Ada satu makna sederhana yang dapat kita ambil ibrahnya dari bulan Ramadhan ini. Hikmah tersebut adalah kenikmatan menahan dan mengelola hawa nafsu ternyata membuahkan kenikmatan ruhani. Yang menjadi suplemen inti kenikmatan jasmani sehingga membuat siapapun merasakan kenikmatan saat memakan hidangan ta'jil. meski dengan beberapa butir kurma dan segelas air putih.
Cobalah bayangkan seandainya kita tidak sedang shaum, segelas air minum dan butiran kurma itu tidaklah akan menjadi hidangan istimewa meskipun di tempatkan sebagai menu menyambut adzan maghrib. Jika sejak pagi kita makan bubur ayam, siangnya rutin lunch bareng temen, sorenya ngemil, apakah akan hadir kelezatan ifthar itu ketika adzan maghrib berkumandang?. Keadaan yang sama dapat kita temukan saat bersahur. Dini hari merupakan waktu yang sangat tidak wajar bagi orang dengan rutinitas normal untuk menyantap makanan sebagai bekal nutrisi untuk siang harinya. saat sahur itu, kadang meski dihidangkan menu makanan yang istimewa, tetaplah selera makan kita tidak sebesar makan siang atau saat lapar. Kesimpulannya, jikalau tidak ada perintah dan penyebutan keutamaan sahur oleh baginda Nabi saw, tentu banyak orang akan meninggalkan sahur ini meski siang harinya berniat shaum.
Rutinitas pokok orang bershaum di bulan ramadhan ini sepertinya memang mau tak mau selalu membuahkan kegembiraan pada para pelakunya, kaum muslimin. seberapapun kadar iman mereka. saya yakin akan hal ini karena, ramadhan selalu dihitung hari demi harinya. setidaknya para penceramah tarawih begitu rajin menghitung hari Ramadhan. Memang para shalihin begitu sedih ketika mereka tersadar akan semakin dekatnya momen perpisahan dengan bulan tercinta ini, terlebih di sepuluh hari terakhir. tapi bolehlah kita menghargai siapapun yang merasa gembira karena telah lulus dan sukses mentaati perintah Rabbnya dalam menjalankan sebulan penuh ibadah Ramadhan. Letihnya bershaum, lama-lama berbertarawih, serta manahan dari segala amarah dan keinginan maksiat. Terlebih sebagaimana dikutip sedikit di atas, bahwa irama aktivitas hidup dan pola makan - yang sejatinya merupakan salah satu kegiatan pokok untuk bertahan dan menghiasi hidup - berubah total. jikalau Ramadhan dianggap terapi, maka terapi masal tersebut sangat efektif merubah kebiasaan beserta nuansa hati milyaran kaum muslimin sedunia.
Sebuah benang merah yang seringkali kasat mata, tentang keajaiban pengendalian nafsu yang berbuah kelezatan jiwa. Makna yang tidak begitu rumit untuk ditemukan oleh siapapun yang mau bertafakur. terlebih saat makna itu dikontradiksikan dengan dengan perilaku sebagian besar manusia si zaman ini. Perilaku mengumbar nafsu dan syahwat dengan asa untuk mengejar haus bahagia. Itupun jikalau kita mau mematuhi konsensus terhadap pernyataan bahwa kebahagiaan itu letaknya ada di jiwa. bukan pada benda dan kepemilikan.
Marilah sedikit mencuplik contoh diri sebelum kita menilai orang lain. Karena kitalah peran utama dalam episode kehidupan dan kitalah yang akan bertanggung jawab nanti. Adakalanya, kita memakan apapun yang memuaskan selera lidah kita, tanpa perduli perut yang penuh mengembung. melupakan kaum fakir miskin yang lapar.dan melalaikan infak dari sebagian harta padahal tak peduli seberapa mahal dan seringnya jajan untuk nafsu makan kita. Bayangkanlah, saat kita terpesona dengan model pakaian atau perangkat elektronik yang menyedit perhatian untuk kita segera memilikinya dalam genggaman. Lalu kitapun memaksakan diri baik dalam kondisi lapang maupun sedikit uang. kadang tidak peduli tentang bertumpuknya pakaian kita yang masih indah dan layak pakai di lemari. Juga sebenarnya masih terpenuhinya fungsi kebutuhan barang elektronik kita dengan baik.
