Jakarta, pukul 22.00 - 24.00 WIB di hari Minggu 21 Pebruari 2009 adalah waktu berharga bagi saya secara pribadi. Orang sekelas saya, pegawai negeri rendahan, anak petani dari desa miskin, wajah dan performa seadanya, tak pernah membayangkan akan bertemu, bercakap dan berjabat tangan dengan seorang Duta Besar (Dubes) Korea Selatan di Indonesia, Mr. Kim Ho-Young bersama sang istri.
Pertemuan itu pula terbilang special, sebab bukan di tempat umum, justru terjadi di kediamannya yang superketat, superbody di kawasan Menteng, tepatnya di Jalan Imam Bonjol 9 Jakarta Pusat. Parahnya, saya masuk di kediaman sang Dubes juga dengan pakaian sekenanya, menggunakan baju khas Koko Melayu, jins butut dan sandal gunung. Beda dengan penampilan tamu lainnya, yang datang dengan setelan jas, sepatu mengkilat, tentu dengan harga yang mahal pula. Termasuk Walikota Baubau, Amirul Tamim dan istri yang diundang special dinner di residence Mr. Kim Ho-Young.
Tentu saya boleh berbangga, sebab dari semua rakyat Indonesia yang jumlahnya 230 juta jiwa saat ini, pada malam itu hanya tiga orang Indonesia di kediaman Sang Dubes; yakni Saya, Walikota Baubau, dan istri beliau Ny. Yusni Amirul. Padahal sebenarnya ada beberapa orang Indonesia yang nangkring di depan halaman rumah Dubes, menunggu kapan mereka bisa masuk. Termasuk Ajudan Walikota Brigadir Syaifullah, SH dan Leadher Project Korea-Baubau, Ibnu Wahid ST,MM. Keduanya tidak bisa masuk dengan alasan security. Tapi entah mengapa, saya yang datang dengan setelan ala wartawan, yang biasanya begitu sulit bertemu Dubes apalagi dikediaman yang bersifat privacy, saya diizinkan masuk sekedar dengan alasan mendokumentasikan kegiatan Walikota Baubau.
“Hy, You Jurnalis or Fhotografer?”
sang security Korea bertanya padaku.
“No, No,… I want to a documentation for Mr Major of Baubau..”
jawabku dengan bahasa Inggris tak beraturan.
“It’s a residence of Korean Ambassador, do yo know? Tanyanya lagi.
“Yes I do, please help me, Sir..!! ujarku lagi.
Security yang konon jagoan Taek Kwon Do karena memang orang Korea itu pun mengerti apa yang aku ingin lakukan, dia luluh juga, dan mempersilahkanku masuk. Plus dengan kamera standar di tanganku yang lolos sensor. Dari dalam ruang tengah kediaman sang Dubes, terdengar suara khas baritone namun sopan ditelinga. “Please Caming…sit down please, mari masuk,” kata orang dari ruang tengah yang ternyata Mr. Kim Ho Young.
Sayapun kemudian membungkukkan badan tanda takzim seperti layaknya orang Korea umumnya, dan mengucapkan ungkapan terima kasih khas Korea. “Khamsyahhamidah,” kataku mengigatkan penggalan namaku sendiri Hamzah dan Hamidah, (heheheh) yang berarti Terima kasih.
Sang Dubes tersenyum, beliau menggapai tanganku untuk berjabat tangan dan mempersilahkanku duduk, kulihat Walikota dan istri tersenyum padaku. Terlihat pula ada kegembiraan terpencar dari wajah petinggi Baubau itu. Mungkin dalam benak Walikota, saat tepat Saya masuk dan bisa mendokumentasikan kegiatan Walikota dalam gambar dan berita. Tapi, bagi Sang Dubes saya tetaplah tamu yang perlu mereka hormati.
“Yang Mulia Duta besar, Dia ini staf saya,” ujar Walikota singkat kepada Sang Dubes memperkenalkanku. Tersanjung rasanya, sebab meski posisi sebagai staff, tapi sang Dubes sempat mengajakku berbicara.
