(Catatan Pinggir sebagai Kado Ultah Harian Radar Buton)
Puluhan tahun silam, Marshall Mc Luhan seorang pakar komunikasi Universitas Toronto Canada menulis buku Media is the Message, meramalkan bahwa media lebih menentukan isi pesan, karena media itu yang membawa pesan itu. Seberapa jauh pesan itu sampai, seberapa jauh luas khalayak yang dicapai dan bagaimana dampaknya pada masyarakat, ditentukan oleh media itu sendiri. Tentu pesan ini juga berlaku bagi Harian Radar Buton, yang merupakan koran harian pertama dan terbesar di kawasan Buton Raya.
Like or dislike, harian Radar Buton yang baru berusia dua tahun dalam perjalanannya telah memberi warna dan khazanah tersendiri bagi lingkungan sekitarnya. Koran ini juga telah mampu memposisikan diri sebagai milik semua orang, khususnya yang memiliki ikatan emosional ke-Butonan, baik yang berdomisli dalam kawasan Buton Raya maupun yang berada di luar wilayah ini, bahkan Baubau, Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia telah memandang koran ini sebagai bentuk ekselusifitas tersendiri. Mungkin bukan lewat media cetaknya, tapi jaringan online www.radarbuton.com yang update menyapa pembacanya di belahan dunia manapun ia berada. Sebuah penggambaran, jika koran ini telah berhasil memposisikan diri sebagai primary needs (kebutuhan primer) orang Buton era kekinian.
Masih segar diingatan kita semua, di tahun 2007 kebawah, sebelum koran ini hadir, geliat kemajuan pembangunan di beberapa wilayah seperti Kota Baubau, Kabupaten Buton, Wakatobi dan Buton Utara memang telah disuarakan sejumlah media massa baik regional Sultra dan beberapa media temporer di Baubau, tapi tentu kebutuhan informasi masih dianggap kurang. Hadirnya Radar Buton telah menjawab kebutuhan itu, meski dengan segala keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Maka wajar kemudian, jika koran ini menjadi lahan rebutan publik dalam menyalurkan informasi yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya masing-masing.
Ini berarti Radar Buton dengan kehadirannya, disadari atau tidak telah menjadi elemen penting dalam membentuk karakter masa depan Buton secara universal. Memang, Pamela J. Shoemaker and Stephen D. Reese (1996) mengingatkan bahwa kita tidak boleh menelan mentah-mentah segala bentuk pemberitaan. Media massa bukanlah cerminan dari dunia itu sendiri. Berita tidak hadir secara apa adanya di hadapan penonton atau pembacanya. Berita telah melalui serangkaian proses yang rumit, penuh kepentingan, dan ideologis, sebelum akhirnya ditayangkan di televisi atau tercetak di koran dan majalah. Namun yang pasti, Radar Buton telah tampil sesuai standar kelayakan berita (news worthiness) dalam posisinya sebagai penyalur aspirasi Buton Raya yang menjadi slogan teks penjiwaannya. Dan sebagai industri media, Radar Buton telah memposisikan diri sebagai perusahaan tersehat dalam jajaran Fajar Group di level media usia muda di kawasan timur Indonesia. (wawancara Drs. Ramli Ahmad, Direktur Radar Buton)
Metro Baubau
Satu hal yang layak dicermati dalam kolom web Radar Buton, terdapat halaman khusus bertajuk Metro Baubau. Pengungkapan kata Metro yang berasal dari kata Metropolis atau metropolitan, adalah sebuah apresiasi dan keinginan pengelolah koran ini untuk memposisikan Kota Baubau sebagai kota besar layaknya kota besar lainnya di Indonesia.
Wikipedia Berbahasa Indonesia menjelaskan, wilayah metropolitan adalah sebuah pusat populasi besar yang terdiri atas satu metropolis besar dan daerah sekitarnya, atau beberapa kota sentral yang saling bertetangga dan daerah sekitarnya. Satu kota besar atau lebih dapat berperan sebagai hubungannya, dan wilayah metropolitan biasanya diberi nama sesuai dengan kota sentral terbesar atau terpenting di dalamnya.
Merujuk hal itu, tentu sebuah kiasan hiperbola dengan posisi Baubau sebagai kota kedua di Sulawesi Tenggara. Tapi peran Baubau sebagai sumbu ekonomi di kawasan Buton Raya, (menurut penulis) memungkinkan untuk menggunakan istilah ini, apalagi memberi batasan dengan ungkapan ‘Metro Baubau’, tidak dengan sebutan metropolis atau metropolitan. Anugerah kata Metro untuk Kota Baubau dari Radar Buton, sebenarnya hal sama dilakukan media nasional lainnya ketika awal pertumbuhan kota tempat domisili media itu. Sebut saja Harian Fajar Makassar, yang memberi item ‘Metro Makassar’, atau Harian Manado Pos dengan ‘Metro Manado’ atau Harian Kendari Pos dengan ‘Metro Kendari’nya.
Padahal, diawal tumbuhnya, Makassar, Manado, dan Kendari juga berposisi sebagai kota kecil. Namun seiring kemajuan media itu, berselang lima tahun kemudian Makassar, Bandung, Kendari tumbuh menjadi kota besar. Makanya ada keyakinan kalau Baubau benar-benar menjadi kota metro hanya dengan proses pembiasaan penciptaan image melalui halaman khusus.