Nafsu memang tidak berujung. mengikutinya seperti meminum air laut. semakin banyak semakin haus. padahal ujung kehidupan adalah kematian. Alangkah malangnya jika hidup diisi oleh aktivitas yang memburu kepuasan nafsu semata. tidak sempat merasakan kenikmatan ruhani yang substansial dan lebih dahsyat ekstasinya. padhaal kenikmatan dari mengikuti nafsu itu sesaat. nikmatnya makan hanya sepanjang lidah, nikmatnya memiliki barang tidak sampai beberapa minggu atau hitungan bulan. setelah itu si nafsu akan menagih lagi...lagi...dan lagi..menjerat dan mengacak fitrah hingga lupa beribadah. lebih menakutkan jika kita menuhankan nafsu. ibadahpun hanya formalitas. berdoapun ujung-ujungnya agar nafsu syahwat terpuaskan. sehingga tenggalamlah dalam lingkaran setan.
Berhasilkan kita memenej nafsu sesuai tuntunan Islam di bulan ini ? Ayo kita tengok dapur dan kulkas kita. agenda belanja dan jalan-jalan kita. Bolehlah untuk membandingkan dengan anggaran infaq, shadaqah, silaturahim, dan mencari ilmu. Dapat terlihat kesungguhan iman kita untuk memasuki pintu syurga yang telah Allah buka. Dan Jika tidak pandai mengelola nafsu secara istiqomah, niscaya ramadhan tidak lebih dari momentum untuk memanjakan nafsu semata.
Di bulan ramdhan ini, marilah kita mengambil sebuah konsep. Yaitu kebahagiaan tidaklah terletak pada pemuasan nafsu. tapi janganlah pura-pura tidak bernafsu, atau berusaha menghilangkannya. karena nafsu tidaklah dapat dibunuh. lalu bagaimana dong? daripada berteori, marilah kita langsung terjun menjiwai contohnya. yaitu ada pada bulan ramadhan ini. sebuah model aplikatif yang menggugah kesadaran dan memecut jiwa kita. karena tersadar di luar ramadhan seringkali kita menjadi budak nafsu. terobsesi pada jenis-jenis makanan, hiburan, kebendaan, pujian, dan macam-macam.
Oleh karena itulah, seawam apapun orang tentang agama. Dia layak dan memang telah merasakan kenikmatan jiwa bulan ramadhan. Minimal saat berbuka dan ber-Idul Fitri. Hari yang dinobatkan oleh nabi sendiri sebagai hari rayanya kaum muslimin.Di sini kaum muslimin mempertajam rasa syukurnya. Dan mudah-mudahan kita semua dapat mengaplikasikan makna sederhana ramadhan dalam 11 bulan mendatang insya Allah. agar berhak kita mendapatkan kenikmatan kedua di akhirat nanti, yaitu saat jumpa dengan Allah SWT.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya) (An- Naazi'aat : 40-41) (tulisan ihwan : Arief Husein)
Cobalah bayangkan seandainya kita tidak sedang shaum, segelas air minum dan butiran kurma itu tidaklah akan menjadi hidangan istimewa meskipun di tempatkan sebagai menu menyambut adzan maghrib. Jika sejak pagi kita makan bubur ayam, siangnya rutin lunch bareng temen, sorenya ngemil, apakah akan hadir kelezatan ifthar itu ketika adzan maghrib berkumandang?. Keadaan yang sama dapat kita temukan saat bersahur. Dini hari merupakan waktu yang sangat tidak wajar bagi orang dengan rutinitas normal untuk menyantap makanan sebagai bekal nutrisi untuk siang harinya. saat sahur itu, kadang meski dihidangkan menu makanan yang istimewa, tetaplah selera makan kita tidak sebesar makan siang atau saat lapar. Kesimpulannya, jikalau tidak ada perintah dan penyebutan keutamaan sahur oleh baginda Nabi saw, tentu banyak orang akan meninggalkan sahur ini meski siang harinya berniat shaum.
Rutinitas pokok orang bershaum di bulan ramadhan ini sepertinya memang mau tak mau selalu membuahkan kegembiraan pada para pelakunya, kaum muslimin. seberapapun kadar iman mereka. saya yakin akan hal ini karena, ramadhan selalu dihitung hari demi harinya. setidaknya para penceramah tarawih begitu rajin menghitung hari Ramadhan. Memang para shalihin begitu sedih ketika mereka tersadar akan semakin dekatnya momen perpisahan dengan bulan tercinta ini, terlebih di sepuluh hari terakhir. tapi bolehlah kita menghargai siapapun yang merasa gembira karena telah lulus dan sukses mentaati perintah Rabbnya dalam menjalankan sebulan penuh ibadah Ramadhan. Letihnya bershaum, lama-lama berbertarawih, serta manahan dari segala amarah dan keinginan maksiat. Terlebih sebagaimana dikutip sedikit di atas, bahwa irama aktivitas hidup dan pola makan - yang sejatinya merupakan salah satu kegiatan pokok untuk bertahan dan menghiasi hidup - berubah total. jikalau Ramadhan dianggap terapi, maka terapi masal tersebut sangat efektif merubah kebiasaan beserta nuansa hati milyaran kaum muslimin sedunia.