“Siapa nama?” Tanya Dubes
“Hamzah,” jawabku singkat.
“Ow, Hamzah…please your drink,”
”You like that” Sang Dubes mempersilahkanku menikmati minuman sambil menunjukkan beberapa pilihan yang tersedia di beberapa meja.
Beberapa menit kemudian, saya terlibat percakapan dengan Dubes Korea itu, sementara Walikota dan istri asyik berbicara dengan juru bahasa ketika bergurau dengan istri sang Dubes. Saya pun banyak memuji kemajuan korea saat ini, salah satu Negara superpower Asia. Ingatanku melayang jauh kedepan. Saya ingat Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Saya pun nyeletuk pada Sang Dubes.
“Saya penggemar Tim Piala Dunia Korsel” kataku
“Ow, its very well, you like South Korea? Why? Katanya.
Saya dan Sang Dubes terlibat perbincangan serius. Saya pun kemudian tersadar kalau Saya masuk sekedar ingin mendokumentasikan kegiatan Dinner itu, apalagi selain Walikota, ada tamu agung lainnya di kediaman itu, yakni Jang Yun Jeong Park, Diva Pop Korea yang kini dikenal sebagai artis Korea yang menmbus pasar Hollywood. “Ow, sungguh luar biasa pengalaman ini” pikirku.
Saya pun kembali pada ‘posisi’ semula. Mulai beraksi dengan jepretan-jepretan Kamera, merekam peristiwa bersejarah itu, meski saya sendiri tak bisa memotret diri sendiri. Maklum, Sayalah orang dengan pangkat terendah di kediaman Dubes Korea itu. Tentu tak mungkin saya minta tolong Walikota atau istri untuk memotretku dengan Dubes maupun artis kenamaan itu. Bisa-bisa aku dipecat. Sebanyak 26 kutipan lensa berhasil kurekam. Tentu sebuah catatan dan prestasi sendiri ditengah ketanya pengawasan kediaman para Duta Besar di Jakarta pasca pengeboman yang banyak dilakukan oleh para teroris. Lebih dari itu, saya merasa telah menjadi bagian dari orang-orang besar itu…
Dua jam berlalu..acara pamitan mulai terlihat…tetamu yang jumlahnya sekitar 10-an orang itu satu persatu mulai pamitan dengan Sang Dubes, demikian halnya dengan Walikota dan istri, serta Selebrity Korea Jang Yun Jeong Park. Dan, saya adalah orang terakhir yang keluar dari kediaman itu. Saya pun kembali membungkukkan badan tanda takzim khas Korea, kugapai tangan Dubes dan istrinya, sembari mengucapkan kata ‘Khamsyahamidah, terima kasih’..
Mobil mewah pengantar tamu keluar satu persatu dari kediaman megah yang konon di sewa dengan harga Rp 500 jutaan perbulan dari Pemerintah Republik Korea itu.
Diteras hujan mulai rintik, saya perlahan berjalan gontai menuruni anak tangga kediaman sang Dubes. Hujan mengenai rambutku dan menyadarkan dari kejadian yang baru saja berlalu. Rintik hujan yang membasahi rambut dan pakaianku, menyadarkanku kembali jika saya hanyalah seorang pegawai rendahan yang beruntung malam itu. Tidak seperti tetamu agung itu, saya terpaksa menelpon taksi untuk mengantarkanku pulang ke hotel tempatku menginap.
Sembari menunggu Taksi, lampu teras kediaman sang Dubes pelan-pelan meredup, suasananya kemudian gelap, terkecuali dalam ruangan yang masih kedap-kedip berwarna pancaran TV di ruang tamu. Hayalan masa laluku terngiang kembali. Terbayang wajah ibuku, menjunjung bakul dengan kaki bersendal jepit menapaki bukit berbatu di sebuah desa di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara sana. Terbayang wajah Ayahku yang memikul kayu bakar yang diperolehnya di hutan, lalu tersenyum tanpa beban meski dengan peluh meleleh deras bak biji jagung.
