggapan yang melekat pada pria Bugis-Makassar yang kaya secara materi. Bahwa semakin kaya, semakin berharta dan memiliki status sosial, umumnya diopinikan jika mereka suka berpoligami. Bahkan candaan anak-anak muda dikampung saya kerap mengakronimkan nama BUGIS sebagai singkatan dari ‘Banyak Uang, Ganti Istri’. Duh!, inilah yang dalam kajian ilmu sosiologi komunikasi disebut sebagai ‘stereotipe’. Sama kira-kira jika mengopinikan orang Cina selalu berorientasi pada uang, orang Padang itu pelit, orang Jawa plin-plan dan berbelit-belit, orang Batak orangnya to the point dan kasar, dsb.
Menurut Baron dan Paulus (Mulyana: 2005) ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya stereotip. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai homogen.
Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu disekitar kita. Stereotip dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat. Pada umumnya, stereotip bersifat negative. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan di kepala kita, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotipe dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri.
**
Lepas dari ‘teori streotipe’ di atas, lagi-lagi saya ingin beropini panjang sepak terjang ‘pria kaya’ orang Bugis ala Pak Olong. Apakah benar kecenderungannya memang suka berpoligami? Tentu masih butuh pembenaran objektif, sebab umumnya pria-pria kaya di mana saja di belahan dunia ini tak mengenal merek suku dan ras, selalu saja mudah mengagumi wanita-wanita cantik (jika tak ingin disebut terbius). Syukur-syukur jika poligami, artinya pria tersebut bertanggung jawab dengan wanitanya, tetapi jika hanya ‘dibayar dan dipakai?’ tentu kodrat wanita terlecehkan.
Ataukah ada ‘faktor x’ yang menyebabkan pria kaya orang Bugis lebih mudah terlekati streotipe poligami? Saya ingat pesan-pesan para tetua Bugis di kampung, jika Orang Bugis kerap menggunakan ‘tiga ujung’ dalam pertarungan kehidupannya. Yakni; ujung lidah, ujung badik dan ujung kemaluan. Ketiga ujung ini bernilai spirit tinggi sebagai benteng rasa harga diri (siri’). Ujung lidah dimaksudkan pada kemampuan bernegosiasi, ujung badik sebagai simbol keberanian, dan ujung kemaluan sebagai cara terakhir untuk berafiliasi dengan orang lain. Kira-kira pesannya seperti ini, “ Jika kalian tak mampu menggunakan bahasa yang baik untuk menyelesaikan sesuatu, maka tunjukkan keberanianmu, jangan pernah takut untuk mati, namun jika kalian masih mengalami masalah, maka kawin/nikahilah diantara mereka”.
Spirit inilah kemudian menjadikan orang-orang Bugis bermental perantau dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Apakah ini juga masuk dalam ‘karakter’ Olong? Pro kontra tentunya. Yang pasti pria Bugis umumnya pekerja keras, memegang teguh konsep harga dirinya, ulet, dan selalu pantang untuk ‘kalah’ dalam kehidupannya. Toh jika harus ‘kalah’, umumnya menghindari rasa malu yang menyebabkan nilai ‘siri’-nya kehilangan, sebab jika ini terjadi, maka badik-lah yang berbicara. Tetapi jika kesuksesan datang, maka tentu mereka akan menikmatinya.
Tante pernah memberi nasehat pada diri pribadi saya, beliau berkata, “Kamu itu murni berdarah Bugis tetapi beristri suku lain. Umumnya ‘suami-suami’ Bugis itu berkarakter ‘raja’, selalu ingin terlayani dengan baik dalam segala hal, apalagi jika sudah sukses. Jangan lupa diri, apalagi cari istri lagi,” katanya. (Nah, Lho, kok begitu Tante?)
Lalu apakah fenomena Olong memang fenomena pembenaran sterotipe itu? Wallahu alam bissawab. “Gunung Antum akan meledak” begitu sebait kalimat percakapan antara Ahmad Fatanah alias Olong pada Luthfi Hasan Ishak, mantan Presiden PKS dalam kasus ‘daging impor’. Heheheh (gak ada hubungan bro)
Jakarta dinihari, 22 Mei 2012
------------------------------------
Baca juga Tulisan berikut ini:
- Kawanku Kawin Lagi
- Kawanku Kawin Lagi