Sebuah benang merah yang seringkali kasat mata, tentang keajaiban pengendalian nafsu yang berbuah kelezatan jiwa. Makna yang tidak begitu rumit untuk ditemukan oleh siapapun yang mau bertafakur. terlebih saat makna itu dikontradiksikan dengan dengan perilaku sebagian besar manusia si zaman ini. Perilaku mengumbar nafsu dan syahwat dengan asa untuk mengejar haus bahagia. Itupun jikalau kita mau mematuhi konsensus terhadap pernyataan bahwa kebahagiaan itu letaknya ada di jiwa. bukan pada benda dan kepemilikan.
Marilah sedikit mencuplik contoh diri sebelum kita menilai orang lain. Karena kitalah peran utama dalam episode kehidupan dan kitalah yang akan bertanggung jawab nanti. Adakalanya, kita memakan apapun yang memuaskan selera lidah kita, tanpa perduli perut yang penuh mengembung. melupakan kaum fakir miskin yang lapar.dan melalaikan infak dari sebagian harta padahal tak peduli seberapa mahal dan seringnya jajan untuk nafsu makan kita. Bayangkanlah, saat kita terpesona dengan model pakaian atau perangkat elektronik yang menyedit perhatian untuk kita segera memilikinya dalam genggaman. Lalu kitapun memaksakan diri baik dalam kondisi lapang maupun sedikit uang. kadang tidak peduli tentang bertumpuknya pakaian kita yang masih indah dan layak pakai di lemari. Juga sebenarnya masih terpenuhinya fungsi kebutuhan barang elektronik kita dengan baik.
Nafsu memang tidak berujung. mengikutinya seperti meminum air laut. semakin banyak semakin haus. padahal ujung kehidupan adalah kematian. Alangkah malangnya jika hidup diisi oleh aktivitas yang memburu kepuasan nafsu semata. tidak sempat merasakan kenikmatan ruhani yang substansial dan lebih dahsyat ekstasinya. padhaal kenikmatan dari mengikuti nafsu itu sesaat. nikmatnya makan hanya sepanjang lidah, nikmatnya memiliki barang tidak sampai beberapa minggu atau hitungan bulan. setelah itu si nafsu akan menagih lagi...lagi...dan lagi..menjerat dan mengacak fitrah hingga lupa beribadah. lebih menakutkan jika kita menuhankan nafsu. ibadahpun hanya formalitas. berdoapun ujung-ujungnya agar nafsu syahwat terpuaskan. sehingga tenggalamlah dalam lingkaran setan.
Berhasilkan kita memenej nafsu sesuai tuntunan Islam di bulan ini ? Ayo kita tengok dapur dan kulkas kita. agenda belanja dan jalan-jalan kita. Bolehlah untuk membandingkan dengan anggaran infaq, shadaqah, silaturahim, dan mencari ilmu. Dapat terlihat kesungguhan iman kita untuk memasuki pintu syurga yang telah Allah buka. Dan Jika tidak pandai mengelola nafsu secara istiqomah, niscaya ramadhan tidak lebih dari momentum untuk memanjakan nafsu semata.
Di bulan ramdhan ini, marilah kita mengambil sebuah konsep. Yaitu kebahagiaan tidaklah terletak pada pemuasan nafsu. tapi janganlah pura-pura tidak bernafsu, atau berusaha menghilangkannya. karena nafsu tidaklah dapat dibunuh. lalu bagaimana dong? daripada berteori, marilah kita langsung terjun menjiwai contohnya. yaitu ada pada bulan ramadhan ini. sebuah model aplikatif yang menggugah kesadaran dan memecut jiwa kita. karena tersadar di luar ramadhan seringkali kita menjadi budak nafsu. terobsesi pada jenis-jenis makanan, hiburan, kebendaan, pujian, dan macam-macam.
Oleh karena itulah, seawam apapun orang tentang agama. Dia layak dan memang telah merasakan kenikmatan jiwa bulan ramadhan. Minimal saat berbuka dan ber-Idul Fitri. Hari yang dinobatkan oleh nabi sendiri sebagai hari rayanya kaum muslimin.Di sini kaum muslimin mempertajam rasa syukurnya. Dan mudah-mudahan kita semua dapat mengaplikasikan makna sederhana ramadhan dalam 11 bulan mendatang insya Allah. agar berhak kita mendapatkan kenikmatan kedua di akhirat nanti, yaitu saat jumpa dengan Allah SWT.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya) (An- Naazi'aat : 40-41) (tulisan ihwan : Arief Husein)