Terbayang rumah sederhana orang tuaku di desa itu, yang telah membesarkanku hingga malam ini menginjakkan kaki di ‘istana Dubes’.
Hatiku membatin, pikiranku berhayal, irama jantungku berdetak menyanyikan harapan masa depan, dan berkata,….”Jakarta, tunggu Aku, siapa yang akan lelah Kau atau Aku… Jakarta….??!! (Hamzah)
Tentu saya boleh berbangga, sebab dari semua rakyat Indonesia yang jumlahnya 230 juta jiwa saat ini, pada malam itu hanya tiga orang Indonesia di kediaman Sang Dubes; yakni Saya, Walikota Baubau, dan istri beliau Ny. Yusni Amirul. Padahal sebenarnya ada beberapa orang Indonesia yang nangkring di depan halaman rumah Dubes, menunggu kapan mereka bisa masuk. Termasuk Ajudan Walikota Brigadir Syaifullah, SH dan Leadher Project Korea-Baubau, Ibnu Wahid ST,MM. Keduanya tidak bisa masuk dengan alasan security. Tapi entah mengapa, saya yang datang dengan setelan ala wartawan, yang biasanya begitu sulit bertemu Dubes apalagi dikediaman yang bersifat privacy, saya diizinkan masuk sekedar dengan alasan mendokumentasikan kegiatan Walikota Baubau.
“Hy, You Jurnalis or Fhotografer?”
sang security Korea bertanya padaku.
“No, No,… I want to a documentation for Mr Major of Baubau..”
jawabku dengan bahasa Inggris tak beraturan.
“It’s a residence of Korean Ambassador, do yo know? Tanyanya lagi.
“Yes I do, please help me, Sir..!! ujarku lagi.
Security yang konon jagoan Taek Kwon Do karena memang orang Korea itu pun mengerti apa yang aku ingin lakukan, dia luluh juga, dan mempersilahkanku masuk. Plus dengan kamera standar di tanganku yang lolos sensor. Dari dalam ruang tengah kediaman sang Dubes, terdengar suara khas baritone namun sopan ditelinga. “Please Caming…sit down please, mari masuk,” kata orang dari ruang tengah yang ternyata Mr. Kim Ho Young.
Sayapun kemudian membungkukkan badan tanda takzim seperti layaknya orang Korea umumnya, dan mengucapkan ungkapan terima kasih khas Korea. “Khamsyahhamidah,” kataku mengigatkan penggalan namaku sendiri Hamzah dan Hamidah, (heheheh) yang berarti Terima kasih.
Sang Dubes tersenyum, beliau menggapai tanganku untuk berjabat tangan dan mempersilahkanku duduk, kulihat Walikota dan istri tersenyum padaku. Terlihat pula ada kegembiraan terpencar dari wajah petinggi Baubau itu. Mungkin dalam benak Walikota, saat tepat Saya masuk dan bisa mendokumentasikan kegiatan Walikota dalam gambar dan berita. Tapi, bagi Sang Dubes saya tetaplah tamu yang perlu mereka hormati.
“Yang Mulia Duta besar, Dia ini staf saya,” ujar Walikota singkat kepada Sang Dubes memperkenalkanku. Tersanjung rasanya, sebab meski posisi sebagai staff, tapi sang Dubes sempat mengajakku berbicara.
“Siapa nama?” Tanya Dubes
“Hamzah,” jawabku singkat.
“Ow, Hamzah…please your drink,”
”You like that” Sang Dubes mempersilahkanku menikmati minuman sambil menunjukkan beberapa pilihan yang tersedia di beberapa meja.