Ketika kita sepakat dengan istilah ‘Metro Baubau’ maka selayaknya (saran penulis) Radar Buton sejak dini mengimajinasikan beberapa penamaan wilayah di Kota Baubau ini dengan sebutan yang lebih ekslusif dalam pemberitaan, tanpa menghilangkan identitas kearifan dan khazanah kebudayaan lokal yang ada. Sebagai contoh Gedung serbaguna Alun-alun Betoambari dengan istilah Semerbak Hall Center atau Baubau Hall Center. Bahkan lebih ekstrim, bisa saja merubah istilah ‘Pantai Kamali’ dengan sebutan Kamali Square.
Memang, pengistilahan dengan mereduksi beberapa istilah asing telah menjadi trend media massa belakangan ini. Baubau-pun terkena imbasnya. Sebelum Radar Buton hadir keberanian itu sudah ada, semisal Plaza Umna, Lakeba Resort dll. Alhasil, image tercipta di publik luar, jika sebenarnya Baubau sudah mengarah kepada kemajuan. Sadar atau tidak Baubau akan tergerus di dalamnya. Baubau bukan sekedar ikon sebagai calon ibukota Provinsi Buton Raya, tetapi Baubau telah berani bergandengan dengan dunia luar, semisal menjadi friendship city dengan Kota Metropolitan, Seoul Korea Selatan.
Radar Buton harus lebih berani menggiring image publik, bila Baubau benar-benar kota metro dan pesohor dari Buton Raya. Apalagi, aksebilitas dan fasilitas Baubau tercukupi, dari keberadaan airport, pelabuhan nusantara, perbankan, hingga pusat-pusat perekonomian lainnya tumbuh subur di kota ini. Yang pasti dalam dunia ilmu jurnalis, upaya ini bukanlah trial by the press atau kejahatan media massa, malah menjadi kewajiban media untuk membesarkannya. Bahkan, ada trend tidak tertulis dari media massa untuk bisa menasionalkan perbendahaan bahasa daerah menjadi salah satu perbendaharaan Bahasa Indonesia.
Ekslusifisme Buton Raya
Harian Radar Buton yang mengusung spirit Penyalur Aspirasi Buton Raya, sejak terbit perdana 14 Januari 2008 silam adalah bagian tidak terpisahkan dari perjuangan memekarkan wilayah ini menjadi sebuah provinsi baru, maka sangat wajar jika isu ‘Buton Raya’ senantiasa menjadi headline news, setiap kali ada opini, maupun berita terkait dengan Buton Raya.
Bahkan profilnya yang termaktub di situs www.radarbuton.com, berani menuliskan bila media ini sebagai alat perjuangan lahirnya provinsi itu. Kondisi ini ‘ditangkap’ para pejuang pemekaran, kalangan partisan, bahkan politikus sekalipun untuk menjadikan Radar Buton sebagai lahan empuk menyampaikan pesannya. Maka tidak mengherankan, jika media ini di segi bacaan dan isi berita sudah diminati, baik yang berdomisili di kawasan Buton Raya itu sendiri, maupun di kota-kota besar lainnya di Indonesia, dengan beragam kepentingan.
Eksklusifisme Buton Raya yang diusung media ini tercermin dari lembar-demi lembar koran ini, dari halaman Metro Baubau, Radar Buton, Radar Wakatobi, Radar Butur, Radar Wakatobi, dan Radar Sultra. Ini berarti, media ini benar-benar memberikan ruang sebesar-besarnya bagi segenap elemen Buton Raya untuk memanfaatkannya.
Muncul sebuah pertanyaan baru, apakah media ini hanya sekedar penyampai pesan dari pembacanya? Lalu bagaimana apresiasi pembaca dalam membesarkan Radar Buton? Ini juga perlu penyadaran terstruktur. Sebab, Radar Buton bukan sekedar wahana informasi, tetapi sebuah industri yang menghidupi puluhan karyawannya, yang tentunya anak bangsa dari kawasan Buton Raya ini.
Di kolom layanan publik banyak SMS terbaca, yang menginginkan Radar Buton menambah halaman, karena terdesak dengan iklan. Tapi tahukah kita, penambahan halaman dalam sebuah industri media, berarti penambahan wartawan, dan tentunya biaya operasional yang tidak sedikit. Sebab menambah halaman, berarti menambah 4 halaman sekaligus, bukan 1, 2 atau 3 halaman. Jadi memang membutuhkan pertimbangan dan kajian teknis manajemen.
Sebagai pembaca Radar Buton, maka tugas kita sangat sederhana. Cukup berlangganan media ini saja, sangat membantu Radar Buton untuk menyalurkan aspirasi kita semua. Semoga Radar Buton terus menjadi Penyalur Aspirasi Masyarakat Buton Raya, yang professional. Koran Fajar sebagai induk media ini telah memberi pesan hidup. Katanya, tetaplah bijak digaris tak berpihak. Congratulation Radar Buton! (**)
Penulis : Pemerhati Sosial, staf Badan Kominfo dan Pengolahan Data Kota Baubau