Menyisir nyiur sepanjang pantai Sulawesi Utara sungguh menjadikan Indonesia benar-benar indah, elok nian pula. Perjalanan melelahkan dari Kota Bau-Bau di Pulau Buton menuju Makassar selama 45 menit, plus penerbangan Makassar – Manado lebih dari 1 jam, lalu menyusur pantai menuju Kota Kotamobagu selama 4 jam bukan perkara gampang. Namun lambaian nyiur itu begitu indah, mencuci mata yang kelelahan. Sampailah kami di kota cantik di lembah gunung Ambang, gunung api aktif di negeri Bolaang Mangondow, wilayah yang sebelumnya menjadi induk dari Kota Kotamobagu.
Kota Kotamobagu sendiri resmi menjadi daerah otonom lepas dari Bolaang Mangondow 24 Mei 2007. Pas tiga tahun lalu. Memang kunjungan kami ke Kotamobagu mengeikuti Rakor Assosiasi pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua, yang oleh pemerintah setempat dirangkaikan dengan HUT Kota Kotamobagu ke-tiga sekaligus menyaksikan pemecahan rekor MURI ‘kacang Goyang’. Kacang Goyang memang produk warga setempat, sekaligus ‘ole-oleh’ pulang kampung nantinya.
Lagi-lagi saya mengungkap kemolekan Kota Kotamobagu, sama moleknya dengan gadis-gadis di sana. Kota kecil ini seperti ‘kota ditengah hutan’ sebab Kota Kotamobagu yang begitu menyala di malam hari, dengan kehidupan perekonomian berbau kota metro, meski dikelilingi hutan dan gunung-gunung berapi yang aktif.
Yang saya kagumi, meski Kota Kotamobagu hanya kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 120 ribu jiwa, namun kehidupan warganya sangat dinamis dan entertainer. Makanya wajar bila, sejumlah mall berdiri di sana yang membuat aktivitas perekonomian terus bergerak dari pagi hingga malam hari.
Melihat Kota Kotamobagu saya terkesima. Tidak pernah membayang ada kota di dalam kawasan hutan. Satu-satunya yang ada dibenak kami sebelum berkunjung kesana, hanyalah gadis-gadisnya yang cantik. Itu pasti, sebab Kota Kotamobagu tentu berdarah ras manado yang di Nusantara ini dikenal sebagai negerinya para ‘dewi-dewi’. Makanya wajar bila ada anekdot kalau ke Manado ada 3B yang harus dinikmati, Bubur, Bunaken dan terakhir Bibir. Waduh! Kata terakhir ini nampaknya kurang elok dibahas tuntas, sebab itu hanya idiom penggambaran bila orang Manado terkenal kecantikannya, sehingga banyak yang bilang, kalau mau pilih istri cantik, maka pililah orang Manado. Waduwww...
Kotamobagu, lembah cantik itu....begitu ungkapan ketertarikan orang-orang yang berkunjung. Kota yang dipimpin pasangan ‘Jelita’ singkatan dari Bapak Jelantik Mokodompit dan Ibu Ir. Tatong Bara. Pak Jelantik, adalah seorang politisi yang pernah malang melintang di Senayan, sementara Ibu Tatong, adalah seorang kontraktor lokal manado yang cantik, ayu, berkulit putih bening, tinggi, dengan bulu mata lentik dan ttur kata yang sangat lembut. Tak apalah saya mengumbar kecantikan ‘02’ Kota Kotamobagu ini. Sebab beliau kini hidup sendiri, setelah sang suami tercinta berpulang ke rakhmatullah beberapa bulan lalu. Apalagi, ibu orang Kotamobagu ini konon tak memiliki putra-putri. Saya hanya berharap, tidak ada yang marah dengan saya ketika mengungkap kecantikan beliau. Saya hanya berharap, orang-orang Kota Kotamobagu menganggap ibu Wakil Walikota ini, sebagai penggambaran kecantikan wanita-wanita negeri ‘Maguni’ ini.
Kembali ke soal perkotaan, Kota Kotamobagu sebenarnya salah satu kota tua di Sulawesi Utara, selain Manado, Bitung dan Tomohon. Makanya wajar bila roda perekonomian di sana terus bergeliat. Wajar pula bila Kotamobagu naik status dari ibukota kabupaten menjadi Kotamadya, sama dengan Kota Baubau yang pernah menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara, saat wilayah ini masih bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Atau ketika Baubau menjadi ibukota dari Kabupaten Buton.
Kota Kotamobagu juga dikenal sebagai kota ‘Bentor’ alias Becak Motor. Kendaraan ala ‘becak’ dengan menggunakan motor bebek sebagai penggeraknya. Unik memang. Disebut seperti itu, sebab bentor kini jumlahnya mencapai ribuan kendaraan dan memadati jalan raya Kota Kotamobagu. Tapi demikianlah adanya, Bentor mengalahkan posisi Taksi, (taksi memang tak ada di sana, bahkan menggeser posisi Angkot yang menjadi kendaraan umum resmi di Kota Kotamobagu.
Kata Asisten I Kota Kotamobagu, bentor sebenarnya hasil ‘impor’ dari Gorontalo. Pas Gorontalo naik status menjadi provinsi, dibuatlah aturan yang menertibkan Bentor ini. Terdesak disana, Bentor lalu hijrah ke Kota Kotamobagu. Mungkin karena tak ada Taksi, Bentor menjadi alternatif utama angkutan umum di sana, sama dengan ojek-ojek motor di beberapa kota lainnya di Indonesia.
Meski menjadi kendaraan favorit kota ini, tapi bagi pemerintahnya dinilai bisa membuat ‘kumuh’ kehidupan perkotaan. Hanya memang terlambat ditertibkan, sehingga butuh waktu panjang untuk menertibkannya. “Pelan-pelan sambil mempelajari apa yang terbaik buat warga yang mencari nafkah lewat Bentor, apalagi Bentor lebih manusiawi dari becak yang menggunakan tenaga manusia.” Kata Sang Asisten Walikota ini.
Yang pasti untuk menuju ke kota Kotamobagu, siapkan fisik Anda untuk menempuh perjalanan selama 3 atau 4 jam perjalanan dari Kota Manado dengan mobil umum. Sebab hanya ini satu-satunya sarana transportasi. Belum ada pelabuhan PELNI atau Bandar Udara. Katanya, dulu pernah ada Bandara, namun tak ada maskapai penerbagan yang ingin investasi ke sana. Tapi yang pasti, kelelahan Anda dibayar kontan dengan komelakan kota di lembah nan sejuk ini.
Kota Kotamobagu, 25 Mei 2010