Beberapa menit kemudian, saya terlibat percakapan dengan Dubes Korea itu, sementara Walikota dan istri asyik berbicara dengan juru bahasa ketika bergurau dengan istri sang Dubes. Saya pun banyak memuji kemajuan korea saat ini, salah satu Negara superpower Asia. Ingatanku melayang jauh kedepan. Saya ingat Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Saya pun nyeletuk pada Sang Dubes.
“Saya penggemar Tim Piala Dunia Korsel” kataku
“Ow, its very well, you like South Korea? Why? Katanya.
Saya dan Sang Dubes terlibat perbincangan serius. Saya pun kemudian tersadar kalau Saya masuk sekedar ingin mendokumentasikan kegiatan Dinner itu, apalagi selain Walikota, ada tamu agung lainnya di kediaman itu, yakni Jang Yun Jeong Park, Diva Pop Korea yang kini dikenal sebagai artis Korea yang menmbus pasar Hollywood. “Ow, sungguh luar biasa pengalaman ini” pikirku.
Saya pun kembali pada ‘posisi’ semula. Mulai beraksi dengan jepretan-jepretan Kamera, merekam peristiwa bersejarah itu, meski saya sendiri tak bisa memotret diri sendiri. Maklum, Sayalah orang dengan pangkat terendah di kediaman Dubes Korea itu. Tentu tak mungkin saya minta tolong Walikota atau istri untuk memotretku dengan Dubes maupun artis kenamaan itu. Bisa-bisa aku dipecat. Sebanyak 26 kutipan lensa berhasil kurekam. Tentu sebuah catatan dan prestasi sendiri ditengah ketanya pengawasan kediaman para Duta Besar di Jakarta pasca pengeboman yang banyak dilakukan oleh para teroris. Lebih dari itu, saya merasa telah menjadi bagian dari orang-orang besar itu…
Dua jam berlalu..acara pamitan mulai terlihat…tetamu yang jumlahnya sekitar 10-an orang itu satu persatu mulai pamitan dengan Sang Dubes, demikian halnya dengan Walikota dan istri, serta Selebrity Korea Jang Yun Jeong Park. Dan, saya adalah orang terakhir yang keluar dari kediaman itu. Saya pun kembali membungkukkan badan tanda takzim khas Korea, kugapai tangan Dubes dan istrinya, sembari mengucapkan kata ‘Khamsyahamidah, terima kasih’..
Mobil mewah pengantar tamu keluar satu persatu dari kediaman megah yang konon di sewa dengan harga Rp 500 jutaan perbulan dari Pemerintah Republik Korea itu.
Diteras hujan mulai rintik, saya perlahan berjalan gontai menuruni anak tangga kediaman sang Dubes. Hujan mengenai rambutku dan menyadarkan dari kejadian yang baru saja berlalu. Rintik hujan yang membasahi rambut dan pakaianku, menyadarkanku kembali jika saya hanyalah seorang pegawai rendahan yang beruntung malam itu. Tidak seperti tetamu agung itu, saya terpaksa menelpon taksi untuk mengantarkanku pulang ke hotel tempatku menginap.
Sembari menunggu Taksi, lampu teras kediaman sang Dubes pelan-pelan meredup, suasananya kemudian gelap, terkecuali dalam ruangan yang masih kedap-kedip berwarna pancaran TV di ruang tamu. Hayalan masa laluku terngiang kembali. Terbayang wajah ibuku, menjunjung bakul dengan kaki bersendal jepit menapaki bukit berbatu di sebuah desa di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara sana. Terbayang wajah Ayahku yang memikul kayu bakar yang diperolehnya di hutan, lalu tersenyum tanpa beban meski dengan peluh meleleh deras bak biji jagung.
Terbayang rumah sederhana orang tuaku di desa itu, yang telah membesarkanku hingga malam ini menginjakkan kaki di ‘istana Dubes’.
Hatiku membatin, pikiranku berhayal, irama jantungku berdetak menyanyikan harapan masa depan, dan berkata,….”Jakarta, tunggu Aku, siapa yang akan lelah Kau atau Aku… Jakarta….??!! (Hamzah)